Kamis, 24 Februari 2011

SK Menhut No 327 Tahun 2009 Produk Hukum Atau Produk Politik???

PT Riau Andalan Pulp And Paper (PT RAPP) menegaskan, program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada sejumlah kawasan di Riau telah melalui proses dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Secara legalitas, PT RAPP telah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dari Menteri Kehutanan RI dengan Nomor: SK.327/Menhut-II/2009.

Hal tersebut dinyatakan Manajer Hubungan Media PT RAPP Nandik Sufaryono kepada Riau Pos di Pekanbaru, Jumat (22/1). ‘’Setakat ini kita konsisten untuk menerapkan semua proses perizinan sesuai mekanisme yang berlaku. Kita mengajukan permohonan ke pemerintah dengan disertai persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan. Di samping itu kita lengkapi pula dengan kajian-kajian ilmiah sebagai pendukung.

Begitu izin tersebut diberikan pemerintah, PT RAPP melaksanakan semua kegiatan operasionalnya secara legal pula dalam areal konsesi perusahaan yang merupakan kawasan kehutanan sebagai pemegang izin IUPHHK-HT,’’ ungkap Nandik. Dijelaskan Nandik, begitu izin diperoleh, maka PT RAPP punya kewajiban untuk melakukan operasionalnya, serta berkewajiban pula dalam upaya perlindungan dan pelestarian hutan. Prinsip-prinsip pelestarian hutan inilah yang senantiasa menjadi acuan kegiatan operasional perusahaannya.

Sekaitan munculnya beberapa penolakan yang disuarakan beberapa oknum masyarakat terhadap operasional PT RAPP di beberapa kawasannya, Nandik menegaskan bahwa penghentian operasional dan pencabutan izin merupakan kewenangan pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan RI.

‘’Kita tetap akan melakukan kegiatan operasional sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Sebagai pemegang IUPHHK-HT yang sah secara hukum, PT RAPP tetap akan melaksanakannya secara konsisten. Harapan kami, para pihak bisa memahami dan mencermatinya dengan bijaksana. Mudah-mudahan saja tahap demi tahap akan kian terasa manfaatnya bagi semua lapisan masyarakat,’’ pungkas Nandik.

Dikatakannya pula, PT RAPP secara konsisten menjaga komitmennya untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang profesional, menguntungkan dan dibangun secara berkelanjutan. ‘’Pada semua aspek operasional, PT RAPP tidak ada kompromi terhadap persyaratan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Dengan penerapan manajemen hutan lestari, Insya Allah komitmen kami untuk maju dan berkembang bersama masyarakat akan tetap terbangun dan terjaga,’’ kata Nandik.

Di bagian lain, pihak PT SRL (Sumatera Riang Lestari) dan PT SSL (Sumatera Silva Lestari) mengatakan tidak memiliki keterkaitan kepemilikan dengan RGM/RGE Group. Selain itu SRL dan SSL juga tidak memiliki hubungan yang sama dengan PT RAPP. Hubungan perusahaan hanya sebatas kontrak suplai kayu.(yud/fas/fia)

lalu bagaimana dengan sikap Kepala Dinas Kehutanan Riau, Zulkifli Yusuf,pada tahun 2009 ini yang juga menjabat Pejabat Pemerintah di Negeri ini sebagai mana tercantum pada :
Selasa, 17/11/2009 15:12 WIB
SK Menhut Soal Perluasan HTI PT RAPP Dinilai Bermasalah
Chaidir Anwar Tanjung - detikNews

Jakarta - SK Menhut atas dikeluarkannya izin perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) masih bermasalah. Lokasi izin perluasan itu masih banyak kejanggalan serta tumpang tindih dengan kawasan konservasi.

Hal itu disampaikan Kepala Dinas Kehutanan Riau, Zulkifli Yusuf, dalam perbincangan dengan detikcom, Selasa (17/11/2009) di Pekanbaru.

Menurut Zulkifli, SK Menhut MS Kaban No 327 memberikan perluasan dari 235 ribu hektar menjadi 350 ribu hektar di wilayah kawasan gambut Semenanjung Kampar. SK Menhut MS Kaban itu dikeluarkan pada 12 Juni 2009.

"Izin perluasan itu memang bermasalah. Sejak awal kita sudah menyampaikan ke Menhut pada 2 September 2009 lalu, agar tidak melanjutkan perluasan HTI tersebut. Kita minta agar Dephut dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi di lapangan. Dephut kita minta untuk tidak mengeluarkan Rencata Tata Kerja tahunan untuk menebang kayu, namun surat kita itu tidak mendapat jawaban,” kata Zulkifli.

Menurut Zulkifli, banyaknya persoalan yang harus diselesaikan di lapangan tidak lain kawasan yang ada dalam perizinan tersebut tumpang tindih dengan kawasan konservasi. Dinas Kehutanan Riau mencatat perluasa izin HTI PT RAPP itu tumpang tindih dengan lima kawasan konservasi Hutan Margasatwa. Kelima konservasi itu, Hutan Margasatwa Rimbang Baling, Tasik Pulau Padang, Danau Pulau Besar, Tasik Belat, dan Taman Nasional Tesso Nilo. Selain itu masalah juga muncul ketika dilakukan pengukuran di lapangan, ternyata total luas malah bertambah menjadi 357 ribu hektar, atau kelebihan sekitar 7000 hektar.

"Ini belum lagi dari perluasan yang diberikan tersebut sekitar 20 ribu hektar status kawasan Hutan Produksi Konservasi. Sesuai aturan yang ada tidak boleh dijadikan HTI sebelum ada dikeluarkan surat perubahan peruntukan. Jadi memang banyak masalah atas izin tersebut," kata Zulkifli.

Jika saat ini izin tersebut, kata Zulkifli, mendapat protes keras dari kalangan aktivis, maka hal itu menjadi tanggungjawab Departemen Kehutanan RI. Menurutnya, Dinas Kehutanan Riau sejak awal sudah menolak rencana perluasa tersebut.

"Kalau sekarang izin itu menimbulkan ekses penolakan dari para aktivis, ya jangan salahkan kami. Kita juga tidak perlu menyalahkan satu sama lain. Namun cobalah mari kita duduk bersama untuk menyelesaikan persoalan ini," kata Zulkifli.

SK Menhut MS Kaban inilah, yang kini mendapat penolakan keras dari aktivis Greenpeace. Para aktivis internasional ini membangun basecamp di Desa Teluk Meranti, Kecamatan Meranti, Kab Pelalawan, Riau. Sudah dua pekan mereka berkampanye penolakan perluasa tersebut. Aktivis meminta agar PT RAPP segera menghentikan perambahan hutan gambut tersebut.

(cha/djo)

ANEH.......
ANEH.......
1. INVESTOR Mengatakan :Sebagai pemegang IUPHHK-HT yang sah secara hukum, PT RAPP tetap akan melaksanakannya secara konsisten.

2. Zulkifli Yusuf, sebagai Kepala Dinas Kehutanan Riau 2009 (Pemerintah),Mengatakan:"Jika saat ini izin tersebut, kata Zulkifli, mendapat protes keras dari kalangan aktivis, maka hal itu menjadi tanggungjawab Departemen Kehutanan RI. Menurutnya, Dinas Kehutanan Riau sejak awal sudah menolak rencana perluasa tersebut".

3. Masyarakat Mengatakan: "Kami Bingung"!!

Produk Hukum berisi kumpulan peraturan yang mengatur otonomi daerah yang terdiri dari TAP MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Kehutanan dan lainya. sebsgsimana di ungkapkan oleh Asep Warlan Yusuf (Dosen Fakultas Hukum Unpar Bandung)dalam POTRET SIFAT DAN CORAK KEBIJAKAN HUKUM (LEGAL POLICY) DI BIDANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA beliau menngatakan:
Abstrak Untuk memahami sejauhmana komitmen suatu negara dalam mengatur pengelolaan lingkungan hidup dapat dilihat dari kebijakan hukum lingkungan yang dihasilkan. Berbagai sifat dan corak kebijakan hukum lingkungan yang pernah dan sedang belaku di Indonesia menggambarkan bahwa adanya potret suram yang mengarah ke cerah. Hal ini dapat dimengerti karena pada awal negara kita membangun yang menjadi prioritas adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin (eksploitatif) dan mengundang investasi sebanyak mungkin. Oleh karena itu
corak kebijakan hukum lingkungannya cenderung bersifat insidental, parsial, sektoral, dan jalan pintas. Diharapkan ke depan akan dibangun corak kebijakan hukum lingkungan yanglebih berisfat komprehensif, kohesif dan konsisten.

Hukum seharusnya mempunyai kedudukan dan arti penting dalam pemecahan masalah lingkungan dan berfungsi sebagai dasar yuridis bagi pelaksanaan kebijakan negara/pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup

1. Jika Kebijakan lingkungan kemudian dirumuskan dalam rangkaian norma yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan lingkungan, maka dalam arti sempit dapat disebut sebagai kebijakan hukum lingkungan atau sering pula disebut politik perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

2. Timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kebijakan hukum lingkungan itu?
Yang dimaksud dengan kebijakan hukum lingkungan dalam arti sempit adalah penentuan konsep, proses, strategi, dan siasat yang terumuskan secara sistematis berkenaan dengan rencana, program, proyek, dan kegiatan pemerintah dan masyarakat sebagai sarana pencapaian tujuan pengelolaan lingkungan hidup melalui pendayagunaan peraturan perundang-undangan beserta kelembagaannya.

Pertanyaan lanjutannnya adalah kebijakan hukum yang bagaimanakah yang secara sistemik dan efektif berpotensi mewujudkan tujuan kebijakan lingkungan?

Mengapa dalam faktanya malah justru peraturan perundang-undangan tidak sedikit memberikan kontribusi yang cukup siginifikan dalam hal terjadinya masalah lingkungan?

Pemikiran yang didukung oleh hasil penelitian dan pengkajian mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi buruknya pengaturan pengelolaan lingkugan hidup di Indonesia adalah karena kebijakan peraturan perundang-undangan yang sengaja didesain (atau mungkin juga karena “kelalaian”) untuk tidak cukup efektif mencegah dan menyelesaikan masalah lingkungan. Kelemahan ini dapat dilihat dari beberapa peraturan perundang-undangan lingkungan hidup yang cenderung bersifat pragmatis, reaktif, sektoral, parsial dan berjangka pendek, seperti ketidaklengkapan penggunaan fungsi manajemen lingkungan, belum terurai dengan utuh penormaan prinsip-prinsip pembangunan keberlanjutan, pengaturan kelembagaan yang sangat parsial, pasal perizinan yang sumir, norma pengawasan yang tidak jelas, belum lengkapnya pengaturan tentang hak-hak prosedural masyarakat, belum didayagunakan pengaturan berkenaan dengan persyaratan penaatan, instrumen ekonomi, rumusan sanksi administrasi dan pidana yang tidak implementatif, dsb. Dengan demikian, tidak sedikit terjadi disharmoni antara peraturan perundang-undangan lingkungan hidup dengan perundang-undangan sektor, yakni berupa konflik, kontradiksi, tumpang tindih, gap, dan inkonsistensi.

Kalau kita memiliki kemauan yang sungguh-sungguh untuk membenahi lingkungan, maka situasi legislasi hukum seperti model-model di atas sudah saatnya ditinjau ulang. Pola perangkat hukum lingkungan yang dominan bercirikan insidental, komensalis, partial, sektoral atau departemental atau jalan pintas seperti dibahas sebelumnya, memberi kesan terhadap suatu keadaan yang belum memiliki kemauan dan pendirian terhadap masalah-masalah yang dihadapi. Saatnyalah kini membangun kebijakan hokum lingkungan yang komprehensif, kohesif, dan konsisten.

Dalam menyikapi SK 327/Menhut-II/ 2009 tanggal 12 Juni 2009 Perlawanan Rakyat Terhadap areal IUPHHK-HTI PT RAPP Begitu Keras dan Besar yang saat ini menjadi Konsumsi Publik melalui media-media seperti:
(Pekanbaru) - Sebanyak tujuh anggota Komisi IV DPR RI menggunakan fasilitas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) saat melakukan peninjauan masalah konflik kehutanan di kawasan hutan gambut Semenanjung Kampar, Riau, yang hingga kini masih bermasalah akibat adanya penolakan dari masyarakat setempat.

Berdasarkan informasi yang dihimpun di Pekanbaru, Rabu (10/3), para wakil rakyat dari komisi bidang kehutanan tersebut menggunakan fasilitas mulai dari akomodasi hingga transportasi.

Tim tersebut diketuai oleh Wakil Ketua Komisi IV DPR Firman Subagio.

"Anggota DPR sempat bermalam di hotel yang berada di dalam kompleks RAPP, fasilitasnya seperti hotel bintang lima. Selain itu, mereka juga menggunakan enam mobil bergardan ganda milik perusahaan untuk masuk ke Semenanjung Kampar," ujar seorang sumber yang tak ingin namanya dituliskan.

Sumber itu menambahkan, rombongan komisi IV DPR dikawal pihak perusahaan dan satu diantaranya adalah Presiden Direktur RAPP Kartika D Antono.

Firman Subagio ketika dikonfirmasi membenarkan penggunaan fasilitas perusahaan tersebut. Meski begitu, ia menegaskan bahwa Komisi IV DPR akan tetap netral untuk mencari solusi masalah kehutanan di Riau.

"Kami tetap netral," kata politisi dari Partai Golkar itu.

Ia mengatakan, dalam kunjungan itu DPR telah memberikan rekomendasi kepada perusahaan agar gambut yang berada di tengah Semenanjung Kampar tidak digunakan untuk industri, melainkan dikelola pemerintah.

Sebabnya, hutan rawa gambut Semenanjung Kampar berbentuk seperti kubah dengan kedalaman lebih dari 10 meter yang mampu menyimpan emisi karbon dan apabila dikonversi akan memperparah pemanasan global.

Selain itu, ujarnya, Komisi IV DPR RI "mencium" kuatnya indikasi kecurangan perusahaan pemegang izin Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau dalam melakukan penebangan di luar kawasan konsesi yang diberikan. Seperti RAPP yang diduga telah melakukan penebangan di lahan gambut Semenanjung Kampar, dan sejumlah perusahaan yang beroperasi di Kabupaten Pelalawan.

Menurut dia, kondisi itu telah berlangsung sejak lama disebabkan lemahnya pengawasan pemerintah khususnya Pemerintah Provinsi Riau selaku pemberi rekomendasi HTI yang kemudian izinya diterbitkan Kementerian Kehutanan.

Perusahaan juga dinilai sengaja melakukan kecurangan menebangi hutan alam demi keuntungan yang berlipat ganda untuk bahan baku bubur kertas, sedangkan pengelolaan kebun HTI dan kesejahteraan masyarakat diabaikan.(ant/yan)

(Riau Mandiri, Selasa, 17 Nov 2009).
“Soal Hutan di Kawasan Semenanjung Kampar, Dishut Tak Rekom Izin RAPP”.
• Kadishutprop menegaskan bahwa tidak satupun rekomendasi atau tandatangan izin yang beliau dikeluarkan untuk konsesi di Semenajung Kampar.

• Izin tersebut dikeluarkan oleh Menhut MZ Ka’ban menjelang berakhirnya masa jabatan cabinet Indonesia bersatu pertama.

• Menurut Kadishut: Bukan hanya RAPP saja yang mengantongi izin konsesi baru dari Dept. Kehutanan, ada 2 perusahaan lagi yang keluar izin tanpa rekom Kadishutprop: 1.PT. SSL di 4 Kabupaten
2.PT. LUM di Teluk Meranti Bengkalis.

• Penolakan izin sebaiknya dilakukan sebelum izin tersebut keluar, pada saat proses AMDAL.

• Luas kawasan lahan konsesi RAPP bukan 56.000 ha tetapi sudah mencapai 115.000 ha meliputi 4 Kab di Riau yang masuk dalam jajaran semenajung Kampar (Pelalawan, Kuansing, Inhil dan Bengkalis).

• Dalam setahun belakangan meski usaha penghentian penebangan hutan digiatkan, pusat sudah mengeluarkan 27 RKT.

(Riau Mandiri, Minggu 29 Nov 2009).
RAPP diduga rugikan Negara 100 milyar.
Sejak status quo dilakukan Menhut, pembukaan kawasan hutan rawa gambut oleh RAPP sudah mencapai 1.000 (seribu) ha dengan menggunakan 30 unit alat berat dan potensi kerugian Negara diperkirakan Rp. 100 m (hasil diskusi di Jikalahari: 28 Nov 2009). Jika harga kayu perkubik adalah Rp. 800 rb ditambah dengan nilai DR Rp. 120.000 permeterkubik dan PSDH Rp. 38.000 permeterkubik, maka hasilnya 958 rb dikalikan dengan jumlah tegakan kayu per ha nya mencapai 77 meter kubik, maka per ha nya Negara dirugikan Rp. 73.7666.000 kali 1.000 ha berjumlah 73 milyar. Ditambah dengan nilai Carbon yang dikeluarkan mencapai 3.430 ton/ha/th, sehingga carbon yang lepas di kali 1.000 ha menjadi 3.430.000 ton/th carbon yang hilang.
Anak Perusahaan Rapp yang beroperasi di Semenajung Kampar:
1. PT. Ekawana Lestari Dharma (ELD) : 9.300 ha
2. PT. RAPP : 284.640 ha.
3. PT. Selaras Abadi Utama (SAU) : 13.600 ha.
4. PT. Triomas FDI : 9.625 ha.
5. PT. Madukoro : 1.500 ha.
6. PT. RAPP : 65.000 ha.
7. PT. National Timber : 8.200 ha.
8. CV. Tuah Negeri : 1.500 ha.
9. CV. Mutiara Lestari : 4.000 ha.
10. CV. Bhakti Praja Mulia : 5.800 ha.
11. CV. Alam Lestari : 3.300 ha.
12. CV. Harapan Jaya : 4.800 ha.

(Tribun Pekanbaru, Senin, 30 Nov 2009).
Dikeluarkan di Akhir Masa Jabatan MS Kaban.
• Permenhut P.14/Menhut-II/2009 yang diterbitkan menjelang berakhirnya masa jabatan MS Kaban dalam kabinet Indonesia bersatu Th 2009, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan akibat konversi hutan alam.
• Permenhut tersebut diterbitkan dengan alasan menurut Kaban telah terjadinya staqnasi RKT di Riau. Hal ini dibantah oleh Kadishutprop melalui surat bahwa keputusan Dishut Riau tidak lagi mengeluarkan RKT karena lokasinya berada di Hutan Alam.
• Akibat keluarnya Permenhut tersebut, sekitar 318.360 ha hutan alam Riau berubah menjadi kebun akasia berdasarkan pada 24 RKT IUPHHKHT Th 2009 yang dikeluarkan oleh Dephut.
• Menurut Kadishutprop (Zulkifli Yusuf), Mentri yang lama (MS Ka’ban) pada Mei 2008 tidak ada lagi penambahan HTI di Riau, tapi mengapa Th 2009 (“meledak”) masih ada lagi izin yang keluar.

(Kompas, Rabu, 2 Des 2009).
Kayu Alam Riau Akan Ditebang.
Marak Perambahan di Kawasan Konservasi.
• Dept Kehutanan memberikan izin penebangan kayu 12 juta meter kubik dari 23 juta meter kubik volume total kayu pada 30 izin RKT untuk Riau, artinya lebih dari setengah produksi kayu dari hutan alam bukan dari hutan tanaman industry pada akhir tahun 2009, ini dinilai sangat berlebihan (menurut Kadishutprop: Zulkifli Yusuf). Alasannya: Kebutuhan kayu untuk 2 pabrik kertas di Riau hanya 16 juta meter kubik.

• Kadishutprop: “Bila diperhitungkan dengan kebutuhan kayu di luar pabrik kertas sebesar 2 juta meter kubik, ada kelebihan pasokan kayu alam sebesar 5 jt meter kubik”.

• Dari 30 RKT tsb, Dishutprop hanya mengeluarkan 1 rekomendasi RKT untuk PT. Sumatera Riang Lestari (SRL di Indragiri Hilir, sementara Dephut mengeluarkan izin di 4 Kabupaten: Inhil, Rohil, Bengkalis dan Meranti.

(Riau Pos Kamis, 10 Des 2009).
Kawasan Hutan Berkurang 864.805 ha.
• Luas wilayah hutan Prop. Riau dalam kurun waktu 12 tahun (1985-1997) terus berkurang, dengan pengurangan 14,6% seluas 864.805 ha dari 4. 299.371 ha.

(Riau Pos Kamis, 11 Des 2009).
Semenanjung Kampar Perlu Teknologi RAPP.

• Komisi B DPRD Prop Riau (T. Azuwir, Suparman, Ramli, T. Rusli Ahmad, Lampita) mengatakan bahwa memang banyak praktek illegal yang dilakukan pihak yang tidak bertanggung jawab dengan banyaknya kanal liar yang tidak terencana dengan baik. Kanal ini membuat semakin tidak terkendalinya air. Pada Musim hujan air tidak terbendung dan pada musim kemarau terjadi kebakaran, Solusinya harus ada teknologi tinggi dan biaya tinggi pula untuk mengatasinya dan itu hanya dimiliki RAPP.

• Diperlukan system pengelolaan hutan gambut, dan untuk hal itu system yang digunakan RAPP terlihat efektif dan berkesinambungan yang menerapkan system pengelolaan kawasan gambut secara lestari dengan konsep hutan tanaman Mosaik serta pengendalian ketinggian permukaan air secara ilmiah dan menyeluruh.

• Kawasan SK seluas 600 ha ternyata tidak seperti yang diekspos di media, dimana keadaannya sebelum RAPP beroperasi terhadap izin resmi yang telah diberikan, sudah terjadi perambahan yang cukup besar, bahkan ada kawasan yang bukan milik RAPP sudah tertanam HTI dan siap Panen.

(Tribun Pekanbaru Sabtu, 12 Des 2009).
Perluasan HTI di semenanjung Kampar.
Komisi B Bantah Dukung RAPP.

• Ekspos yang dilakukan oleh Komisi B sebelumnya bukan berarti bentuk dukungan mereka terhadap RAPP karena mereka masih menunggu informasi lain dari penggiat lingkungan.

• Lahan HTI yang sudah siap panen temuan Komisi B yang dimiliki oleh PT. ARARA ABADI, kenapa tidak dipermasalahkan.

• GM Public Affair SMF (Nazaruddin) membantah jika pihaknya memiliki lahan di kawasan SK baik itu Arara maupun sinar mas, tetapi perusahaan tersebut selama ini menjadi mitra mereka.

(Riau Pos, Selasa 22 Desember 2009).
Semenajung Kampar dibahas Komisi A – Dishut – BLH dan Akademisi.
• 4 Point kesimpulan:
1. Terdapat izin yang bermasalah, tumpang tindih dan tidak sesuai peruntukkan.
2. Hasil kajian atau penilelitian akademisi dari UNRI dan UIR disampaikan sepotong-sepotong bahkan dipelintir.
3. Pemberian izin tidak melalui proses lelang yang menurut aturan hal itu mesti dilakukan.
4. AMDAL yang disampaikan sudah tidak berlaku lagi.

• Menurut Dishut dan BLH, ada persoalan dengan perizinan dan itu semua kewenangan Dephut.

• Menurut Kadishut, keluarnya surat keputusan Menhut SK. 327/09 seluruhnya andil Menhut termasuk proses RKT (rencana kerja tahunan) dan RKU (rencana kerja usaha) RAPP.

• Dishut tidak pernah mengeluarkan rekom atau RKT maupun RKU. Dishut hanya mengeluarkan Surat pemberitahuan kepada Menhut Tgl: 2 September 2009 yang isinya memberitahukan kepada Menhut bahwa: SK perubahan ketiga atas Keputusan Menhut Tentang pemberian HPHTI kepada RAPP terhadap areal yang Tumpang tindih dengan Kawasan Suaka Alam (KSA) seluas 5.019 Ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411 ha.

• Dishut mengusulkan kepada Menhut untuk meninjau ulang dan merevisi keputusan tersebut mengacu dan mengakomodir Surat GubriNo. 522/2004 Ttg perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi tetap.

• Rekom Gubri pernah keluar pada tahun 2004 sebelum SK perubahan ke dua perluasan areal HTI RAPP menjadi 235.140 ha dari Menhut No. SK 356/2004.


Kepala Dinas Kehutanan Riau, Zulkifli Yusuf menegaskan, izin HTI terbaru yang diperoleh PT RAPP di Teluk Meranti bermasalah. Dishut Riau sudah mengirim surat resmi ke Menteri Kehutanan pada 2 September 2009 lalu supaya izin tersebut ditinjau karena ditemukan sejumlah masalah.

Penegasan itu dikatakan Zulkifli dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Riau, Senin (21/12).

Areal Izin Usahan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT RAPP yang semula 235.140 hektare menjadi 350.165 hektare. Tapi hasil telaah Dishut Riau, luas areal tersebut 357.518, 77 hektare atau terdapat perbedaan 7.353,77 hektare.

Selain itu, lokasi izin yang diberikan Menhut melalui SK 327/Menhut-II/ 2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang areal IUPHHK-HTI PT RAPP hanya berada di 4 kabupaten yakni Siak, Pelalawan, Kuansing, Bengkalis. Sementara hasil kajian Dishut, areal RAPP juga terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu seluas 1.090,80 hektare.

Izin tersebut juga tumpang tindih dengan kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektare. "Jadi jauh sebelum persoalan ini muncul, kami sudah menyurati Departemen Kehutanan supaya meninjau izin yang dikeluarkan pada Juni 2009," tutur Zulkifli Saleh.

Perizinan yang diperoleh PT RAPP, kata Zulkifli, tak sesuai peruntukannya. Izin yang diterbitkan Menhut pada 12 Juni 2009 lalu merupakan perubahan ketiga dari izin sebelumnya. Izin pertama diperoleh pada 1993 lahan HTI untuk dua anak perusahaan PT RAPP. Kemudian diperbaharui pada izin perubahan kedua pada 1997.

Izin yang diterbitkan melalui SK Menhut itu juga tak mengakomodir rekomendasi Gubernur Riau Rusli Zainal yang menyatakan tak mendukung terjadinya perubahan ketiga izin HTI PT RAPP. Tapi pada kenyataannya, Menhut tak memperhatikan rekomendasi gubernur dan bupati.

Dalam petikan izin perubahan justru yang ditampilkan nomor surat rekomendasi kepala daerah itu. "Substansi dari rekomendasi gubernur diabaikan. Padahal substansi itu penting," ulas Zulkifli. (han)

Komisi A: Sampaikan Rekomendasi ke Pimpinan Dewan*
Senin, 21 Desember 2009 | 23:52 WIB*

Komisi A mulai mendapat kesimpulan tentang persoalan izin HTI PT RAPP di
Teluk Meranti. Dewan menilai ada persoalan dari izin yang diberikan
Menteri Kehutanan MS Kaban diakhir masa tugasnya tersebut.

Kesimpulan tersebut didapat setelah Komisi A melakukan rapat dengar
pendapat dengan Dinas Kehutanan Riau, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Riau
dan sejumlah perguruan tinggi di Riau.

"Selanjutnya rekomendasi komisi akan kami sampaikan ke pimpinan dewan.
Hal ini akan dibahas dan ditindaklanjuti. Apakah menjadi rekomendasi
dewan atau membentuk pansus untuk mengusut tuntas hingga ke Departemen
Kehutanan," kata Ketua Komisi A Bagus Santoso yang memimpin jalannya
rapat. *(han)*




RAPP Tegaskan Izin HTI Sudah Lengkap*
Senin, 21 Desember 2009 | 23:55 WIB*

Manager Hubungan Media PT RAPP, Nandik Sufaryono ketika dikonfirmasi
tentang izin HTI perusahaannya membantah jika areal perusahaannya ada
masalah. Hal tersebut dikatakan Nandik menanggapi hasil rapat dengar
pendapat yang digelar Komisi A, Senin (21/12).

Dia merujuk kepada pernyataan Direktur Pengembangan Hutan Tanaman
Industri Departemen Kehutanan RI, Dr Bedjo Santoso yang mengatakan bahwa
operasional PT RAPP di kawasan Semenanjung Kampar sah, sesuai aturan
perundang-undangan yang berlaku dan memenuhi semua kriteria penilaian
Analisis Dampak Lingkungan (Andal).

"Kami sangat percaya bahwa pengembangan kawasan Semenanjung Kampar
menunjukkan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab dan berbasis ilmu
pengetahuan, dan merupakan model yang sangat baik dalam upaya
mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan peran serta masyarakat,"
ujar Dr Kartika Dianningsih Antono, Presiden APRIL Indonesia, holding
company yang membawahi PT RAPP dalam rilisnya kepada Tribun. *(han)*


Universitas Riau Duga Hasil Penelitian Dimanipulasi*
Senin, 21 Desember 2009 | 23:44 WIB*

Rapat dengar pendapat yang digelar Komisi A DPRD Riau membahas masalah
HTI PT RAPP, Senin (21/12), menghadirkan dua perguruan tinggi yakni
Universitas Riau dan Universitas Islam Riau.

Pihak UR mengaku kaget karena terseret dalam masalah ini. Sebab hasil
penelitian ilmiah mereka dijadikan PT RAPP sebagai dasar rekomendasi
Amdal. "Kami memang pernah melakukan penelitian di kawasan HTI RAPP.
Tapi kami tak tahu kalau penelitian itu dijadikan rekomendasi Amdal,"
ujar Prof Usman Tang, Kepala Penelitian Universitas Riau.

Usman Tang mengatakan, UR mengadakan penelitian terkait keberadaan hutan
alam di lahan gambut yang berada di tengah hutan akasia. Hasil
penelitian itu justru meminta supaya lahan gambut itu dilindungi karena
terdapat sejumlah jenis kayu langka dan obat-obatan yang tak ternilai
harganya. "Mungkin hasil penelitian kami dimanipulasi, " ujar seorang
dosen peneliti UR.

Hal senada juga diungkapkan Pembantu Rektor III UIR, Tengku Iskandar
Johan. UIR pernah melakukan penelitian di Teluk Meranti terkait tanaman
yang cocok bagi masyarakat sekitar kawasan HTI PT RAPP. "Betul RAPP yang
membiayai penelitian itu, tapi prosesnya melalui lelang dan kami bekerja
profesional, " tutur Tengku Iskandar.* (han)*

Izin Amdal PT RAPP di Semenanjung Kampar Sudah Habis*
Senin, 21 Desember 2009 | 23:30 WIB*

Kepala Badan Lingkungan Hidup, Fadrizal Labay mengatakan, hasil sidang
Komisi Amdal Riau hanya memberi rekomendasi seluas 152.826 hektare dari
215.000 hektare lahan HTI PT RAPP di Semenanjung Kampar untuk digarap.
Izin tersebut diberikan pada 2006 lalu.

"Masa berlaku kajian Amdal selama tiga tahun. Artinya pada 2009 sudah
berakhir. Seharusnya setiap tahun PT RAPP harus melaporkan kegiatan yang
dilaksanakan di rekom kajian Amdal, tapi hal itu tak pernah dilakukan.
Menhut dalam mengeluarkan izin juga tak berpedoman pada kajian Amdal,"
tutur Fadrial. Penegasan itu dikatakan Fadrizal dalam rapat dengar
pendapat bersama Komisi A DPRD Riau, Senin (21/12). *(han)*


Dishut Riau Tegaskan Izin HTI RAPP Bermasalah*
Senin, 21 Desember 2009 | 23:21 WIB*

Kepala Dinas Kehutanan Riau, Zulkifli Yusuf menegaskan, izin HTI terbaru
yang diperoleh PT RAPP di Teluk Meranti bermasalah. Dishut Riau sudah
mengirim surat resmi ke Menteri Kehutanan pada 2 September 2009 lalu
supaya izin tersebut ditinjau karena ditemukan sejumlah masalah.

Penegasan itu dikatakan Zulkifli dalam rapat dengar pendapat dengan
Komisi A DPRD Riau, Senin (21/12).

Areal Izin Usahan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman
Industri (IUPHHK-HTI) PT RAPP yang semula 235.140 hektare menjadi
350.165 hektare. Tapi hasil telaah Dishut Riau, luas areal tersebut
357.518, 77 hektare atau terdapat perbedaan 7.353,77 hektare.

Selain itu, lokasi izin yang diberikan Menhut melalui SK
327/Menhut-II/ 2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang areal IUPHHK-HTI PT RAPP
hanya berada di 4 kabupaten yakni Siak, Pelalawan, Kuansing, Bengkalis.
Sementara hasil kajian Dishut, areal RAPP juga terdapat di Kabupaten
Indragiri Hulu seluas 1.090,80 hektare.

Izin tersebut juga tumpang tindih dengan kawasan Suaka Alam seluas
5.019,09 hektare. "Jadi jauh sebelum persoalan ini muncul, kami sudah
menyurati Departemen Kehutanan supaya meninjau izin yang dikeluarkan
pada Juni 2009," tutur Zulkifli Saleh.

Perizinan yang diperoleh PT RAPP, kata Zulkifli, tak sesuai
peruntukannya. Izin yang diterbitkan Menhut pada 12 Juni 2009 lalu
merupakan perubahan ketiga dari izin sebelumnya. Izin pertama diperoleh
pada 1993 lahan HTI untuk dua anak perusahaan PT RAPP. Kemudian
diperbaharui pada izin perubahan kedua pada 1997.

Izin yang diterbitkan melalui SK Menhut itu juga tak mengakomodir
rekomendasi Gubernur Riau Rusli Zainal yang menyatakan tak mendukung
terjadinya perubahan ketiga izin HTI PT RAPP. Tapi pada kenyataannya,
Menhut tak memperhatikan rekomendasi gubernur dan bupati.

Dalam petikan izin perubahan justru yang ditampilkan nomor surat
rekomendasi kepala daerah itu. "Substansi dari rekomendasi gubernur
diabaikan. Padahal substansi itu penting," ulas Zulkifli. *(han)*


KADISHUT BERATKAN MENHUT
Tuesday, 22 December 2009 00:00

Hearing Proses Izin RAPP
PEKANBARU-Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf menegaskan, surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.327/Menhut- II/2009 seluruh prosesnya merupakan andil dari Menhut. Termasuk proses Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk PT RAPP juga dikeluarkan Menhut, tanpa adanya rekomendasi Dishut Riau.

"Berdasarkan surat Menhut tersebut terjadi perubahan luas areal izin RAPP dari 235.140 ha menjadi 350.165 ha di Kampar, Siak, Pelalawan, Kuansing dan Meranti," kata Kadishut kepada wartawan, Senin (21/12), seusai hearing dengan Komisi A prihal simpang siur rekomendasi Pemprov terhadap SK Menhut untuk RAPP.
Dishut Riau, kata Zulkifli, hanya mengeluarkan pemberitahuan kepada Menhut pada tanggal 2 September 2009. Isinya, memberitahukan kepada Menhut bahwa SK tentang perubahan ketiga atas Keputusan Menteri tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT RAPP terdapat areal tumpang tindih dengan Kawasan Suaka Alam (KSA) seluas 5.019 Ha, terdapat Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411 Ha.

Bahkan dalam suratnya, Dishut mengusulkan kepada Menhut untuk meninjau ulang dan merevisi keputusan tersebut, mengacau dan mengakomodir Surat Gubernur No.522/EKBANG/ 33.10 tanggal 2 Juli 2004 tentang perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan Hutan Produksi Tetap.

"Kan sudah saya bilang dari izinnya, RKT RKU pusat semua (yang tangani red.). Saya sudah bilang saya tidak mau menerbitkan (rekomendasi) karena ini ada hutan alam, ada masalah. Kalau anda (Menhut Red.) anggap tidak masalah silahkan saja terbitkan," kata Zulkifli.

Dijelaskan Kadishut, rekomendasi Gubernur pernah keluar yaitu pada tahun 2004 sebelum terbitnya SK perubahan kedua perluasan areal HTI RAPP menjadi seluas 235.140 H dari Menhut Nomo SK356/Menhut- II/2004). Kendati demikian rekomendasi gubernur saat itu memilliki catatan persyaratan antara lain sebelum Menhut memberi surat Izin kepada RAPP, harus terlebih dahulu mengadenddum SK HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepda PT RAPP. Melaksanakan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi tetap, dan PT RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat.

Semenanjung Kampar
Sementara itu saat rapat hearing dengan komisi A, Kadishut memaparkan tentang perubahan perluasan areal garapan PT RAPP pada tahun 2004 seluas 235.140 Ha berdasarkan SK.356/Menhut- II/2004. Dan perubahan ketiga seluas 350165 Ha dengan SK327/Menhut- II/2009 yang terdiri di Kampar, Siak, Pelalawan, Kuansing, dan Meranti. Nah saat keluarnya SK perubahan ketiga, Pemprov sendiri tidak pernah mengeluarkan surat rekomendasi sama sekali. Bahkan yang ada Pemprov malau mengingatkan menteri tentang adanya tumpang tindih peruntukan atas lahan tersebut.

Namun saat ditanya mengenai kaitannya dengan Semenanjung Kampar, Kadishut sendiri malah menyatakan tidak tahu tentang keberadaan Semenanjung Kampar kaitannya dengan izin yang dikeluarkan Menhut. "Coba saya tanya kepada Anda dimana Semenanjung Kampar," katanya.
Hanya saja dari uraian Kadishut tentang perubahan ketiga areal PT RAPP tahun menurut SK Menhut tahun 2009 tersebut menyebutkan penambahan areal terhadap RAPP di Kabupaten Pelalawan dari 89 ribu hektar bertambah menjadi 151 hektar. Namun diakui Zulkifli pihaknya tidak bisa menyebut secara mendetail daerah atau kawasan dari penambahan tersebut.
Rapat hearing Komisi A juga menghadirkan Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Fadrizal Labay, dan dari Unri dan UIR yang juga dikaitkan dengan keluarnya rekomendasi Amdal.
Fadrizal Labay dalam penjelasannya mengatakan izin Amdal yang dikeluarkan pada tahun 2006 yang layak lingkungan adalah seluas 152.866 Ha, terdiri dari wilayah kabupaten Bengkalis seluas 42.600 ha, kab Siak 20.000 dan kabupaten Pelalawan 90.266.
Sayangnya saat ditanya wartawan Fadrizal tidak bisa menjelaskan secara mendetail kawasan-kawasan tersebut yang lolos amdal. Karenanya saat wartawan mempertanyakan kaitannya dengan Semenanjung Kampar Fadrizal menjawab senada dengan apa yang dikatakakan Kadishut. Intinya Ia juga tidak tahu keberadaan Semenanjung Kampar.
Sedangkan Kepala Penelitian Unri Usman Tang mengatakan, dari hasil penelitian pihaknya, ada yang dipotong-potong poinnya yang menguntungkan pihak RAPP.

Rapat hearing yang dipimpin Ketua Komisi A Bagus Santoso akhirnya menetapkan beberapa kesimpulan antara lain, ada proses izin yang bermasalah, hasil rekomendasi komisi Amdal ada yang dipotong-potong, kemudian keluarnya Izin Menhut menyalahi aturan PP34 dan PP 6 2008 bahwa peruntukan lahan idealnya melalui proses lelang bukang hanya melalui proses permohonan. don


Dephut Diminta Audit Kelebihan Bahan Baku RAPP
Kamis, 27 Maret 2008 | 01:12 WIB

Jakarta, Kompas - Greenomics Indonesia mengungkapkan produsen pulp dan kertas, Riau Andalan Pulp
and Paper atau RAPP, telah merealisasikan pasokan bahan baku tahun 2007 sebanyak 17,3 persen lebih besar dari yang disetujui Departemen Kehutanan. Hal tersebut sangat kontradiktif dengan pernyataan manajemen RAPP yang mengeluhkan kekurangan bahan baku pada tahun 2007.
”Kalau mereka mengeluh kekurangan bahan baku, bagaimana bisa ada kelebihan realisasi sebanyak 1,5juta meter kubik? Kami minta Departemen Kehutanan segera mengaudit kelebihan bahan baku tersebut,”
kata Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi di Jakarta, Rabu (26/3).
Hal ini diungkapkan berdasarkan verifikasi Greenomics Indonesia terhadap data realisasi pemenuhan bahan baku RAPP tahun 2007 yang disampaikan kepada Dephut.
Saat mengajukan rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI), RAPP meminta bahan baku sebanyak 9.006.446 meter kubik. Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Dephut menyetujui volume tersebut.
Akan tetapi, tutur Elfian, RAPP ternyata merealisasikannya sebanyak 10.570.038 meter kubik atau 117,3persen dari RPBBI. Menurut Elfian, realisasi tersebut sangat paradoks dengan yang dialami produsen pulp lainnya yang juga berada di Riau, yaitu Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP).

Awalnya IKPP meminta pemenuhan bahan baku sebesar 22.981.264 meter kubik yang disetujui oleh Dinas Kehutanan Riau, tetapi Dephut hanya menyetujui 14.019.971 meter kubik.
Dari jumlah tersebut, IKPP hanya merealisasikan 10.207.538 meter kubik kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksinya. RAPP dan IKPP merupakan dua produsen pulp utama Indonesia. Kedua industri yang juga menjadi motor hutan tanaman industri tersebut memiliki kapasitas produksi 4,2 juta ton pulp per tahun.
Dari hutan tanaman Ketika dikonfirmasi, Manajer Hubungan Masyarakat RAPP Troy Pantouw mengatakan, mereka membutuhkan bahan baku 9 juta meter kubik untuk memenuhi kapasitas produksi pulp 2 juta ton pertahun.
Sejak sulit mendapatkan bahan baku, pemenuhan bahan baku berasal dari tanaman akasia yang berumur lima tahun, yang seharusnya dipanen dua tahun lagi. Rendahnya rendemen menyebabkan volume realisasi kayu tahun 2007 menjadi 10,5 juta meter kubik. Troy mengklaim, RAPP memiliki areal HTI yang sudah tertanami seluas 250.000 hektar untuk memenuhi
pasokan bahan bakunya.
Hal ini dilakukan karena stok bahan baku kayu yang terus menipis. Troy mengatakan, RAPP masih memiliki stok 1,2 juta ton kayu pada akhir tahun 2006, sedangkan pada akhir tahun 2007 hanya tersisa 300.000 ton. ”Latar belakangnya karena ada hambatan operasional akibat operasi sektor kehutanan di Riau yang mengakibatkan kami bergantung 100 persen pada hutan tanaman,” kata Troy. (ham).

Kasus Hutan Tanaman Indutri (HTI) hingga saat ini masih menjadi kajian yang menarik. Masalahnya, para Invertor mayoritas menggunakan otoritas kekuasaan sebagai peluang untuk "mengeksploitasi" sumber daya alam hutan yang sesungguhnya menjadi hartanya rakyat.

Indnesia yang mengagung-agungkan Demokrasi setelah Rezim Orde Barunya ternyata TIDAK TERBUKTI. Kita paham bahwa Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi berarti memperbincangkan tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab. Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia.

Ada beberapa prinsip dalam demokrasi, yaitu kedaulatan rakyat, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia (HAM), pemilihan yang bebas dan jujur. Prinsip-prinsip penting lainnya adalah adanya persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintah secara konstitusional, pluralisme sosial, ekonomi, politik, dan nilai-nilai tolerensi.

Salah satu hal sangat penting dari prinsip demokrasi adalah pemberian hak-hak kaum minoritas. Dalam hal ini, pemberian hak kaum lemah bisa ditafsirkan sebagai penetapan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada rakyat lemah dan kaum miskin. Kebijakan pemerintah harus dijauhkan dari kepentingan politik tertentu, apalagi dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan merugikan rakyat.


(Abrasi di Pinggir Pantai Pulau Ransang)
SDN 05 Bungur dan Ratusan Rumah Warga Terancam Amblas Ke Laut
18 Februari 2011 - 11.47 WIB
Rangsang – Gedung SDN 05 Bungur dan Ratusan rumah nelayan yang terletak di pinggir Pulau Ransang Kabupaten Kepulauan Meranti terancam amblas ke laut. Hal itu disebabkan abrasi yang tidak dibendung. Ironisnya, pemerintah kabupaten kepulauan meranti terkesan tutup mata menanggapi bahaya yang mengancam mayarakat tersebut.

Kasim Hok Guan (56), seorang tokoh masyarakat desa bungur mengatakan dalam melakukan pencegahan abrasi yang semakin parah itu masyarakat desa bungur membangun turap yang berguna sebagai pengaman. Namun, turap yang dibangun itu tidak maksimal karena berhubung keterbatasan dana.
“Kami sudah berusaha melakukan pencegahan dengan membangun turap pengaman. Namun, dana yang kami miliki sangat terbatas. Untuk itu, kami berharap ada upaya dari pemkab Meranti untuk segera membangun turap pengaman yang telah kami mulai ini. Kami akan terus bangun turap secara swadaya, karena jika dibiarkan sekolah dan rumah-rumah warga longsor akan amblas ke laut” ujarnya kepada riauhariini.com baru-baru ini.
Menurut Kasim Hok Guan, longsor yang menerjang pantai Telesung cukup parah. Dalam kurun waktu 80 tahun, luas daratan Telesung yang longsor ke laut sudah mencapai 900 meter lebih. Sekitar 160 buah rumah nelayan dusun Telesung dulunya berada di atas daratan, sekarang berada dikawasan pantai. Saat air pasang, ratusan rumah nelayan tersebut berada di atas laut. Kondisi ini sudah berjalan selama 30 tahun. Untuk menghubungkan dengan daratan, warga terpaksa membangun jembatan papan yang panjangnya mencapai 100 meter lebih. Seluruh aktifitas kehidupan warga dilakukan diatas panggung yang berada diatas kawasan pasang surut.
Pembangunan turap pengaman secawa swadaya ini sudah dilakukan 3 tahun dengan cara bergotong royong mengumpulkan uang. Dalam kurun waktu tiga tahun tesebut, masyarakat sudah berhasil membangun turap pengaman permanent sepanjang 400 meter yang menelan dana sebesar Rp. 500 juta lebih.
“Ini sebagai bukti kecintaan kami pada tanah Telesung. Upaya pembangunan turap pengaman ini akan terus dilanjutkan. Kalau dana mencukupi, kami akan bangun sampai ke lokasi sekolah. Namun karena keterbatasan dana, terpaksa kami lakukan secara bertahap. Kami sangat berharap ada upaya dari pemkab Meranti untuk menindak lanjuti upaya yang telah kami lakukan ini. Terus terang kami sangat kasihan pada anak-anak, masa depan mereka turut terancam dengan terus longsornya daratan Telesung.” papar Kasim Hok Guan dengan nada penuh harap.

Ratusan hektar longsor ke laut

Camat Ransang Khairul Amri kepada wartawan mengakui longsornya daratan Telesung diterjang abrasi tidak hanya mengancam kawasan pemukiman dan sekolah. Ratusan hektar kebun kelapa milik warga Telesung, Ladang Kecil dan Tanjung Kedabu sudah terjun ke laut. Kerugian masyarakat diperkirakan mencapai milyaran rupiah. Kondisi ini menyebabkan downnya ekonomi masyarakat tani Telesung dan Tanjung Kedabu.
“Kita cukup bangga dengan kegigihan masyarakat Telesung yang digalang Pak Kasim Hok Guan. Dengan susah payah, secara swadaya membangun turap pengaman di pantai Telesung yang volumenya mencapai 400 meter. Kita akan upayakan agar tahun depan pemkab Meranti mau menganggarkan dana pembangunan turap pengaman di dusun Telesung Bungur” ujar camat Khairul Amri. (red/aln/rzi)


(Penebangan Liar Kayu Ramin)
Izin PT SRL terancam dicabut
16 Februari 2011 - 17.11 WIB
RANGSANG – Bantahan PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) tentang penebangan Pohon Ramin di hutan alam Pulau Ransang, dinilai mengada-ada. Sebab di lokasi hutan tersebut ditemukan sejumlah blok kawasan yang sudah dibersihkan dan masih tersisa sejumlah anak pohon ramin yang tidak ditebang. Penemuan ini bisa menjadi bukti bahwa PT SRL memang melakukan penebangan pohon ramin yang merupakan salah satu vegetasi hutam alam yang tidak boleh di tebang dan harus dijaga kelestariannya.

Hal ini diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi B DPRD Propinsi Riau Zulfan Heri kepada sejumlah wartawan kemarin terkait kunjungannya ke kawasan HTI PT SRL di dusun Tebun desa Repan kecamatan Rangsang.

“Bohong besar PT SRL tidak menebang kayu ramin di kawasan HTI dusun Tebun. Buktinya, anak-anak kayu ramin masih disisakan disejumlah blok kawasan HTI yang sudah bersih di tebang. Kalau ada anak-anak kayu ramin, tentunya ada induknya. Nah, induknya ini yang ditebang PT SRL. Tidak mungkin PT SRL mau melewatkan kayu-kayu ramin yang memiliki nilai ekonomis mahal” ujarnya selaku ketua tim rombongan komisi B ke Ransang.

Menurutnya, berdasarkan dari topografi pulau Ransang kayu ramin merupakan vegetasi yang khas. Selain kayu Meranti, Ponak, bentangor dan jenis campuran lainnya, kayu ramin sangat dominan tumbuh di daerah ini. Maka sangat mustahil PT SRL tidak menebang pohon tersebut dan mengolahnya. Untuk itu, jelas PT SRL sudah melakukan pelanggaran. Hal itu menjadi alasan kuat bagi komisi B DPRD Riau untuk mendesak Menhut mencabut izin HTI PT SRL di Pulau Ransang.

Hal yang senada juga disampaikan Sumianti anggota komisi B lainnya yang juga melakukan kunjungan ke Tebun Ransang. Menurutnya, meskipun pihak manejemen PT SRL membantah telah menebang dan membabat kayu-kayu ramin di kawasan HTI, temuan di lapangan menjadi indikasi kuat bahwa PT SRL telah melakukan penebangan vegetasi hutan alam yang dilindungi. Apalagi kayu-kayu ramin yang ditinggalkan disetiap blok tersebut relatif tergolong masih muda.

“Mana mungkin, hanya ada sepuluh batang dalam satu blok. Kita yakin hutan alam pulau Ransang ini kaya akan kayu-kayu berkelas, seperti ramin. Apalagi kayu ramin sangat cocok tumbuh di hutan-hutan rawa seperti pulau Ransang ini. Untuk itu, temuan ini akan semakin memperkuat komisi B untuk mengalang pansus HTI di Meranti. Kita akan panggil PT SRL untuk mempertanggung jawabkan rusaknya hutan alam pulau Ransang” tegas Sumiati. (red/aln/rzi)

Sementara itu, manajemen PT Riau Andalan Pulp And Paper (PT RAPP) menegaskan, program pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) pada sejumlah kawasan di Riau telah melalui proses dan ketentuan yang ditetapkan pemerintah. Secara legalitas, PT RAPP telah mengantongi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) dari Menteri Kehutanan RI dengan Nomor: SK.327/Menhut-II/2009.

Hal tersebut dinyatakan Manajer Hubungan Media PT RAPP Nandik Sufaryono kepada Riau Pos di Pekanbaru, Jumat (22/1). ‘’Setakat ini kita konsisten untuk menerapkan semua proses perizinan sesuai mekanisme yang berlaku. Kita mengajukan permohonan ke pemerintah dengan disertai persyaratan dan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan. Di samping itu kita lengkapi pula dengan kajian-kajian ilmiah sebagai pendukung.

Begitu izin tersebut diberikan pemerintah, PT RAPP melaksanakan semua kegiatan operasionalnya secara legal pula dalam areal konsesi perusahaan yang merupakan kawasan kehutanan sebagai pemegang izin IUPHHK-HT,’’ ungkap Nandik. Dijelaskan Nandik, begitu izin diperoleh, maka PT RAPP punya kewajiban untuk melakukan operasionalnya, serta berkewajiban pula dalam upaya perlindungan dan pelestarian hutan. Prinsip-prinsip pelestarian hutan inilah yang senantiasa menjadi acuan kegiatan operasional perusahaannya.

Sekaitan munculnya beberapa penolakan yang disuarakan beberapa oknum masyarakat terhadap operasional PT RAPP di beberapa kawasannya, Nandik menegaskan bahwa penghentian operasional dan pencabutan izin merupakan kewenangan pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan RI.

‘’Kita tetap akan melakukan kegiatan operasional sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Sebagai pemegang IUPHHK-HT yang sah secara hukum, PT RAPP tetap akan melaksanakannya secara konsisten. Harapan kami, para pihak bisa memahami dan mencermatinya dengan bijaksana. Mudah-mudahan saja tahap demi tahap akan kian terasa manfaatnya bagi semua lapisan masyarakat,’’ pungkas Nandik.

Dikatakannya pula, PT RAPP secara konsisten menjaga komitmennya untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang profesional, menguntungkan dan dibangun secara berkelanjutan. ‘’Pada semua aspek operasional, PT RAPP tidak ada kompromi terhadap persyaratan perlindungan dan pelestarian lingkungan. Dengan penerapan manajemen hutan lestari, Insya Allah komitmen kami untuk maju dan berkembang bersama masyarakat akan tetap terbangun dan terjaga,’’ kata Nandik.

Di bagian lain, pihak PT SRL (Sumatera Riang Lestari) dan PT SSL (Sumatera Silva Lestari) mengatakan tidak memiliki keterkaitan kepemilikan dengan RGM/RGE Group. Selain itu SRL dan SSL juga tidak memiliki hubungan yang sama dengan PT RAPP. Hubungan perusahaan hanya sebatas kontrak suplai kayu.(yud/fas/fia)

Ketika SK Menhut MS Kaban No 327 di tentang oleh Rakyat, Namun Pemerintah Tetap Memaksakan Kehendaknya...!
Pertanyaan yang Pantas setelah perdebatan panjang di atas. Untuk siapakah pemerintah ini bekerja? Mengenai Hutan Tanaman Industri HTI apakah Kebijakan Hukum Hanya Bersumber Pada (Pusat) MS Kaban saja? Lalu apa fungsi Zulkifli Jusuf di propinsi...?

kebijakan-kebijakan pemerintah banyak yang tidak pro rakyat. Bahkan banyak kebijakan yang ditumpangi oleh kepentingan politik tertentu. Kekuasaan dimanfaatkan untuk memperkaya dan memperkuat partainya, bukan untuk menyejahterakan rakyat.

Lebih parah lagi, kekuasaan dijadikan "investasi" pribadi oleh sebagian pemimpin kita. Saat pemilihan, calon pemimpin berani mengeluarkan uang sebesar-besarnya untuk membeli suara rakyat. Tapi, setelah menjadi pemimpin, harta rakyat "dimakan" sendiri. Kekuasaan yang dimilikinya dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya.

Sikap demikian sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Ini merupakan tirani kekuasaan yang semestinya tidak terjadi di sebuah negeri demokratis.



Yang terlintas dalam benak kita sekarang, sudahkah pemimpin kita terjun ke masyarakat untuk memuliakan mereka layaknya seorang tamu? Ataukah yang terjadi malah sebaliknya, rakyat dijadikan bulan-bulanan untuk ditipu dan dipermainkan oleh para penguasa kita? Rakyat yang berada di bawah garis kemiskinan dibiarkan begitu saja dan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Seorang pemimpin yang hidup di negara demokratis seharusnya lebih memperhatikan hak-hak kaum lemah dan kaum tertindas dan rakyat miskin. Tidak boleh ada dominasi dari penguasa untuk lebih mementingkan kepentingan pribadinya dalam memimpin. Nilai-nilai demokrasi tersebut hendaknya menjadi prioritas utama dalam membangun sebuah negeri yang masyarakatnya sangat plural seperti Indonesia. Seorang pemimpin dituntut untuk bersikap adil dan tidak berpihak kepada salah satu golongan tertentu. Dia berkewajiban memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara untuk bersuara demi kepentingan bersama sebagai bentuk penerapan negara yang demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar