Sabtu, 26 Februari 2011

Wiji Thukul dan Orang Hilang

ARTIKEL

Wiji Thukul dan Orang Hilang

OLEH LINDA CHRISTANTY


15.34, Selasa, 23 Juni 1998

MARCEL tidak kembali juga. Dia seperti serpihan dari pesawat luar angkasa yang meledak di ruang hampa, lepas dari jangkauan grafitasi bumi. Hilang. Begitu pula, Sadeli. Kata H, menurut Mulya Loebis, Sadeli mungkin sudah dieksekusi. Jati dan Reza sudah kembali. Nezar, Aan, dan Mugi bebas bersyarat. Kata beberapa kawan, Marcel disembunyikan para pastor di Filipina. Tapi, aku tidak percaya. Menurut kawan-kawan, dia hilang di Tangerang (setelah bertemu A). Aku pernah sekali melihat ibunya muncul di televisi. Sepasang mata perempuan itu redup berair. Bagaimana ia bisa memahat sepasang mata yang selalu bersinar dan terus-terang pada wajah putranya? N sempat bercerita tentang 103 mayat korban penembakan serta penganiayaan yang mengambang di Kali Bekasi, beberapa waktu setelah kasus penembakan 12 mahasiswa Trisakti. Berita ini ditayangkan Horison. Apakah mereka berdua ada di antara mayat-mayat itu?

Marcel adalah nama lain untuk Bimo Petrus Anugerah, sedang Sadeli adalah nama alias untuk Herman Hendrawan. Keduanya tercatat sebagai aktivis Partai Rakyat Demokratik yang hilang di masa pemerintah Soeharto. Catatan harian ini ditulis sebulan setelah Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden dan meninggalkan sejarah kekerasan yang panjang selama periode kekuasaannya. Setelah evakuasi berkali-kali dalam keadaan yang tak menentu, juga membakar berkas-berkas maupun dokumen demi menjaga kerahasiaan gerakan waktu itu, ganjil rasanya menemukan catatan semacam ini di tumpukan buku di masa tenang.

Ada sebelas kawan saya yang diculik militer di masa Soeharto. Empat orang tidak kembali dan seorang ditemukan sudah menjadi mayat di jalanan. Tapi, anehnya, catatan itu menunjukkan bahwa saya maupun kawan lain tak pernah membicarakan Wiji Thukul sebagai orang keempat. Kami tak menganggapnya sebagai kawan yang mengalami penghilangan paksa, tak pernah menaruh curiga ia turut menjadi korban. Saya—dan mungkin banyak teman—mengira ia tengah bersembunyi di Solo atau berada di suatu tempat, tapi situasi politik waktu itu membuat kawan yang melindunginya merahasiakan keberadaannya dari yang lain. Ini juga hal biasa dalam partai. Tak semua hal perlu diketahui semua orang agar usia perjuangan bisa panjang. Ternyata prasangka serupa terjadi pada istri Thukul, Sipon. Saya mendengar Mbak Pon menyangka ada kawan yang menyembunyikan suaminya dari kejaran militer. Namun, setelah sekian lama Thukul tak ada, masing-masing pihak mulai saling bertanya. Ternyata Thukul memang tak disembunyikan pihak mana pun, Sipon ataupun orang-orang PRD. Sejak itu pencarian Thukul mulai dilakukan. Keluarga dan kawan-kawan Thukul mendatangi lembaga bantuan hukum, mulai percaya bahwa Thukul memang termasuk orang-orang yang hilang di masa Soeharto. Pencarian ini terkesan sangat terlambat. Thukul bahkan tak termasuk dalam daftar orang hilang yang poster-posternya disebarkan Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, yang suatu kali pernah terpampang di berbagai tembok kota dan rumah-rumah.

Siapakah Wiji Thukul ini? Mengapa ia hilang? Siapa yang menghilangkannya?

Saya mendengar nama Thukul pertama kali pada 1994. Ketika itu pembentukan Persatuan Rakyat Demokratik baru saja selesai dan Wiji Thukul terpilih menjadi ketua divisi budaya organisasi ini. Ada teman yang menyarankan saya untuk bertemu Thukul. “Mungkin, kalian bisa melakukan sesuatu lewat seni dan budaya,” katanya. Ia juga menunjukkan sejumlah sajak Thukul yang saya pikir menyalahi unsur-unsur estetika yang saya pelajari di fakultas sastra. Sajak-sajak itu tidak puitis dan pasti terkesan vulgar bagi banyak mahasiswa di fakultas saya di masa Orde Baru. Bagi mereka, sulit membayangkan keindahan dalam keadaan yang kumuh dan miskin seperti kehidupan buruh, tukang becak, atau masyarakat urban. Tak bakal ada keindahan dalam got yang bau dan keringat yang mengucur deras, yang bisa memicu kelahiran karya sastra. Kemiskinan dan penderitaan hanya melahirkan lembaran pamflet, bukan sajak atau puisi. Saya juga pernah punya anggapan semacam itu, bahwa keindahan sejati hanya terkandung dalam kisah-kisah cinta yang wangi. Keindahan tak bisa beriringan dengan protes yang mengandung kemarahan, tuntutan, dan kekecewaan, seperti apa yang disebut Thukul puisi.

Teori-teori kesusastraan yang saya pelajari tak berpihak pada sajak Thukul. Samuel Tylor Coloridge (1772-1834), sastrawan di masa romantik telah menyebut sajak sejenis karangan yang berlawanan dengan karya sains, bersifat memberi kesenangan langsung. Riffaterre, misalnya, mendefinisikan sajak sebagai ‘mengatakan sesuatu tapi artinya lain’. Sajak pun disebut memiliki ciri-ciri tertentu, antara lain berbentuk monolog aku-lirik dan bermakna konotatif. Sajak harus mengandung metafora, simile, atau alegori. Pendeknya, untuk memahami sebuah sajak, tidak gampang. Teori-teori tersebut tak cocok untuk sajak-sajak Thukul. Sajak-sajaknya bernada lugas dan mudah dipahami, tak bermain kiasan atau perbandingan yang rumit.

Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan/di sana bersemayam kemerdekaan/apabila engkau memaksa diam/aku siapkan untukmu: pemberontakan!

Dalam bait Sajak Suara-nya yang terkenal itu Thukul menyuarakan rasa ketertindasan rakyat kecil di masa Soeharto, yang dirinya pun menjadi bagian dari mereka. Seni bagi Thukul adalah seni yang terlibat, menyatu dalam dinamika masyarakatnya, bukan hasil imajinasi belaka.

Pada tahun itu juga saya berangkat ke Solo dan menemui Thukul di Kampung Kalangan bersama Raharja Waluya Jati, kawan aktivis di Yogyakarta. Kami memasuki pemukiman kumuh di tengah kota, yang dihuni para buruh pabrik, tukang becak, kuli rendahan, dan orang-orang yang paling tak diperhitungkan pendapatnya dalam sebuah pemerintahan otoriter. Di tengah kampung inilah sajak-sajak Thukul lahir. Thukul tak hanya menyuarakan kesengsaraan mereka, tapi juga membangkitkan semangat untuk melawan ketidakadilan itu. Sajak-sajaknya bukan semata-mata hardikan pada kekuasaan, tapi juga jalan keluar bagi orang yang ditindas, jalan yang tak disukai penguasa.

Kami melihat anak-anak kecil bertelanjang kaki berlarian di bawah terik matahari, menghirup hawa busuk yang menguap dari pembuangan limbah industri. Kami berhenti di muka sebuah rumah sewaan dan seorang pria kurus berkaos oblong putih merek Swan menyambut di ambang pintu. Betapa ringkihnya orang ini, pikir saya, tak sepadan dengan keberanian sajak-sajaknya. Bicaranya pelat dan derai tawa terdengar di ujung kalimat-kalimatnya. Thukul tinggal dengan seorang istri dan dua anak yang masih balita, Nganti Wani dan Fajar Merah. Dia menyuguhkan singkong rebus pada tamunya.

Kehidupannya miskin. Rumah itu berlantai tanah. Di ruang muka membentang sehelai plastik biru bahan tenda pedagang kaki lima yang berfungsi sebagai alas duduk. Sebuah mesin jahit berada di tengah ruangan tersebut, alat pencari nafkah si penghuni rumah. Kamar mandi berbau tak sedap terletak di luar, tanpa kran air ledeng.

Tapi, Thukul punya sebuah ruang istimewa; perpustakaan. Ini satu-satunya kemewahan. Di sana ada buku Antonio Gramsci, Bertolt Brecht, Raymond Williams, Marx, …. Kebanyakan buku berbahasa Inggris. Beberapa anak kampung tengah bertandang ke rumah Thukul ketika kami datang. Mereka belajar menggambar dengan teknik cukil kayu. Saya masih ingat salah seorang yang ramah dan suka bertanya. Namanya, Trontong. Nganti Wani kelihatan paling kecil, menyela di antara mereka.

Anak-anak tersebut tergabung dalam Sanggar Suka Banjir. Mereka belajar menggambar, mengarang, membaca, dan bermain teater di situ. Thukul mengajarkan apa yang tak mereka peroleh di sekolah, yaitu mengekspresikan dengan jujur perasaan serta pengalaman sehari-hari mereka. Semua karya bertumpu pada hal-hal nyata. Bahkan, suatu hari sanggar ini mementaskan lakon tentang banjir dan di akhir pertunjukannya pemain serta penonton beramai-ramai mengunjungi rumah lurah untuk mengadukan tanggul yang jebol. Melalui permainan, Thukul telah menanamkan rasa percaya diri pada anak-anak kampung agar tak gentar menyatakan kebenaran. Dalam keterbatasan selalu ada jalan. Kelompok teater dari luar Indonesia juga pernah berkunjung ke Sanggar Suka Banjir dan membagi pengetahuan baru untuk anak-anak tersebut. Kampung Kalangan yang sempit seakan berubah luas, memberi anak-anak miskin itu kegembiraan.

Thukul juga melatih buruh-buruh pabrik bermain teater. Konsep sebuah teater buruh di Afrika Selatan mengilhaminya. Buruh-buruh memerankan pengusaha, satpam, mandor, supervisor, dan diri mereka sendiri. Buruh yang memerankan majikan berdebat dengan buruh yang memerankan dirinya. Mereka belajar bernegosisasi lewat teater. Selama ini para buruh merasa tak punya kemampuan menjelaskan tuntutan mereka di hadapan pengusaha atau pihak departemen tenaga kerja yang mereka sebut ‘orang-orang pintar’ itu. Kalimat-kalimat mereka selalu dipatahkan dengan kelihaian pengusaha berargumentasi. Tuntutan-tuntutan kesejahteraan mereka tak dipenuhi. Thukul melatih buruh-buruh berbicara, membangkitkan rasa percaya diri mereka untuk berhadapan langsung dengan pemilik modal yang menentukan upah mereka dalam kehidupan nyata. Latihan ini semacam simulasi. Meski pengusaha punya pembela hukum, buruh-buruh tak perlu gentar. Dengan bersatu, kekuatan mereka akan lebih besar dan didengar. Thukul melakukan pengorganisasian buruh dengan cara ini untuk PRD.

Pada Agustus 1994, setelah beberapa kali bertemu, kami sepakat membangun Jaringan Kerja Kesenian Rakyat dan sepakat berpihak pada rakyat tertindas dalam karya-karya kami. Bentuk jaringan dipilih berdasarkan kondisi dunia kesenian saat itu, yang para pekerjanya jauh dari pengalaman berorganisasi dan sukar berdisiplin, menganggap organisasi identik dengan penyeragaman yang bisa mematikan kebebasan berkreasi mereka. Orang tak punya referensi tentang organisasi kesenian yang modern, selain paguyuban. Setidaknya, bentuk jaringan ini tak membuat mereka merasa dikekang.

Pengetahuan berorganisasi memang telah dihancurkan sejak peristiwa 1965. Pemerintah Soeharto membubarkan puluhan partai maupun organ sektoralnya menjadi tiga partai yang telah mereka tentukan, yaitu Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya. Orde Baru tak memberi kebebasan pada rakyat untuk mendirikan organisasi dan berbeda pendapat. Rakyat yang terorganisasi bisa mempunyai kekuatan untuk mengancam kekuasaan, punya posisi tawar yang besar. Negara menciptakan organisasi untuk mengontrol rakyat, menciptakan ketakutan bahwa dengan tak masuk partai Golongan Karya atau Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, misalnya, nasib seseorang bisa buruk. Zaman itu tak banyak seniman yang berani berseberangan dengan pemerintah Orde Baru. Wiji Thukul tergolong mereka yang langka itu.

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendakiadanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi

Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri

Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!

Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!


Thukul menggunakan kiasan ‘tembok’ untuk penguasa, dan ‘bunga’ untuk rakyat yang dirampas tanah dan rumahnya. Sikapnya terhadap tirani jelas tergambar dalam sajak: harus tumbang!

Thukul sudah dianggap menentang pemerintah jauh sebelum ia terlibat dalam partai. Baginya perlawanan terhadap ketidakadilan adalah naluri. Pada 1989, Badan Koordinasi Intelijen Negara, menelepon Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta lantaran lembaga ini dianggap merekomendasikan aktivitas berkesenian Thukul. “Kata BAKIN, Wiji Thukul itu ‘kan orang yang mau mendongkel negara kita,” ujar Jaap Erkelens dari Koninklijk Instituut Voor Taal, Land en Volkenkunde, yang juga teman baik Thukul, mengulang cerita orang lembaga tersebut.

“Thukul juga sudah langganan ditangkap dan disiksa Koramil setempat,” kata Erkelens. Bahkan, pada masa itu, Thukul sempat ditahan Koramil di Solo gara-gara menerima paket buku dari Belanda. Pihak kantor pos yang bekerja sama dengan militer telah melaporkan soal kiriman tersebut.

“Sajak-sajak Thukul itu berisi protes sosial, yang dalam hal ini terbentur pada politisi,” kata Erkelens, lagi.

Di dalam negeri Thukul dimusuhi, tapi sajak-sajak tersebut membuat Thukul memperoleh penghargaan Wertheim Encourage Award yang pertama pada 1991 bersama penyair WS Rendra. Penghargaan ini dibuat sebagai penghormatan pada sosiolog Belanda Willem Frederik Wertheim, yang anti-kolonialisme dan tak suka pada prilaku pemerintah Soeharto. Ketika InterGovernmental Group on Indonesia (sekarang Consultative Group on Indonesia), sebuah lembaga donor yang diprakarsai pemerintah Belanda berdiri pada 1967, Wertheim menulis artikel berjudul “Tuan Sudah Kembali”, memperingatkan orang akan bentuk kolonialisme baru yang lebih maju dan tersembunyi.

Untuk mempopulerkan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat, masih pada 1994, organisasi ini mendukung pameran pelukis Moelyono di Yogyakarta. Pameran Moelyono bertema kehidupan nelayan. Kartu-kartu pos yang dilukis anak-anak nelayan turut dipamerkan. Kartu-kartu tersebut menunjukkan sikap aparat atau rentenir yang terjadi di sekeliling mereka, juga intimidasi dan ketidakadilan yang berlangsung sehari-hari. Bila Thukul hidup dengan anak-anak kaum miskin di perkotaan, Moelyono dekat dengan anak-anak nelayan di wilayah pantai Tulung Agung, Jawa Timur.

Pada tahun ini juga, aksi petani terjadi di Ngawi, Jawa Timur. Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi ditangkap serta dipukuli militer.

Dalam aksi-aksi massa semacam inilah, sajak-sajak Thukul sering dibacakan. Aksi yang terkadang memakan waktu berjam-jam dan tak jarang di tengah terik matahari membuat pembacaan sajak menjadi hiburan, selain memberi semangat dan ketidakgentaran menghadapi militer yang selalu menghadang tiap aksi protes.

Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan, Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok (ketiganya ada dalam antologi Mencari Tanah Lapang yang diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994. Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra, Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah Orde Baru).

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!


1994 merupakan tahun yang ramai bagi situasi nasional. Tiga media massa, Tempo, Detik, dan Editor dibredel. Aksi protes berlangsung di Jakarta dan berbagai kota. Para jurnalis turun ke jalan bersama mahasiswa dan organisasi pro demokrasi seperti Pijar, SMID, Formaci, Aldera, dan sebagainya. Akhirnya, tak semua rencana bisa berjalan mulus untuk kesenian dan Jaringan. Seiring situasi politik Indonesia yang makin represif di masa Soeharto, PRD berkonsentrasi pada pengorganisasian kaum buruh dan mendukung perjuangan rakyat Timor Timur untuk merebut kemerdekaannya. Pada Mei 1995, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia, onderbouw partai, melakukan aksi mogok bersama sekitar 5000 buruh PT Great River di gedung DPR RI, Jakarta, disusul aksi lompat pagar kedutaan beberapa negara tetangga bersama para aktivis Timor Timur yang anti integrasi. Pada tahun yang sama Thukul memimpin pemogokan buruh-buruh PT Sritex di Sukoharjo, Surakarta. Dalam aksi buruh Sritex ini Thukul nyaris buta akibat kekerasan aparat.

Banyak seniman di masa Orde Baru tak setuju pada sikap Thukul ini. Mereka menganggap seni tak bisa dicampuradukkan dengan politik. Seni untuk seni dan politik hanya mengotori kesuciannya. Tapi, di seluruh dunia selalu ada masa saat orang terpaksa berhadapan dengan sistem yang menindas dan seniman ikut terpanggil menentangnya. Jose Rizal, pahlawan rakyat Filipina, yang dieksekusi penjajah Spanyol, juga seorang sastrawan besar. Nikolai Vaptsarov, pemimpin rakyat Bulgaria menentang fasisme, juga penyair yang sangat terkenal di negerinya. Fransisco Borja da Costa, penyair Timor Lorosae, yang mati ditembak tentara Indonesia, sajak-sajaknya telah menjadi lagu rakyat Timor Timur.

Di masa Soeharto, orang tak bisa sendirian menentang kesewenang-wenangan itu dan mereka merasa perlu bersatu dalam perjuangan yang terorganisasi. Thukul memilih bergabung dalam PRD.

Pada Juni 1996 Pusat Perjuangan Buruh Indonesia dan PRD memimpin aksi mogok buruh di dua kawasan industri di Surabaya. Tiga aktivis PRD, Dita Indah Sari, Coen Husain Pontoh, dan Soleh, ditangkap dan dipenjarakan.

Percepatan politik melawan pemerintah Soeharto terjadi pada tahun yang sama. Pemicunya datang dari masalah internal Partai Demokrasi Indonesia. Partai berlambang banteng ini terpecah menjadi dua kubu, pro Soerjadi dan pro Megawati Soekarno. Kelompok pro Soejadi yang didukung pemerintah, militer, dan sejumlah pengusaha menjegal Megawati naik ke kursi ketua dengan melakukan kongres tandingan. Massa pendukung Megawati protes. Mereka membuka panggung demokrasi di kantor dewan pimpinan pusat partai itu, di Jalan Diponegoro 76, Jakarta Pusat. Tokoh-tokoh oposisi ikut berorasi di sana, seperti Gus Dur, Budiman Sudjatmiko, Mochtar Pakpahan, dan Sri Bintang Pamungkas. Pemerintah Orde Baru merasa terganggu. Kehadiran Mega dianggap bisa menjadi simbol perlawanan grass root ini, setidaknya mengingatkan orang pada keberpihakan Soekarno terhadap kaum miskin dulu. Momentum untuk mengakhiri kekuasaan Orde Baru yang korup sebagian bersandar pada massa yang militan tersebut. PRD memutuskan untuk mendukung perjuangan mereka. Tapi, pemerintah melihat hal ini tak menguntungkan. Pemerintah kemudian mengeluarkan teori tentang kuda Troya (Taktik Troya menaklukkan Sparta dengan mengirim kuda kayu raksasa yang ternyata berisi prajurit Troya). PRD dianggap menunggangi massa PDI yang besar itu untuk menghadapi pemerintah Soeharto.

Pada 27 Juli 1996, preman yang didukung aparat menyerbu kantor PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Mereka mengenakan kaos PDI pro Soerjadi. Keterangan resmi Komisi Nasional hak-Hak Asasi Manusia menyebutkan 23 orang hilang, lima meninggal dunia, dan 149 luka-luka akibat serangan itu. Namun, korban yang jatuh lebih banyak.

PRD dituduh sebagai dalang peristiwa 27 Juli. Struktur dan bagan organisasi serta nama sejumlah kawan disiarkan di televisi. Pada 10 Agustus 1996, Budiman Sudjatmiko dan pengurus lain ditangkap dan ditahan. Kepemimpinan partai diambil alih sebuah komite tertutup. Taktik perjuangan berubah menjadi bawah tanah.

Saya kehilangan kontak dengan Wiji Thukul pada masa ini. Ia menghilang, tak berkoordinasi. Saya kira, hal ini wajar terjadi. Ini pengalaman pertama kami menerima serangan cukup besar dari pemerintah. Saya tak yakin kawan-kawan di daerah punya kesiapan lebih baik. Jadi, Thukul memutuskan menyelamatkan diri dulu sambil membangun kontak kembali. Komunikasi organisasi dengan kota-kota lain dilakukan lewat internet. Berita-berita tentang situasi politik Indonesia yang tak dimuat media mainstream disebarkan media alternatif seperti Siar dan Kabar dari Pijar ke publik lewat milis Apakabar, yang dikelola John McDouglas.

Pada awal 1997, kami menemukan kembali puisi-puisi Thukul di internet. Ia tak menyebutkan keberadaannya. Tapi, puisi-puisinya berganti warna, lebih murung dan kontemplatif, meski masih bernada protes sosial. Saya kira, situasi dalam pelarian tidak menyenangkan hatinya. Ia juga terpisah dari gejolak sosial dan politik yang memberinya inspirasi. Belakangan saya baru tahu kalau ia pergi ke Kalimantan dan hampir setengah tahun tinggal di sana.

Pemilihan umum 1997 di ambang pintu. Pemerintah Orde Baru makin memperkuat diri. Partai Persatuan Pembangunan, yang berbasiskan umat Islam, mulai tak sejalan dengan kebijakan pemerintah. Sebelumnya partai ini dikenal konservatif. Massa pendukung Megawati berusaha bangkit pasca 27 Juli, berusaha berkonsolidasi. Kini pemerintah Soeharto menjadi musuh bersama. Elite-elite politik yang semula mendukung Soeharto mulai berbalik arah, melihat desakan rakyat dan mahasiswa yang besar menuntut kemundurannya dari kursi presiden. Harmoko, juru bicaranya yang baik, ikut memancing di air keruh. Ia menghimbau Soeharto mundur di televisi.

Wiji Thukul telah kembali dari Kalimantan dan ia diminta membantu kawan-kawan di Jakarta. Saya kembali bekerja bersama Thukul. Tapi, pada November 1997, Thukul meminta izin untuk pulang ke Solo pada saya. Ia berjanji menghubungi saya lagi seminggu kemudian. Janji tersebut tidak dipenuhinya. Itulah kontak terakhir saya dengan Thukul.

“Terakhir kali saya ketemu dia Desember 1997,” kata Jaap Erkelens. Namun, sejumlah orang masih melihatnya di Jakarta pada April 1998. “Pada Mei 1998, ia benar-benar menghilang,” lanjut Erkelens.

Mei 1998, Soeharto turun. Kerusuhan terjadi di Jakarta. Di tengah aksi massa yang menuntut pemerintahan transisi meledak kerusuhan anti etnis Tionghoa di Jakarta. Banyak toko dibakar dan dijarah. Ratusan perempuan Tionghoa diperkosa. Juni 1998, sebulan setelah Soeharto turun, kerusuhan bertema sejenis telah menjalar ke beberapa daerah. Mochtar Pakpahan dari Serikat Buruh Seluruh Indonesia membuat pernyataan di media massa bahwa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia berada di balik kerusuhan-kerusuhan itu. Pernyataan ini dibalas Amien Rais dengan tak kalah emosional. Amin menuduh Mochtar itu PKI dan komunis. Akibatnya, di masjid-masjid dipasang pengumuman bahwa gerakan buruh harus diwaspadai, karena komunis berada di belakangnya. Ada juga yang menyebutkan Thukul dihilangkan aparat pada masa ini. Ia dilenyapkan sebagai konsekuensi aktivitas politiknya, yang menjadikan seni sebagai cara.

Pencarian orang-orang hilang terus dilakukan sampai hari ini. Tapi, selama lima tahun berjalan belum ada titik terang. Sejumlah anggota Komando Pasukan Khusus yang tergabung dalam Tim Mawar telah diadili, tapi mereka mengaku semua aktivis yang mereka culik telah dibebaskan dan dalam keadaan hidup. Prabowo Subianto juga menegaskan hal serupa. Wiji Thukul dan orang-orang yang hilang itu seolah terkubur bersama kejatuhan Soeharto.

Bagaimana nasib Mbak Pon, Wani, Fajar, dan anak-anak Sanggar Suka Banjir itu sekarang?

Mbak Pon masih menjahit pesanan dengan mesin jahit tuanya untuk membiayai keluarga. Nganti Wani telah tumbuh jadi gadis remaja yang suka menulis puisi seperti ayahnya. Fajar Merah sudah masuk sekolah. Trontong, sahabat kecil Thukul itu, kini sudah dewasa. “Dia sekarang jadi buruh,” kata Mas Slamet, teman Thukul, yang mengajari anak-anak menggambar. Dan Thukul tak bisa menyaksikan ini.

Jakarta, November 2002
Selengkapnya...

Krisis Agraria adalah Masalah Bangsa

Oleh: Ferry Juliantono

Pada saat ini, Indonesia menghadapi kemungkinan krisis pangan yang cukup berat. Krisis ini disebabkan oleh memburuknya krisis agraria, yang tidak hanya menindas kaum tani, melainkan memenjara rakyat Indonesia dalam kungkungan feodalisme dan imperialisme. Untuk itu, gerakan land-reform menduduki posisi penting. Gerakan ini adalah sokoguru gerakan demokratis dan pembebasan nasional untuk seluruh rakyat Indonesia.Diperkirakan, konsumsi beras perkapita antara tahun 2001 sampai 2006 akan mengalami peningkatan dari 153,53 kg perkapita pertahun menjadi 154,14 kg perkapita pertahun. Pada tahun 2021 diprediksikan sampai kepada angka konstan 147 kilogram per kapita/tahun. Dengan asumsi produktivitas sama dengan saat ini, tahun 2020 areal sawah yang diperlukan untuk seluruh wilayah Indonesia sekitar 9,3 juta hektar.

Saat ini, luas areal sawah di Indonesia mencapai sekitar 8,9 juta hektar. Dari luas itu, 45 persen di antaranya di Pulau Jawa dan Bali. Selanjutnya berturut-turut Sumatera 22,4 persen, Sulawesi 11,1 persen, Nusa Tenggara dan Maluku 6,4 persen, Kalimantan 14 persen, dan Irian Jaya 0,32 persen. Terlihat Jawa masih menjadi tumpuan bagi pengadaan pangan nasional.

Dengan data tersebut, secara logika, Indonesia harus memperluas areal lahan pertanian agar mampu mengimbangi naiknya grafik konsumsi pangan masyarakat. Masalahnya, pada saat ini ternyata sektor pertanian sudah tidak lagi menjanjikan. Dari data BPS, dalam waktu 10 tahun terakhir telah terjadi alihfungsi lahan sawah seluas 80.000 ha per tahun.

Selama periode 1999-2002 telah terjadi pengurangan lahan sawah seluas 563.159 hektar, atau rata-rata 187.720 hektar per tahun. Sekitar 30 persen sawah yang hilang itu berada di Jawa (167.150 hektar), dan 70 persen lainnya di luar Jawa. Untuk Jawa, konversi yang cukup tinggi terjadi di Jawa Barat (5,1 persen) dan Jawa Timur (6,3 persen). Padahal, kontribusi dua provinsi ini terhadap produksi padi nasional sangat besar sekitar 33 persen dari total produksi.

Dalam jangka pendek, alih fungsi memang belum terasakan dampaknya terhadap ketahanan pangan. Namun, bila terus terjadi tanpa ada langkah-langkah komprehensif menghentikannya akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Apalagi kehilangan sawah di Jawa sebenarnya bisa berdampak sangat besar, karena kualitas sawah di luar Jawa masih belum mengimbangi kualitas sawah di Jawa.

Produktivitas padi di Jawa bisa mencapai 51,94 kuintal per hektar, sementara di luar Jawa hanya 39,52 kuintal per hektar. Kalaupun kehilangan sawah di Jawa akan dikonversi dengan pencetakan sawah di luar Jawa, biayanya akan sangat mahal dan membutuhkan waktu lama. Kehilangan sawah di Jawa sulit tergantikan.

Demikian pula dengan palawija. Untuk mencapai sasaran produksi padi dan palawija tahun 2009 yang ditetapkan Departemen Pertanian, di Jawa diperlukan luas panen 6,2 juta hektar sawah. Namun, bila konversi di Jawa terus terjadi dengan rata- rata 55.717 hektar, tahun 2009 lahan baku yang tersedia hanya 2,9 juta hektar.

Sementara untuk lahan bukan sawah, atau lahan kering diperlukan 3,3 juta hektar, sementara dengan konversi lahan kering 163.360 hektar per tahun, pada tahun 2009 lahan kering yang ada di Jawa hanya sekitar 2,1 juta hektar.

Di luar Jawa untuk mencapai target 2009 diperlukan lahan sawah seluas 5,9 juta hektar jika konversi dengan tingkat seperti saat ini terus terjadi pada tahun 2009 sawah di luar Jawa hanya tinggal 3,6 juta hektar.

Permasalahan di sektor ini sebenarnya bukan hanya ancaman yang muncul dari derasnya proses alih fungsi lahan. Di samping itu, menurunnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian juga menjadi ancaman yang nyata pada produktifitas pertanian.

Hal ini yang menurut Kepala Badan Pertanahan Negara, Luthfie Ibrahim Nasution, menjadi salah satu penyebab ternyadinya alih fungsi lahan. “petani yang penguasaan dan kepemilikan lahannya di bawah skala ekonomi cenderung menjual tanahnya kepada pihak lain. Karena, pendapatan yang diterimanya dari pertanian relatif sangat rendah”, jelasnya.

Masalah Pokok

Bila paparan di atas kita persingkat, dalam waktu yang tidak lama lagi, niscaya Indonesia akan mengalami krisis pangan yang merupakan bentuk terburuk krisis agraria.

Krisis ini tentunya tidak hanya berimbas pada kehidupan kaum tani sebagai kalangan yang paling menggantungkan hidupnya pada sokongan sumber-sumber agraria. Krisis ini akan menimpa seluruh rakyat Indonesia. Permasalahan yang harus kita perdalam adalah apa yang menjadi sebab terjadinya krisis agraria?

Pertama, krisis agraria terjadi karena adanya konsentrasi atau monopoli dalam kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria (Lihat Kotak “Tanah Kita Siapa Punya”). Monopoli kepemilikan tanah di segelintir orang adalah hasil dari sekian banyak pertentangan di lapangan agraria. Pertentangan-pertentangan tersebut terwujud dalam berbagai gejala. Muara dari pertentangan-pertentangan tersebut adalah perampasan tanah (land grabbing), baik yang dilakukan secara halus maupun kasar.

Dari pemantauan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang masa Orde Baru sampai Desember 2001 paling tidak telah terjadi 1.753 kasus perampasan tanah dari petani dengan areal yang dirampas seluas 10.892.203 ha. Perampasan ini mengakibatkan sekitar 1.189.482 kepala keluarga menjadi korban.

Di antara kasus-kasus tersebut, sedikitnya 508 kasus diantaranya melibatkan tentara, 833 kasus melibatkan perusahaan kapitalis swasta, pemerintah daerah dan pusat sebanyak 719 kasus, BUMN 219 kasus, dan militer sebanyak 59 kasus. Data di atas adalah data kasus sengketa yang sempat mencuat di media massa. Data kongkritnya, termasuk sengketa-sengketa yang terselubung, mungkin jauh lebih besar.

Kedua, monopoli kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menyebabkan berkembang luasnya praktik-praktik sisa feudal dalam corak produksi masyarakat pedesaan. Proses monopoli kepemilikan dan penguasaan tanah terjadi dengan didahului oleh adanya alih kepemilikan yang kemudian menyebabkan terjadinya alih fungsi (konversi) lahan. Proses ini menyebabkan luas lahan pertanian yang dikelola kaum tani mengalami pemusatan ditangan segelintir orang yang pada giliran berikutnya mengalami penyempitan.

Pada sisi lain, jumlah kaum tani yang bekerja di atas tanah tidak mengalami perubahan yang berarti. Tingginya kebutuhan akan tanah menyuburkan praktik persewaan tanah oleh petani miskin dan buruh tani kepada klas-klas pemilik lahan. Hubungan sewa-menyewa lahan inilah yang menyebabkan menjamurnya hubungan produksi setengah-feodal di pedesaan.

Ketiga, dominasi feudalisme sesungguhnya erat dengan kepentingan imperialisme. Sejak masa kolonialisme Belanda, feodalisme telah menjadi alas kekuasaan imperialisme. Pada saat ini, imperialisme memang tidak menancapkan kekuasaannya secara langsung, melainkan menggunakan kakitangannya—yakni klas kapitalis komprador, tuantanah besar, dan kapitalis birokrat—dan menindas bukan hanya kaum tani, melainkan seluruh rakyat, terutama rakyat pekerja yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.

Keempat, imperialisme dan feodalisme menyebabkan kontradiksi di sektor agraria mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Kontradiksi-kontradiksi ini menyebabkan menurunnya daya dukung alam dan produktivitas pertanian. Imperialisme yang memaksa kaum tani untuk melaksanakan revolusi hijau—mekanisasi pertanian, pupuk kimia, dan bibit-bibit hasil rekayasa genetik—menyebabkan turunnya daya tawar masyarakat desa yang didominasi kaum tani dihadapan imperialisme dan feodalisme.

Penurunan daya tawar masyarakat desa, khususnya kaum tani, berjalan seiring dengan memburuknya krisis imperialisme dan membusuknya feodalisme. Semakin hari, krisis yang terjadi semakin memaksa kaum tani, bersama klas buruh dan massa tertindas lainnya, untuk menanggung beban krisis terberat. Pencabutan subsidi di berbagai bidang di samping kenaikan harga yang tidak tertanggulangi, menurunkan daya produksi kaum tani. Inilah yang mengakibatkan produktivitas pertanian mengalami kemerosotan yang cukup dalam.

Bila disimpulkan, permasalahan pokok yang diderita kaum tani saat ini adalah luasnya praktik sisa-sisa feodalisme dan dominasi imperialisme. Feodalisme dan imperialisme telah mengakibatkan terjadinya krisis agraria, yang ditandai dengan adanya pemusatan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta menurunnya daya hidup dan daya produksi kaum tani.

Kaum Tani Berlawan

Tingginya kontradiksi yang terjadi di pedesaan, sesungguhnya menumbuhkan potensi-potensi berlawan dari masyarakat desa, khususnya kaum tani. Perlawanan petani adalah perlawanan yang menyejarah, karena di samping memiliki landasan sejarah—keadaan sosial kontemporer—yang cukup kuat, perlawanan kaum tani juga merupakan bentuk-bentuk perlawanan yang sudah dikenal dalam sejarah pergerakan rakyat Indonesia melawan imperialisme dan feodalisme.

Gerakan-gerakan rakyat yang monumental dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia sesungguhnya terkait erat dengan kepentingan kaum tani sebagai suatu klas dalam masyarakat. Tengok saja sejarah perlawanan Diponegoro (1825-1830), pemberontakan kaum tani di Cilegon Banten tahun 1888, pemberontakan ‘Afdeling B’ di Garut tahun 1919, pemberontakan kaum tani bersenjata tahun 1926 di seluruh Jawa dan tahun 1927 di Sumatera Barat, atau peristiwa revolusi sosial tiga daerah pada masa pemerintahan pendudukan Jepang.

Pemberontakan-pemberontakan tersebut menyandarkan diri pada kegelisahan sosial di masyarakat pedesaan akibat tingginya pajak tanah dan beban bagi hasil yang mencekik kaum tani. Penerapan sistem tanam paksa (1830-1870), konsesi perkebunan yang disebabkan oleh pemberlakuan Undang-Undang Agraria 1870, monopoli penjualan beras oleh pemerintah Kolonial Belanda pada periode Perang Dunia I (1914-1917) serta oleh pemerintah pendudukan Jepang (1942-1945), menjadi momentum-momentum yang memupuk perlawanan kaum tani di Indonesia.

Memasuki masa setelah revolusi nasional Agustus 1945, kaum tani—terutama tani miskin dan buruh tani—masih harus memperjuangkan kemerdekaan sejati untuk klasnya. Revolusi Agustus 1945 ternyata belum cukup mampu membebaskan kaum tani dari penindasan musuh-musuh klasnya. Feodalisme ternyata belum bisa dimusnahkan, sementara imperialisme kembali menggeliat dan terus berupaya untuk merebut kembali kekuasaannya.

Pengalaman revolusi Agustus 1945 memberikan ketangguhan bagi kaum tani. Memaksa imperialisme untuk mencari cara menundukkan kaum tani, klas buruh, dan massa rakyat Indonesia yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.

Kaum tani, dengan dukungan seluruh rakyat anti-imperialisme dan anti-feodalisme secara giat mengkombinasikan aksi-aksi legal demokratis dengan aksi-aksi massa revolusioner untuk menjejakkan kemerdekaan sejati rakyat Indonesia.

Semua itu memaksa imperialisme AS untuk memperhebat tekanan politiknya dengan merancang berbagai aksi kontrarevolusioner yang bertujuan merampas kemerdekaan rakyat Indonesia. Puncak dari aksi-aksi itu adalah tumbangnya Soekarno dan berkuasanya Soeharto.

Soekarno adalah satu-satunya Presiden RI yang berasal dari klas borjuasi nasional. Kenaikan Soekarno—sebagai elemen borjuasi nasional—di panggung kekuasaan politik Indonesia adalah buah dari revolusi pembebasan nasional Agustus 1945. Sementara kekuasaan Soeharto, yang dibangun melalui gerakan kontrarevolusioner, adalah presiden yang berasal dari klas kapitalis birokrat dan kapitalis komprador. Dengan menggunakan kekuasaannya, Soeharto menjadikan dirinya sebagai klas tuan-tanah besar yang paling reaksioner di Indonesia selama 32 tahun.

Oleh karenanya, garis yang diusung oleh keduanya bertentangan satu sama lain. Bila Soekarno menunjukkan itikadnya untuk menentang imperialisme dan menghapuskan feodalisme, sebaliknya Soeharto yang justru mengembalikan kekuasaan imperialisme dan mengukuhkan feodalisme. Garis yang ditetapkan Soeharto lah yang saat ini terus dilaksanakan oleh pemerintahan-pemerintahan selanjutnya, termasuk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Land Reform

Landreform adalah jawaban yang paling ilmiah untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas. Landreform memecahkan kebuntuan Indonesia dalam hal peningkatan produktivitas agraria, memberikan jaminan hidup bagi kaum tani sebagai mayoritas rakyat, serta memberikan alas yang paling mendasar untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani sebagai klas mayoritas rakyat Indonesia.

Land reform memiliki tiga aspek yang satu dengan lainnya tidak terpisahkan. Pertama, aspek politik untuk mengubah relasi produksi yang berbasiskan kepemilikan monopoli atas tanah.

Kedua, land-reform memiliki aspek ekonomi untuk meningkatkan kemampuan ekonomi kaum tani di pedesaan.

Ketiga, land reform memiliki aspek budaya. Dalam pengertian ini, perombakan struktur hubungan produksi feodalisme memberikan dorongan bagi perubahan cara kerja yang pada gilirannya akan mengubah kesadaran kerja di kalangan kaum tani.

Secara lebih khusus, landreform memiliki tujuan (a) mengadakan pembagian tanah secara adil dengan menghapuskan monopoli, merombak struktur agraria yang timpang. (b) melaksanakan prinsip tanah untuk petani (penggarap) sehingga tidak terjadi lagi spekulasi dan pemerasan dengan menggunakan obyek tanah. (c), memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan dengan memberikan hak politik dan hak ekonomi atas tanah tersebut. (d) mengakhiri sistem tuan-tanah, menghapuskan feodalisme serta segala bentuk sistem kepemilikan yang tidak terbatas. (e), mempertinggi produksi nasional melalui terselenggaranya pertanian intensif yang dilaksanakan secara kolektif melalui pembentukan koperasi-koperasi dan sistem kerja bersama guna menjamin produktivitas dan pemerataan kesejahteraan.

Kedudukan landreform sebagai sokoguru gerakan demokratis di Indonesia sesungguhnya tidak bisa dibantah. Landreform memberikan fondasi demokrasi yang kokoh bagi kaum tani sebagai cara memerdekakan diri dari penindasan feodalisme, sekaligus memberikan landasan yang kuat bagi rakyat untuk memerdekakan diri dari penghisapan imperialisme. Kehancuran feodalisme itulah yang akan menjadi titik nadir kekuasaan imperialisme.

Oleh karenanya, landreform adalah tugas sejarah kaum tani yang membutuhkan sokongan kongkrit dari seluruh rakyat Indonesia yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.
Selengkapnya...

Pemerintahan Baru dan Nasib Petani

Oleh Usep Setiawan

Tulisan Saudara Idham Samudra Bey (Kompas, 3 Agustus 2001) teramat sayang untuk dilewatkan. Absennya kebijakan pertanian yang secara fundamental menjawab rasa keadilan bagi mayoritas anak bangsa yang bermatapencaharian sebagai petani menjadi sorotan Saudara Idham dalam artikel berjudul Para Menteri Pertanian dan Penderitaan Petani. Tiga Menteri Pertanian (bahkan sebenarnya beberapa yang sebelumnya) di masa lalu telahmengambil garis kebijakan pertanian yang dikenal sebagai agrobisnis atau bisnis berskala besar dalam bidang pertanian. Sebagai sebuah strategi pembangunan, agrobisnis memang mewarisi watak efektivitas dan efisiensi dari berbagai sendi usaha tani –seperti permodalan, tenaga kerja, sarana produksi, dsb.




Efektivitas dan efisiensi yang mensyaratkan adanya sikap mental untuk sedia bersaing bebas dalam bisnis di kalangan petani menjadi ciri pokok kebijakan pertanian di masa lalu. Buah dari strategi pembangunan pertanian semacam ini sudah banyak dikatakan para ahli sebagai menghasilkan kesenjangan sosial, ketergantungan dan marginalisasi bahkan pemiskinan secara struktural bagi petani kecil pada umumnya.

Lantas, solusi apa yang bisa dikedepankan untuk mengeliminir buah-buah pahit pembangunan pertanian semacam itu ? Dengan singkat, Saudara Idham S. Bey memberi alternatif baru yang diyakini lebih relevan yakni agrarian reform dan alternative collective farming. Tawaran ini rasanya perlu untuk dikembangkan dalam wacana publik, dan tulisan ini dimaksudkan untuk meneruskan lontaran pemikiran Saudara Idham agar lebih menemukan konteksnya di lapangan.

Situasi politik Indonesia dewasa ini tengah berada dalam masa transisi dari suatu keadaan lama menuju keadaan baru. Dalam prakteknya, masa transisi ini diwarnai oleh banyak ironi yang tidak selamanya mengutungkan agenda demokratisasi kerakyatan, seperti di bidang pertanian. Bahkan, belakangan ini situasi politik semakin tidak menentu dan menjurus pada konflik kepentingan elitis partisan yang terus tarik menarik satu sama lain. Kecenderungan ini menjadi penyebab bagi terbengkalainya agenda-agenda kerakyatan seperti perihal peningkatan kualitas hidup kaum tani kita.

Dalam situasi semacam itu, arah kebijakan dan praktek politik negara atas dunia pertanian menjadi kabur, sama-samar dan akhirnya tak jelas sama sekali. Padahal sudah jadi rahasia umum, bahwa di lapangan terdapat tiga buah persoalan besar yang butuh perhatian seksama, yakni (i) fakta banyaknya sengketa (konflik) atas tanah pertanian yang terus menumpuk tanpa penyelesaian; (ii) fakta ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah pertanian akibat monopoli oleh pihak-pihak yang berekonomi kuat, dan (iii) fakta ketidakadilan dalam pengelolaan distribusi produk-produk pertanian yang eksploitatif demi mengejar pertumbuhan ekonomis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu semata.

Penyebab utama dari masalah-masalah ini adalah tidak adanya strategi kebijakan pertanian (agraria) yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak dan kehidupan rakyat setempat. Kebijakan-kebijakan yang ada ditenggarai lebih mementingkan investasi skala besar ketimbang pengembangan ekonomi rakyat. Ditambah lagi dengan sektoralisme kebijakan yang menyebabkan tumpang-tindih dan semrawutnya kewenangan antar-instansi pemerintah. Dengan sektoralisme ini pula lomba adu cepat masuknya modal besar untuk mengkomoditisasi serta mengekploitasi tanah pertanian yang sebelumnya dikuasai petani menjadi lebih terfasilitasi.

Di sisi lain, perubahan-perubahan dan tekanan-tekanan global serta penataan-ulang pola pemerintahan yang baru (desentralisasi atau otonomi daerah) serta tekanan-tekanan untuk memberi penghargaan pada hak-hak masyarakat adat dapat dipastikan menuntut ruang nyata dalam perubahan-perubahan kebijakan di bidang pertanian ini.
***

Lahirnya pemerintahan baru paska Sidang Istimewa MPR 2001 memberi peluang bagi dimunculkannya alternatif baru dalam strategi pembangunan pertanian kita. Tentu asumsi ini dinilai relevan jika kita (i) Mengesampingkan kontroversi dalam menilai konstelasi politik nasional, termasuk sah tidaknya proses penyelenggaraan dan hasil-hasil SI MPR tersebut, (ii) Memberi kepercayaan dan kesempatan kepada pemerintahan baru yang dikomandani Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz untuk bekerja mengurus hajat hidup rakyat semesta, (iii) Secara sistematis mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintahan baru, khususnya dalam merumuskan dan menerapkan kebijakannya di bidang pertanian.

Agrarian reform seyogyanya dijadikan fondasi dari strategi pembangunan pertanian di masa depan. Dengan tersediannya lahan pertanian yang cukup bagi petani kecil maka produktivitas yang menstimulasi peningkatan pendapatan petani kita menjadi lebih mungkin. Agrarian reform merupakan program serempak dan memiliki umur tertentu ini memberi kemungkinan lebih besar bagi kaum tani kecil (buruh tani, penggarap) untuk menjalankan usaha taninya secara lebih aman. Faktor penguasaan tanah menjadi hal fundamen bagi usaha tani yang akan dikembangkan selanjutnya.

Layaknya sebuah perubahan sosial yang mendasar, reforma agraria akan berhasil jika digalang dalam bentuk gerakan. Sebagai sebuah gerakan, reforma agraria membutuhkan komitmen politik dari para penyelenggara negara di pusat maupun daerah, di parlemen maupun eksekutif. Idealnya negara, melalui isntitusi tertingginya MPR, membuat ketetapan khusus menyangkut arah dan substansi kebijakan negara dalam soal agraria.

Tuntutan akan perubahan sekaligus pembentukan kebijakan yang terkait dengan hal-hal di atas sudah sering dan sejak lama dikumandangkan. Desakan bagi penyelesaian sengketa tanah dan SDA lainnya telah menjadi koor yang bergema dari setiap basis komunitas yang sumber penghidupannya telah dirampas. Begitu pula upaya membentuk kebijakan yang memungkinkan dijalankannya penataan kembali struktur tanah dan SDA lainnya agar lebih kerkeadilan sudah dicoba oleh sejumlah kalangan di luar pemerintahan dalam berbagai bentuk tindakan. Demikian halnya segenap daya upaya untuk menyelamatkan tanah dan SDA dari salah urus dalam pengelolaannya telah menjadi kecenderungan penting dalam advokasi sejumlah organisasi non-pemerintah.

Pendek kata, upaya merumuskan ulang arah kebijakan nasional atas dunia pertanian dinilai telah menjadi salah satu kebutuhan pokok yang menjadi pra-syarat bagi upaya penyelamatan dan meningkatkan kualitas kehidupan kalangan rakyat –termasuk korban-korban sengketa, yang menggantungkan hidupnya dari hasil-hasil pengelolaan tanah-tanah pertanian.

Kebijakan pertnian di masa depan mestilah mengandung prinsip; (i) Berorientasi kerakyatan yang mengutamakan kepentingan hajat hidup masyarakat banyak ketimbang kepentingan modal besar; (ii) Mengedepankan keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah pertanian; (iii) Bersifat integratif antar sektor dengan menghentikan sektoralisme dalam bentuk kebijakan yang terpadu; (v) Memperhatikan keberlanjutan antar-generasi, dan (vi) Memperhitungkan aspek kelestarian dalam pengelolaannya.

Di samping itu, berdasarkan pengalaman yang ada dan berkembang selama ini, maka paling tidak diperlukan 3 (tiga) blok besar kebijakan yakni ; (1) Kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi pada masa lalu secara tuntas; (2) Kebijakan penataan-ulang struktur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan SDA lainnya agar tercipta suatu kontrak sosial baru yang lebih berkeadilan; (3) Kebijakan yang mengatur soal pengelolaan tanah dan SDA lainnya untuk masa mendatang yang berdasar pada dua poin kebijakan di atas.

Perjuangan mewujudkan agenda-agenda di atas sudah pasti perlu melibatkan seluas mungkin pihak yang peduli dan berkepentingan terhadap perlunya kebijakan pertanian yang memungkinkan Indonesia bangkit dari krisis multi-dimensi yang hingga saat ini masih mengepung segela penjuru hajat hidup rakyat banyak untuk kemudian secara sadar membangun sebuah tatanan baru yang lebih adil dan demokratis.
***

Model pertanian kolektif yang lebih berwatak sosial menjadi alternatif untuk dikembangkan setelah keadilan dalam penguasaan tanah tercipta. Kolektivisasi usaha tani dalam bentuk koperasi produksi pertanian yang mengutamakan aspek keadilan dalam usaha tani layak menjadi alternatif dari model lama yang mengejar produktivitas semabri mengabaikan pemerataan hasil-hasilnya.

Paling tidak, beberapa prasyarat berikut ini dibutuhkan agar model pertanian kolektif bisa berjalan dengan relaitif mulus, yakni; (i) Adanya pembangunan organisasi tani lokal yang memiliki berbasis massa, (ii) Adanya kesadaran kolektif petani untuk bekerjasama dalam mengembangkan model pertanian dengan prinsip maju bersama ini, (iii) Adanya upaya penggalian modal internal yang dikumpulkan dari kantong-kantong keluarga petani di tingkat lokal, (iv) Adanya komitmen yang nyata dari pemerintah dalam mendukung pengembangan pertanian melalaui regulasi yang menungkinkan petani mendapat subsidi dan modal usaha yang layak, sarana produksi yang murah dan ramah lingkungan, serta jaminan keamanan harga-harga pasar dari produksi para petani.

Pertanyaannya, apakah pemerintahan yang baru punya niat tulus untuk secara sungguh berpihak kepada yang lemah atau justru sebaliknya ? Waktu bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya tidaklah banyak, mari kita lihat dalam 100 hari ke depan. Jika tanda-tanda ke arah itu tidak ada, niscaya legitimasi sosial pemerintahan baru sangat pantas disobek.
-----------------
Bandung, 4 Agustus 2001
Penulis adalah Ketua YP2AS, Bandung
Selengkapnya...

Cengkraman Kapitalisme Global di Indonesia

oleh: Dwi Condro Triono

I. PENDAHULUAN

Saat ini kita tengah berada di abad kapitalisme. Di seantero jagad dunia ini tidak ada yang terbebas dari cengkeramannya, termasuk Indonesia tentunya. Sesungguhnya setiap manusia yang tinggal di atas muka bumi ini sudah bisa melihat, memahami dan merasakan bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh “ulah” kapitalisme global ini. Tidak perlu dengan kuliah di fakultas ekonomi yang tinggi, mereka yang tidak “melek” huruf-pun akan langsung bisa menjawab ketika ditanya tentang wajah ekonomi yang berlangsung saat ini, walaupun tidak bisa memberikan istilah yang tepat untuknya. Semua orang langsung dapat “mendeteksi”, bahwa ada ketidakberesan dari tata ekonomi yang berlangsung saat ini. Sangat nampak, bahwa wajah ekonomi saat ini terus berjalan menuju kepada dua kutub yang sangat berlawanan. Satu kutub telah membawa mereka yang kaya menjadi semakin kaya, sedangkan kutub yang lain terus menyeret mereka yang miskin menjadi semakin miskin dengan jumlah yang terus membengkak.

Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis ingin memberikan dua hal penting yang harus dilakukan untuk bisa menghadapi semua fenomena ini. Pertama, kita harus dapat menunjukkan apa sesungguhnya yang menjadi akar permasalahan, sehingga keadaan ekonomi dapat menjadi seperti ini. Apakah benar, bahwa semua tragedi ekonomi ini memang bersumber dari “ajaran” ekonomi kapitalisme? Kedua, jika memang benar, maka kita harus memiliki strategi khusus untuk dapat membendung kapitalisme global tersebut, sekaligus dapat menghadirkan ekonomi alternatif yang dapat menjadi penggantinya.

II. MENCARI AKAR PERMASALAHAN

Untuk menunjukkan keterkaitan ajaran kapitalisme dengan tragedi ekonomi yang saat ini berkembang, analisis yang pernah diajukan Karl Marx sesungguhnya sudah cukup ampuh untuk dapat memahami fenomena tersebut. Ada dua teori penting dari Karl Marx yang perlu kita fahami bersama (Deliarnov, 1997 & Koesters, 1987):

1. Surplus labor and value theory

Dalam membangun teorinya, Marx berangkat dari pandangan nilai (value) terhadap barang dan jasa menurut Adam Smith dan David Ricardo. Nilai suatu barang itu diukur dari seberapa banyak tenaga yang telah dikorbankan oleh pekerja untuk memproduksi barang tersebut. Selanjutnya Marx melihat bahwa dengan adanya perubahan pola produksi dari sistem yang primitif kepada sistem yang modern, maka akan muncul ketidakadilan dalam ekonomi.

Pola produksi yang primitif:

1. Kepemilikan bersifat individual.

2. Produksi bersifat individual.

3. Penjualan bersifat individual.

4. Pembagian keuntungan bersifat individual.

Pola produksi yang modern:

1. Kepemilikan bersifat individual.

2. Produksi bersifat kolektif.

3. Penjualan bersifat kolektif.

4. Pembagian keuntungan bersifat individual.

Dalam pola produksi modern, yang bekerja adalah buruh-buruh perusahaan. Majikan sebagai pemilik perusahaan, kenyataannya tidak pernah terlibat dalam proses produksi. Akan tetapi, majikanlah yang menikmati seluruh keuntungan yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut. Sementara itu tenaga para buruh hanya dianggap sebagai bagian dari komponen biaya produksi. Sesuai dengan teori ekonomi kapitalisme, untuk memperoleh keuntungan yang maksimum, maka salah satu metodenya adalah dengan menekan biaya produksi seminimum mungkin. Jika nilai barang itu diukur dari besarnya tenaga yang telah dikorbankan, maka sesungguhnya telah terjadi surplus nilai tenaga buruh yang telah diambil oleh majikannya. Dengan demikian, ekonomi kapitalisme adalah ekonomi yang sangat dzalim terhadap kaum buruh dan menjadi surga bagi para kapitalis.

2. The law of capital accumulations

Menurut Marx, dalam persaingan yang bebas, perusahaan yang besar akan senantiasa “memakan” perusahaan yang kecil. Oleh karena itu, jumlah majikan akan semakin berkurang, sebaliknya jumlah kaum buruh akan semakin banyak. Demikian juga, jumlah perusahaan yang besar juga akan semakin sedikit, namun akumulasi kapitalnya akan semakin besar. Jika jumlah buruh semakin banyak, maka akan berlaku hukum upah besi (the iron wages law). Dengan demikian, nasib kaum buruh akan semakin tertindas sedangkan para kapitalis akan semakin ganas dan serakah.

Analisis yang dikemukakan oleh Marx memang masih terlalu sederhana untuk ukuran perkembangan ekonomi kapitalisme saat ini. Sebab, perkembangan kapitalisme global di abad mutakhir ini sudah semakin canggih dan kompleks. Keserakahan kaum kapitalis tidak hanya sampai pada pemerasan kaum buruh dan pencaplokan pengusaha kelas teri, namun keserakahan mereka sudah menerobos dan menjarah di banyak sektor yang lain, bahkan dengan dukungan berbagai fasilitas dan lembaga yang mereka ciptakan sendiri. Berbagai sektor maupun lembaga yang mereka ciptakan tersebut diantaranya adalah (Triono, 2007):

1. Sektor keuangan

Kaum kapitalis tidak hanya ingin membesar, tetapi mereka juga ingin membesar dengan cepat. Caranya ialah dengan menciptakan lembaga perbankan. Fungsi utamanya adalah untuk mengeruk dana masyarakat dengan cepat, sehingga dapat segera mereka manfaatkan untuk menambah modal perusahaannya agar bisa menjadi cepat besar.

Ternyata keberadaan lembaga perbankan ini masih dianggap belum cukup, mereka terus mengembangkan kreatifitasnya. Akhirnya ditemukanlah ide untuk menciptakan sebuah pasar yang unik, yang selanjutnya mereka namakan sebagai pasar saham. Dengan adanya pasar ini, mereka dapat dengan mudah untuk melempar kertas-kertas sahamnya agar dibeli masyarakat, sehingga mereka segera mendapatkan gelontoran modal yang mampu untuk membuat perusahaan mereka menjadi cepat menggurita.

2. Sektor kepemilikan umum

Nafsu kapitalisme tidak akan pernah mengenal kata “cukup”. Mereka tidak pernah ingin berhenti. Mereka tidak hanya ingin berhenti untuk untuk bermain di wilayah pasar hilir saja, tetapi mereka terus merangsek untuk mencaplok sumber-sumber ekonomi di wilayah hulu. Dengan dalih kebebasan ekonomi dan kebebasan pasar, mereka juga ingin menguasai wilayah-wilayah ekonomi yang seharusnya menjadi milik umum yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Wilayah ekonomi yang ingin terus mereka kuasai tersebut misalnya adalah berbagai macam sektor pertambangan, sumber daya hutan, sumber daya air, minyak bumi, gas, jalan raya, pelabuhan, bandara dsb.

3. Sektor kepemilikan Negara

Jika mereka sudah banyak menguasai sektor kepemilikan umum, maka bagi kaum kapitalis tetaplah belum dianggap cukup. Mereka kemudian melirik kepada perusahaan-perusahaan yang banyak dimiliki oleh Negara. Dengan dalih demi efektivitas dan efisiensi perusahaan, mereka akan mendorong perusahaan milik Negara tersebut untuk go public, dengan jalan melego sahamnya ke pasar, dengan harga yang murah tentu saja.

4. Sektor kekuasaan

Menjadi besar dan cepat besar ternyata masih dianggap belum cukup. Mereka juga ingin memiliki rasa aman terhadap keberadaan perusahaan-perusahaan mereka. Jaminan rasa aman hanya dapat diperoleh jika mereka bisa merambah ke wilayah kekuasaan. Sebab, di sektor inilah berbagai produk hukum akan dibuat. Jika mereka bisa memasuki sektor ini, maka mereka akan dengan mudah untuk dapat melahirkan berbagai produk hukum dan kebijakan yang dapat menguntungkan dan menjamin kelestarian kerajaan bisnis mereka.

Dalam politik demokrasi yang kapitalistik, untuk menjadi penguasa prasyarat yang paling menentukan hanya satu, yaitu harus memiliki dana yang besar untuk melakukan kampanye maupun untuk “membeli” suara rakyat. Hal itu hanya mungkin dilakukan oleh kaum kapitalis yang memang sudah berkubang dengan uang.

Cara yang mereka lakukan ada dua kemungkinan, yaitu dengan langsung mencalonkan diri untuk menjadi penguasa, atau cara yang kedua adalah dengan mendanai orang lain lain agar menang dalam pemilihan dan dapat menjadi penguasa. Mereka yang telah dicalonkan oleh kaum kapitalis, jika menang maka dia harus “menghambakan” diri kepada mereka yang telah mendanai bagi kemenangannya.

5. Sektor moneter

Apakah sepak terjang kaum kapitalis di atas sudah cukup? Ternyata masih tetap belum cukup. Nafsu serakah untuk terus-menerus melakukan penjarahan kekayaan di berbagai sektor dan ke berbagai negeri ternyata ingin terus mereka lakukan. Dengan apa? Ternyata mereka masih memiliki cara yang benar-benar canggih dan nyaris lepas dari logika akal sehat manusia. Mereka menciptakan sebuah mekanisme ekonomi yang dapat memperlicin seluruh sepak terjang mereka, yaitu dengan mewujudkan sebuah sistem mata moneter yang benar-benar menguntungkan mereka.

Sistem moneter yang mereka kembangkan adalah dengan menggunakan basis utama uang kertas. Dengan berbasiskan pada uang kertas, mereka akan mendapatkan tiga keuntungan sekaligus, yaitu; keuntungan dari seignorage, keuntungan dari suku bunga dan keuntungan dengan mempermainkan kurs bebas. Dengan model tree in one inilah mereka akan dapat memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat dengan tanpa harus banyak mengeluarkan banyak keringat.

6. Sektor pendidikan

Masih ada satu sektor lagi yang tidak boleh dilupakan, yaitu sektor pendidikan. Mengapa sektor ini harus terseret ke dalam lingkaran kapitalisme? Kepentingan mereka sangat jelas, yaitu kebutuhan untuk memperoleh tenaga kerja yang sangat professional, memiliki skill yang tinggi dan mau digaji dengan sangat murah.

Caranya adalah dengan “melemparkan” dunia pendidikan ke pasar bebas mereka. Peran Negara untuk mengurus pendidikan harus dikurangi, subsidi biaya pendidikan harus “dihabisi”, sehingga biaya pendidikan bisa menjadi mahal dan produk yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan tuntutan pasar. Model pendidikan seperti ini hanya mengasilkan manusia-manusia yang pragmatis, oportunis dan hanya bermental jongos. Sangat sulit dalam dunia pendidikan yang mahal dapat menghasilkan manusia-manusia yang idealis yang mau berfikir tentang jati dirinya maupun jati diri bangsanya.

III. CENGKERAMAN KAPITALISME DI INDONESIA

Untuk memahami apakah sebuah negara itu bercorak kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka negara tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi lebih banyak dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme (Samuelson & Nordhaus, 1999).

Dengan menggunakan tolok ukur di atas, kita dapat menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke Indonesia. Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya. Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjahui ideologi komunis.

Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semikapitalisme (Tambunan, 1998).

Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah ‘dipaksakan’ kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah libelarisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri (Rachbini , 2001).

Pakto ’88 dapat dianggap sebagai titik tonggak kebijakan libelarisasi ekonomi di Indonesia. Menjamurnya industri perbankan di Indonesia, yang selanjutnya diikuti dengan terjadinya transaksi hutang luar negeri perusahaan-perusahaan swasta yang sangat pesat, mewarnai percaturan ekonomi Indonesia saat itu (Rachbini , 2001).

Masa pembangunan ekonomi Orde Baru-pun akhirnya berakhir. Puncak dari kegagalan dari pembangunan ekonomi Orba ditandai dengan meledaknya krisis moneter, yang diikuti dengan ambruknya seluruh sendi-sendi perekonomian Indonesia.

Pasca krisis moneter, memasuki era reformasi, ternyata kebijakan perekonomian Indonesia tidak bergeser sedikitpun dari pola sebelumnya. Bahkan semakin liberal. Dengan mengikuti garis-garis yang telah ditentukan oleh IMF, Indonesia benar-benar telah menuju libelarisasi ekonomi. Hal itu paling tidak dapat diukur dari beberapa indikator utama, yaitu (Triono, 2001):

1. Dihapuskannya berbagai subsidi dari pemerintah secara bertahap. Berarti, harga dari barang-barang strategis yang selama ini penentuannya ditetapkan oleh pemerintah, selanjutnya secara berangsur diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar.

2. Nilai kurs rupiah diambangkan secara bebas (floating rate). Sesuai dengan kesepakatan dalam LoI dengan pihak IMF, penentuan nilai kurs rupiah tidak boleh dipatok dengan kurs tetap (fix rate). Dengan kata lain, besarnya nilai kurs rupiah harus dikembalikan pada mekanisme pasar.

3. Privatisasi BUMN. Salah satu ciri ekonomi yang liberal adalah semakin kecilnya peran pemerintah dalam bidang ekonomi, termasuk didalamnya adalah kepemilikan asset-asset produksi. Dengan “dijualnya” BUMN kepada pihak swasta, baik swasta nasional maupun asing, berarti perekonomian Indonesia semakin liberal.

4. Peran serta pemerintah Indonesia dalam kancah WTO dan perjanjian GATT. Dengan masuknya Indonesia dalam tata perdagangan dunia tersebut, semakin memperjelas komitmen Indonesia untuk masuk “kubangan” libelarisasi ekonomi dunia atau kapitalisme global.

IV. MENUJU PERUBAHAN SISTEM EKONOMI

Setiap kita membicarakan perubahan, maka kita akan dihadapkan pada dua kemungkinan perubahan, yaitu: perubahan secara fungsional atau perubahan secara struktural. Menilik problem ekonomi yang sedang dihadapi Indonesia, maka perubahan yang paling urgen yang harus segera dilakukan adalah perubahan yang bersifat struktural, walaupun perubahan yang bersifat fungsional juga tidak boleh dilupakan.

Perubahan ekonomi secara struktural berarti mengganti sistem ekonominya, dari sistem ekonomi yang bercorak kapitalistik menjadi sistem ekonomi yang baru. Namun, perubahan sistem tersebut bukan berarti merubah sistem ekonominya menjadi sosialis, sebab sistem ekonomi ini juga sudah terbukti gagal. Masih satu harapan lagi yaitu perubahan menuju sistem ekonomi Islam.

Sebagaimana karakter perubahan yang bersifat sistemik, maka sistem ekonomi Islam juga akan membongkar sebuah sistem ekonomi mulai dari akarnya. Perubahan yang bersifat mendasar dari ekonomi Islam berangkat dari sebuah pandangan terhadap kepemilikan dari harta kekayaan yang ada di muka bumi ini. Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di muka bumi ini tidak untuk dibagikan secara bebas (sebagaimana sistem ekonomi kapitalisme) untuk manusia, namun Allah swt telah memberi ketentuan yang adil dalam pembagiannya, yaitu (An-Nabhani, 1990): kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan Negara. Masing-masing kepemilikan terhadap harta kekayaan tersebut sudah ada aturan-aturannya yang terinci, dengan mengikuti tiga runtutan perlakuan yang adil, yaitu (An-Nabhani, 1990):

1. Pengaturan dalam masalah kepemilikan (al-milkiyah).

2. Pengaturan dalam masalah pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan (al-tasharruf fi al-milkiyah).

3. Pengaturan dalam masalah distribusi harta kekayaan di tengah-tengah manusia (tauzi’u tsarwah bayna al-nas).

Selanjutnya, sistem ekonomi Islam dalam suatu negara akan dibangun dan dikembangkan dengan bertumpu kepada tiga pilar ekonomi Islam tersebut. Insya Allah, jika pengaturannya konsisten, wajah ekonomi suatu negara akan nampak sangat jelas perbedaannya dengan wajah ekonomi yang bercorak kapitalistik.
Selengkapnya...

Sentral Gerakan Rakyat Riau (SEGERA) dan Perlawanan Terhadap KAPITALISME

Sentral Gerakan Rakyat Riau (SEGERA) merupakan front perjuangan rakyat Riau yang didirikan pada 24 Januari 2007. Hingga kini, organisasi yang menjadi anggota front ini adalah; Perkumpulan HAKIKI, Serikat Tani Riau (STR), Pertai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) Riau, Ikatan Pelajar-Mahasiswa Kecamatan Bengkalis (INPERALIS) pekanbaru, Serikat Mahasiswa Riau (SeMaR) “Konsepsi materialis tentang sejarah dimulai dari proposisi bahwa produksi kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung kehidupan manusia dan, di samping produksi, pertukaran barang-barang yang diproduksi, merupakan dasar dari semua struktur masyarakat; bahwa dalam setiap masyarakat yang telah muncul dalam sejarah, cara kekayaan didistribusi dan cara masyarakat dibagi ke dalam kelas-kelas atau tatanan-tatanan bergantung pada apa yang diproduksi, bagaimana itu diproduksi, dan bagaimana produk-produk itu dipertukarkan. Dari sudut pandang ini, sebab-sebab akhir dari semua perubahan sosial dan revolusi-revolusi politis mesti dicari, tidak dalam benak-benak manusia, tidak dalam wawasan manusia yang lebih baik akan kebenaran dan keadilan abadi, tetapi di dalam perubahan-perubahan dalam cara-cara produksi dan pertukaran. Itu semua mesti dicari, tidak dalam filsafat tetapi di dalam perekonomian satu epos tertentu.” (Engels, Anti-Duhring)

Sejarah Indonesia dan perubahan-perubahan sosial di dalamnya tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa melihat ke dalam perubahan-perubahan ekonomi yang telah dilaluinya di setiap tahapan. Sejarah Indonesia adalah satu sejarah yang terhubungkan secara dekat dengan perkembangan kapitalisme semenjak kelahirannya di abad ke-16. Oleh karena itu, untuk memahami kapitalisme di Indonesia sekarang ini, kita harus kembali sejauh jaman kolonial Belanda. Secara umum, kita dapat membagi tahapan sejarah Indonesia seperti berikut: koloni Belanda (1600-1945), perjuangan kemerdekaan (1945-1949), Orde Lama (1949-1965), Orde Baru (1965-1998), dan Reformasi 1998 dan sesudahnya (1998-sekarang)

Indonesia dan Kolonialisme Belanda

Sampai awal abad ke-20, tidak ada yang namanya Indonesia seperti dalam pengertian sekarang. Yang ada adalah sekelompok pulau antara sub-benua India dan Australia yang tersatukan secara longgar oleh ikatan kolonialisme Belanda. Kata “Indonesia” pertama kali digunakan sekitar tahun 1850 oleh para peneliti Inggris yang menganjurkan penggunaannya sebagai penamaan geografi, dan bukan sebagai rujukan bangsa-negara. Hanya pada awal tahun 1920an nama Indonesia mendapatkan arti politik. Sebelumnya, seluruh daerah yang mencakup Indonesia masa kini disebut sebagai Hindia Timur Belanda.

Semenjak penjajahan Belanda terhadap Indonesia, nasib Indonesia telah terhubungkan dengan perkembangan kapitalisme dunia. Oleh karena itu kita perlu menggunakan periode ini sebagai titik tolak analisa kita. 350 tahun kekuasaan Belanda atas Indonesia dapat dibagi menjadi tahapan-tahapan ekonomi sebagai berikut:

a. Periode V.O.C (1600-1800)

b. Periode “Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)

c. Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) (1830-1870)

d. Periode Liberal (1870-1900)

e. Tahun-tahun Etis (1900-1930)

f. Depresi Hebat (1930-1940)

Tahapan-tahapan ini bersesuaian dengan perubahan-perubahan administratif, sosial, dan politik di Indonesia, Belanda, dan seluruh dunia. Oleh karena itu mustahil untuk mempelajari perkembangan ekonomi dan politik Indonesia terpisah dari Belanda dan Eropa. Pecahnya revolusi di Eropa (Pemberontakan Belanda, Revolusi Inggris, Revolusi Prancis, dan lalu Revolusi Rusia) mengubah jalannya sejarah di Indonesia.

Indonesia dan Revolusi Belanda

Sejarah kolonialisme di Indonesia adalah sejarah eksploitasi kapitalis imperialis. Bahkan yang lebih penting untuk dimengerti adalah bahwa penjajahan di Indonesia adalah yang pertama kali dilakukan oleh kaum borjuasi. Tidak dikenal dan dilupakan oleh kebanyakan kaum Marxis, revolusi borjuis yang pertama terjadi di Belanda dan bukan Inggris. Pemberontakan Belanda pada abad ke 16 (1568-1609) mungkin adalah revolusi borjuis “klasik” yang paling terabaikan. Walaupun Marx dan Engels hanya menulis beberapa kalimat yang terpencar-pencar mengenai Pemberontakan Belanda, jelas bahwa mereka mengakuinya sebagai salah satu momen penting dalam kebangkitan borjuis yang historis. Pada tahun 1848, Marx menulis “Model dari revolusi 1789 [Prancis] adalah revolusi 1648 [Inggris]; dan model untuk revolusi 1648 hanyalah pemberontakan Belanda melawan Spanyol [Pemberontakan Belanda].”[1]

Lagi di volume pertama Kapital, Marx menulis:

“Sejarah administrasi koloni Belanda – dan Belanda adalah model negara kapitalis di abad ke-17 – adalah ‘salah satu sistem pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan kekejaman yang paling hebat.’ Tidak ada yang lebih karakteristik daripada sistem penculikan mereka, guna mendapatkan budak-budak dari Jawa. Para penculik dilatih untuk ini. Sang pencuri, penerjemah, dan penjual, adalah agen-agen utama dalam perdagangan ini, sang pangeran-pangeran pribumi sebagai penjual utama. Orang-orang muda diculik, dijebloskan ke penjara-penjara rahasia di Sulawesi, sampai mereka siap untuk dikirim ke kapal-kapal budak ... Dimanapun mereka memijakkan kaki, kehancuran dan penyusutan penduduk menyusul. Banyuwangi, sebuah propinsi di Jawa, pada tahun 1750 berpenduduk lebih dari 80.000 orang, pada tahun 1811 hanya 18.000. Perdagangan yang manis!”[2] [Penekanan dari penulis]

Marx menjelaskan bahwa “awal penaklukan dan penjarahan Hindia Timur ... menandai fajar indah dari era produksi kapitalis. Aktivitas ini adalah momentum utama dari akumulasi primitif.”[3]

Merebut perdagangan Asia dari tangan Spanyol dan Portugal yang telah menguasai samudera selama lebih dari satu abad membutuhkan sebuah investasi yang besar. Bagaimana Belanda yang saat itu penduduknya kurang dari satu juta mampu mengumpulkan kapital yang diperlukan? Solusi dari masalah ini melibatkan sebuah konsep organisasi bisnis yang baru: perusahaan saham-gabungan (joint-stock company), dan di sinilah kapitalisme moderen pertama kali menemukan aplikasinya.

Seorang ahli sejarah Belanda, George Masselman, menulis: “Ekonomi zaman pertengahan tidak membutuhkan kapital, seperti yang dicontohkan oleh gilda-gilda pedagang yang menghambat inisiatif pribadi dan kompetisi. Belanda yang sedang bangkit mengambil pandangan yang berbeda: mereka menginginkan perdagangan sebanyak mungkin ... Satu-satunya hal yang dapat menghambat seorang pedagang adalah kekurangan kapital. Tentu saya dia dapat bekerja sama dengan pedagang lainnya dan melakukan perdagangan bersama; atau dia dapat membujuk orang luar untuk menaruh uang kepadanya, menawarkan kepada mereka sebagian dari laba.”[4] Inilah awal dari perusahaan saham-gabungan kapitalis moderen. Contoh utamanya adalah VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) yang dibentuk pada tahun 1602 dengan kapital sekitar 6,5 juta guilders.[5]

VOC dibentuk ketika pemerintah Belanda memberikannya sebuah monopoli untuk melakukan aktivitas kolonial di Asia. Ini adalah perusahaan saham-gabungan multinasional pertama yang mengeluarkan saham publik. Pada pembentukannya, VOC membuka bursa saham pertama dunia, Bursa Saham Amsterdam, untuk memperdagangkan saham dan surat obligasinya. VOC memiliki otoritas quasi-pemerintah dimana ia mampu melakukan peperangan, merundingkan perjanjian perdamaian, mencetak uang, dan membentuk koloni.

Secara efektif, Hindia Timur selama dua abad tidaklah dijajah oleh Republik Belanda melainkan oleh sebuah perusahaan saham-gabungan, VOC. Cukup indikatif bahwa selama periode tersebut rakyat Hindia Timur menyebut penjajah mereka “kompeni” (dari nama VOC, Compagnie). Selama 2 abad selanjutnya, VOC menjadi perusahaan dagang yang paling penting di Eropa. Ia menciptakan monopoli di perdagangan rempah-rempah, terutama lada, kayu manis, dan cengkeh. Selama 90 tahun pertamanya, VOC meraup dividen sebesar 18,7% setiap tahunnya.[6

Pemberontakan Belanda menandai kebangkitan historis kaum borjuasi dan kolonialisasi Hindia Timur oleh VOC adalah basis dari akumulasi kapital primitif dari apa yang bisa kita sebut sebagai masyarakat borjuis pertama. Hasilnya jelas. Pada abad ke-17 Belanda adalah negara paling maju di Eropa. Marx menulis di Kapital: “Belanda, yang pertama kali mengembangkan sistem kolonial, pada tahun 1748 telah berdiri di puncak keagungan komersialnya ... Total kapital dari Republik [Belanda] barangkali lebih besar daripada total keseluruhan kapital di benua Eropa.”[7]

VOC memasuki periode kemunduran pada tahun 1692 dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1798. Republik Belanda menanggung utang VOC, sebesar 134 juta guilders, dengan syarat bahwa VOC harus menyerahkan semua asetnya di Hindia. Dengan ini, Republik Belanda memperoleh sebuah koloni di Asia pada tahun 1798.[8]

Kemunduran VOC adalah manifestasi dari kemunduran Republik Belanda pada abad ke-18. Ini seperti yang ditulis oleh Marx: “Sejarah kemunduran Belanda sebagai negara komersial yang berkuasa adalah sejarah ketaklukan kapital perdagangan terhadap kapital industri.”[9] Pada abad ke-18, Belanda menyerahkan posisi hegemoninya ke Inggris. “Pada awal abad ke-18, manufaktur Belanda telah kalah. Belanda berhenti menjadi negara utama dalam perdagangan dan industri.”[10] Namun, perannya sebagai pedagang uang tetap penting sampai abad ke-19, dimana Belanda meminjamkan kapital yang sangat besar untuk Inggris. Kapital yang telah diakumulasi oleh Belanda melalui perdagangan berfungsi sebagai basis kebangkitan industri manufaktur di Inggris, seperti yang ditulis oleh Marx: “Salah satu usaha bisnis utamanya, oleh karena itu, dari tahun 1701-1775, adalah meminjamkan kapital yang sangat besar, terutama kepada musuh besarnya Inggris. Hal yang sama sekarang terjadi antara Inggris dan Amerika Serikat. Kapital yang besar, yang timbul hari ini di Amerika Serikat tanpa akta kelahiran sama sekali, kemarin ada di Inggris yang dikucurkan dari darah anak-anak.”[11] Jadi, kebangkitan yang cepat dan pendek dari Belanda sebagai sebuah negara pedagang kapitalis pada abad ke-17 adalah dasar untuk kebangkitan negara industri kapitalis, terutama Inggris.

Tahun-tahun “Kekacauan” dan “Ketidakpastian” (1800-1830)

Revolusi Hebat Prancis pada tahun 1789 melempar seluruh Eropa ke dalam satu kekacauan. Seluruh penduduk Republik Beladan terjangkiti semangat Revolusi Prancis, dan pada tahun 1795 sebuah revolusi popular pecah dan menyerukan pembentukan Republik Batavia yang pendek umurnya (1795-1806). Selama periode yang pendek ini, semangat Revolusi Prancis juga menjangkiti kebijakan kolonial dengan banyak gagasan, yang berdasarkan kebebasan berusaha dan liberalisme, bermaksud membawa semangat liberté, égalité, fraternité (kebebasan, kesamarataan, persaudaraan) ke rakyat pribumi Hindia Timur Belanda. Akan tetapi, semua ocehan dan rencana untuk memajukan rakyat pribumi, untuk membawa logika (reason) ke Hindia Timur yang primitf, tidak lain adalah sebuah “kerajaan borjuis yang ideal”.

Republik Batavia berakhir ketika Napoleon Bonaparte memasang sepupunya, Louis Bonaparte, sebagai Raja Belanda pada tahun 1806. Tahun 1815, Napoleon jatuh dan Belanda memperoleh kembali kemerdekaannya. Inggris, yang memegang kendali Hindia Timur di bawah Raffles tahun 1811, mengembalikannya ke Belanda pada tahun 1815.

Di dalam periode kekacauan dan ketidakpastian ini, administrasi kolonial secara perlahan-lahan mengkooptasi elit-elit penguasa lokal ke dalam administrasi. Dimana sebelumnya selama periode kekuasaan VOC para elit lokal dibiarkan mengontrol subyek mereka sesuka hati mereka, di bawah pretensi untuk melindungi rakyat Hindia dari perlakukan semena-mena (untuk membangun masyarakat berhukum dan tertib) sebuah mesin negara yang lebih ketat diimplementasikan di Hindia Timur Belanda dimana penguasa-penguasa lokal secara efektif adalah karyawan bayaran dan dipilih oleh pemerintah kolonial. Pemerintahan desa, vergadering, prinsip “yang sama menguasai yang sama” (memasukkan kelas penguasa lokal ke dalam pemerintah kolonial), semua ini didesain sesuai dengan kebutuhan ekonomi karena sistem tanam paksa membutuhkan sebuah pemerintah yang kuat.

Sistem Tanam Paksa

Setelah Perang Jawa 1825-1830 yang berakhir dengan menyerahnya kerajaan Mataram, yang menandai penaklukan penuh pulau Jawa, Belanda memperkenalkan sebuah sistem tanam paksa. Berbeda dari sistem transaksi rempah-rempah sebelumnya, sistem Tanam Paksa , dimana pemerintah kolonial mengorganisasi sebuah sistem produksi hasil bumi (cash-crop) untuk ekspor, membawa evolusi industri perkebunan yang membentuk sejarah Indonesia sebagai sebuah negara eksportis bahan mentah untuk abad selanjutnya. Dari menjadi sumber bahan mentah untuk kapitalisme perdagangan, Hindia Timur perlahan-lahan menjadi sumber bahan mentah untuk kapitalisme industrial.

Sistem Tanam Paksa – sebuah sistem dimana Belanda memaksa petani Indonesia untuk menanam hasil bumi untuk eskpor – adalah sebuah sistem yang memberikan basis untuk kemajuan ekonomi di Belanda. Sistem ini adalah sebuah eksploitasi kolonial yang klasik. Tujuan utamanya untuk meningkatkan kapasitas produksi pertanian (terutama di pulau Jawa) guna kepentingan penbendaharaan Belanda. Sistem ini adalah satu kesuksesan yang besar dari sudut pandang kapitalisme Belanda, menghasilkan produk ekspor tropikal yang sangat besar jumlahnya, dimana penjualannya di Eropa memajukan Belanda. Dengan kopi dan gula sebagai hasil bumi utama, seluruh periode Sistem Tanam Paksa menghasilkan keuntungan sebesar kira-kira 300 juta guilder dari tahun 1840-59.


Kapitalis Belanda sama sekali tidak tertarik untuk mengembangkan kapasitas produksi pertanian. Otoritas kolonial menyediakan sedikit sekali kapital investasi, dengan hampir tidak ada perkembangan dalam teknik produksi dan manufaktur.

Kaum tani dipaksa berjalan berkilo-kilometer dari desa mereka ke tempat perkebunan kopi, dan kadang-kadang harus meninggalkan desa selama berbulan-bulan, hidup di tempat penampungan sementara dekat dengan area perkebunan kopi. Untuk perkebunan tebu, para petani dipaksa mengubah ladang padi mereka (dan irigasi mereka) menjadi ladang tebu. Para petani tidak hanya diharuskan mempersiapkan ladang, menanam, dan menjaga perkebunan tersebut, mereka juga harus menuainya dan mengangkutnya ke pabrik dengan cara dipanggul di atas pundak mereka karena kurangnya alat transportasi dan binatang, dan kondisi jalanan yang tidak baik. Mereka juga sekaligus bekerja di pabrik.

Sistem Tanam Paksa juga menyita sejumlah besar tenaga kerja dari para petani untuk membangun infrastruktur yang dibutuhkan untuk operasi sistem tanam paksa, termasuk membangun jalan dan jembatan untuk transportasi hasil bumi, pengembangan fasilitas pelabuhan, konstruksi perumahan untuk para pejabat, membangun pabrik dan gudang-gudang untuk hasil bumi, membangun dam dan irigasi, dan bahkan benteng pertahanan.[13]

Eksploitasi dari sistem ini tidak ada presedennya dalam sejarah penjajahan Belanda. Satu pejabat senior mengatakan bahwa di bawah Sistem Tanam Paksa para petani dipaksa untuk melakukan 4 atau 5 kali lebih banyak kerja daripada yang biasanya dituntut sebelum 1830.[14] Kebanyakan petani harus bekejra selama lebih dari 150 hari dalam setahun untuk cultuurstelsel. Pembayaran yang diterima oleh petani sangatlah kecil dan mereka dipajak sangat tinggi. Gubernur Jendral pada saat itu (1845-1851), Jan Jacob Rochussen, memperkirakan pada tahun 1857 bahwa sekitar 2/3 pembayaran yang diterima oleh petani diterima kembali oleh Pemerintah melalui berbagai macam pajak.[15] Kapitalisme di Belanda dan Eropa sungguh bangkit dari keringat dan darah jutaan petani di Hindia Timur.

Industri gula dikembangkan oleh pemerintah koloni Belanda dengan bantuan “kontraktor” swasta Belanda dan para priyayi, kepala desa (lurah), dan elit-elit lokal. Kecepatan pertumbuhan laba gula (lihat Tabel I) cukup untuk menunjukkan cepatnya pertumbuhan industri ini dan bagaimana ia mempengaruhi periode selanjutnya. Fabriek (pabrik) gula menjadi pemandangan umum dari daerah pedesaan. Sekitar 100 pabrik milik Eropa memproduksi lebih dari 130 ribu ton gula pertahun. Tebu-tebu ini ditanam oleh lebih dari 100 ribu petani yang mengerjakan sekitar 12 ribu hektar tanah.[16]

Periode Liberal (1870-1900)

Sistem Tanam Paksa menyediakan basis untuk periode ekonomi selanjutnya, yang disebut periode Liberal. Selama periode sebelumnya, pemerintah menyuntik kapital yang besar untuk membangun perkebunan hasil-bumi dan fasilitas-fasilitasnya, terutama gula dan kopi, dan juga memastikan penyediaan tenaga kerja murah melalui kerja paksa. Sistem Tanam Paksa sangatlah menguntungkan. Namun, sistem Cultuurstelsel yang dijalankan pemerintah ini dipenuhi dengan nepotisme, dimana kontraktor pemerintah, pengusaha penanam swasta, perusahaan ekspor-impor, dan pegawai negeri Belanda semua mempunyai hubungan keluarga. Ini membawa kegusaran kapitalis Belanda (dan kapitalis asing lainnya) yang berada di luar klik Jawa ini, yang melihat keuntungan besar dari bisnis ini dan ingin sepotong darinya. Inilah alasan sebenarnya mengapa Sistem Tanam Paksa dihentikan pada tahun 1870, bukan karena kekhawatiran moral kaum imperialis Belanda terhadap kesengsaraan yang dihadapi oleh kaum tani Indonesia akibat sistem eksploitatif ini. Kita dapat melihat ini dengan jelas di dalam nilai ekspor setelah Sistem Tanam Paksa, yang tumbuh bahkan dengan kecepatan yang lebih pesat dan tidak lain menandakan sebuah eksploitasi yang lebih ganas terhadap rakyat Hindia Timur Belanda.

Banyak dari loncatan nilai ekspor dan produktivitas ini adalah karena peningkatan teknologi yang mengijinkan transportasi yang lebih baik dan pemrosesan yang lebih efisien. Beberapa orang akan berargumen bahwa periode Liberal adalah tidak lebih eksploitatif daripada Sistem Tanam Paksa karena para petani diperlakukan lebih manusiawi dan pada saat yang sama produktivitas mereka dibuat lebih tinggi. Namun kita kaum Marxis bukanlah kaum moralis kacangan. Kita melihat eksploitasi dari sudut pandang nilai surplus yang disedot oleh kaum kapitalis dari kaum buruh dan tani, bukan hanya besarnya kesengsaraan yang mereka alami. Walaupun tentu saja kesengsaraan yang dialami oleh buruh dan tani Hindia Timur sangatlah keji dan memuakkan. Oleh karena itu, dari sudut pandang ini, selama periode Liberal penindasan rakyat Hindia Timur adalah lebih parah seperti yang ditunjukkan oleh statistik.

Dengan dihapuskannya Sistem Tanam Paksa – yang ditandai dengan disetujuinya Peraturan Gula 1870 – aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan bergeser lebih ke perusahaan swasta dan kapital luar. Kapitalis swasta dan kapitalis petualang masuk ke dalam industri perkebunan Hindia Timur Belanda. Tahun 1925, sudah ada 121 perusahaan gula (suikerondernemingen) yang beroperasi di Hindia Timur Belanda, dan jumlah total pabrik gula (suikerfabrieken) yang dimiliki atau dikelola oleh perusahaan ini adalah 195.[18]

Pada tahun 1896, aliansi industri gula diperkuat dengan dibentuknya Sindikat Pemilik Pabrik Gula di Hindia Belanda (Algemeene Syndicaat van Suikerfabricanten in Nederlandsch Indie) yang mengikutsertakan hampir semua perusahaan gula di koloni. Jadi, di dalam industri perkebunan gula di Hindia Timur Belanda kita dapat menyaksikan evolusi kapitalisme dari kompetisi bebas ke kapitalisme kartel. Mari kita lihat apa yang ditulis oleh Lenin mengenai proses ini dalam bukunya yang terpenting Imperialisme: Tahapan Tertinggi Kapitalisme:

“Tahapan utama dalam sejarah monopoli adalah sebagai berikut: (1) 1860-1870, tahapan tertinggi, puncak dari perkembangan kompetisi bebas; monopoli masihlah dalam tahapan embrionik yang hampir tak terlihat. (2) Setelah krisis tahun 1873, sebuah periode perkembangan kartel yang panjang; tetapi mereka masihlah pengecualian. Kartel-kartel ini belumlah bertahan lama. Mereka masih merupakan fenomena transisi. (3) Boom ekonomi pada akhir abad ke-19 dan krisis 1900-1903. Kartel-kartel menjadi salah satu fondasi dari seluruh kehidupan ekonomi. Kapitalisme telah bertransformasi menjadi imperialisme.”[19]

Dan benarlah, awal Periode Liberal pada tahun 1870 menyaksikan puncak kompetisi bebas dalam industri perkebunan dimana kapital swasta masuk membanjiri setelah dihapuskannya Sistem Tanam Paksa. Pada akhir abad ke-19, kebanyakan perusahaan gula telah bersatu ke dalam satu sindikat dimana sindikat ini “mencapai persetujuan dalam hal penjualan, tanggal pembayaran, dll. Mereka membagi pasar di antara mereka sendiri. Mereka menetapkan jumlah barang yang akan diproduksi. Mereka membagi laba di antara berbagai perusahaan, dsb.”[20]

Kebanyakan perusahaan yang beroperasi di Hindia Timur diorganisasi sebagai perusahaan saham-gabungan, dimana mayoritas dari mereka berafiliasi dengan sebuah institusi finansial yang unik yang bernama cultuurbanken, sebuah kapital finans yang dibentuk untuk menyediakan investasi kapital bagi industri perkebunan di Hindia Timur Belanda. Dominasi kapital finansial adalah karakter umum dari kapitalisme di tahapan ini, dimana “kepemilikan kapital terpisahkan dari aplikasi kapital dalam produksi, dimana uang kapital terpisahkan dari kapital industrial atau produktif, dan dimana peminjam uang yang hidup sepenuhnya dari pendapatan yang diperolehnya dari uang kapital terpisahkan dari para pengusaha dan dari semua yang terlibat langsung dengan manajemen kapital. Imperialisme, atau dominasi finans kapital, adalah tahapan tertinggi kapitalisme dimana pemisahan ini mencapai proporsi yang luas.”[21]

Pada saat yang sama, kita juga menyaksikan industri minyak dan karet masuk ke pulau-pulau di luar Jawa pada awal tahun 1870. Ekspansi kontrol Belanda atas pulau-pulau luar-Jawa terjadi bersamaan dengan kepentingan perkebunan tembakau, karet, teh, kopi, dan kelapa di Borneo, Sulawesi, dan Sumatra Utara; tetapi daerah utama untuk aktivitas perkebunan di luar Jawa adalah Pantai Timur Sumatra, yang berubah dari hutan belantara yang tidak ada akhirnya pada tahun 1860an menjadi salah satu daerah perkebunan utama di dunia pada tahun 1920an.

Sampai pada tahun 1870an, 80 hingga 90 persen dari total nilai ekspor Hindia Timur Belanda ditujukan ke Belanda.[22] Ini adalah hasil dari Sistem Tanam Paksa dimana pemerintahan Belanda bermaksud memperluas produksi ekspor di Jawa dan mengorientasikan ini secara eksklusif ke Belanda. Produksi dan ekspor di koloni ada di bawah kontrol ketat pemerintah. Dengan berakhirnya Sistem Tanam Paksa dimana aktor utama dalam perkembangan industri perkebunan semakin bergeser ke perusahaan swasta, dan juga dengan pembebasan tarif, bagian ekspor ke Belanda jatuh secara signifikan sedangkan ekspor intra-Asia meningkat. Pada permulaan abad ke-20, porsi ekspor ke Belanda telah jatuh ke 30% sedangkan pada periode yang sama porsi ekspor ke Asia (terutama Singapura, diikuti oleh Cina/Hong Kong, India, dan Jepang) meningkat dari 13% pada awal 1870 ke 47% pada tahun 1908.[23] Sebagai pelabuhan entri untuk perdagangan bebas, Singapura mengirim kebanyakan ekspor Hindia Timur Belanda yang mendarat di pelabuhannya ke tujuan final di tempat lain, terutama ke Amerika Serikat.

Perkembangan pesat dari industri perkebunan bergerak bersamaan dengan perkembangan dominasi kolonial atas daerah Asia Tenggara oleh Inggris (di Malaya dan Burma), Prancis (Indochina: Vietnam, Laos, Kamboja), AS (Filipina), dan Belanda (Indonesia). Kemajuan dalam transportasi dan komunikasi antara Asia Tenggara dan Eropa juga berkontribusi pada perkembangan ini, terutama dibukanya Kanal Suez pada tahun 1869 dan diletakkannya kabel bawah laut untuk telekomunikasi telegraf antara Eropa dan Asia pada tahun 1860an dan 1870an.

Ekonomi koloni Asia Tenggara moderen mencapai pertumbuhan yang tidak ada preseden antara tahun 1870an hingga 1920an, bersamaan dengan periode boom kapitalis. Setelah kekuasaan penuh kolonial telah diamankan di daerah tersebut, kekuatan-kekuatan Eropa (Inggris, Prancis, AS, Belanda) mengkonsolidasikan dua pilar ekonomi, yakni industri perkebunan di Asia Tenggara Insular (Indonesia, Malaysia, dan Filipina), dan daerah penghasil beras di Daratan Utama Asia Tenggara (Mekong di Indochina, Chao Phraya di Thailand, dan Ayeyardwady di Burma) yang menyediakan bahan makanan nasi untuk Asia Tenggara Insular dimana nasi tidak cukup karena perkebunan yang meluas dan populasi yang meningkat. Secara singkat, perkembangan ini dicapai di bawah sebuah sistem perdagangan dan finansial internasional yang berpusat di Inggris pada saat itu.

Periode Etis (1900-1930) dan Kebangkitan Nasionalisme Indonesia

Di senja abad ke-20, kaum moralis dari borjuasi Belanda hati nuraninya sangat terusik dengan kemiskinan rakyat pribumi Hindia Timur akibat eksploitasi kolonial Belanda, sehingga mereka meminta peningkatan kesejahteraan moral dan material untuk rakyat Hindia Timur. Akan tetapi, kebijakan etis sebenarnya hanyalah satu ekspresi dari kebutuhan ekonomi, dan bukan karena kebaikan hati dari kaum borjuasi Belanda.

Keperluan untuk semakin menyedot sumber daya alam Indonesia untuk memenuhi selera besar dari kapitalisme yang sedang meledak di Eropa dan AS memaksa para penindas untuk menciptakan basis dasar untuk ini. Mereka tidak bisa lagi hanya mengandalkan ekspatriat untuk menjalankan koloni dengan industri perkebunan, ekonomi, dan pemerintah yang semakin membesar. Makin banyak sekolah dibangun untuk rakyat pribumi guna melatih mereka untuk menjadi buruh kereta api, dokter, kasir, guru, dan administrator lokal, dsb. Kita sedang menyaksikan pembentukan embrio kaum intelektual dan proletariat Indonesia.

Di tingkatan dunia, periode ini ditandai dengan Perang Dunia Pertama dan Depresi Hebat. Karakter unik dari periode ini adalah kontraksi impor dan ekspor ke Belanda dan Inggris, dan ekspansi ekspor dan impor dengan AS dan Jepang. Ini menandai menurunnya kapitalisme Inggris dan Belanda, dan bangkitnya kekuatan adidaya AS dan Jepang.

Seperti yang kita lihat di Tabel 2 di atas, ekspor karet dan minyak menanjak selama periode ini dan mencapai puncaknya pada pertengahan 1920an, bersamaan dengan permintaan besar dari industri mobil yang sedang meledak di AS. Produksi gula juga mencapai zaman keemasannya pada tahun 1920an dimana Jawa adalah produsen ketiga terbesar dari tebu gula setelah Kuba dan India.[24] Namun, di balik boom produksi karet dan gula tersirat masalah over-produksi yang pada akhirnya menyebabkan anjloknya harga karet dan sugar di dunia. Semenjak Depresi Hebat, gula sudah bukan lagi komoditas ekspor utama di Indonesia, dan diambil alih oleh karet dan minyak bumi. Karet tetap menjadi komoditas ekspor utama Indonesia hingga paruh pertama 1960an. Ekspor minyak adalah komoditas ekspor kedua setelah karet, tetapi porsi total ekspornya tetap kurang dari 20%, dan minyak tidak akan menjadi komoditas ekspor utama hingga pada akhir 1960an. Pergeseran dari gula ke karet sebagai komoditas ekspor utama negeri ini juga menandai sebuah pergeseran dalam pusat pendapatan valuta asing dari Jawa ke pulau-pulau luar-Jawa, terutama Sumatra dan diikuti oleh Kalimantan.

Satu karakter unik lainnya dari periode ini adalah ekspansi ekspor ke AS setelah Perang Dunia Pertama, bukan hanya dari Hindia Timur Belanda, tetapi juga dari daerah-daerah perkebunan seluruh Asia Tenggara Insular (Filipina, Indonesia, dan Malaya). Dari akhir Perang Dunia Pertama sampai 1920an, porsi total ekspor ke AS meningkat sangat besar: di Filipina ini meningkat dari 37% pada tahun 1913 ke 75% tahun 1927, di Hindia Timur Belanda dari 2% pada tahun 1913 ke 13% tahun 1920, di Malaya dari 14% pada tahun 1913 ke 44% tahun 1927.[25] Selama periode yang sama, daerah ini juga meningkatkan impor dari AS. Ini menandakan satu periode restrukturisasi imperialisme, dimana AS bangkit sebagai sebuah negara super power yang baru dan Kerajaan Inggris Raya yang tua sedang menurun.

Pada awal abad ke-20, kita melihat bangkitnya nasionalisme di kebanyakan koloni-koloni. Di satu pihak, kekuatan imperialis telah menciptakan pasar bersama (common market) dan mengukir perbatasan-perbatasan artifisial di koloni-koloni yang tidak punya perbatasan sebelumnya, dan oleh karenanya dengan paksaan mereka menciptakan kerangka untuk sebuah bangsa-negara; di pihak lain, identitas nasional diciptakan di antara rakyat yang terjajah melalui perjuangan bersama melawan sang penjajah. Hindia Timur, dengan 16 ribu pulaunya, 300 suku yang berbeda-beda, dan 740 bahasa dan dialek – sebuah surga untuk antropologis – disatukan oleh sebuah sejarah penjajahan oleh Belanda. Lapisan pertama yang mengartikulasikan nasionalisme Indonesia adalah kaum intelektual muda yang belajar di luar negeri yang membawa pulang dengan mereka semangat Revolusi Prancis, semangat liberté, égalité, fraternité, semangat revolusi borjuis-demokratik. Kekalahan pasukan Tsar Rusia oleh Jepang juga membantu melunturkan mitos keperkasaan Eropa. Rusia saat itu dianggap sebagai satu kekuatan Eropa yang dikalahkan oleh sebuah negara Asia yang sedang bangkit. Gagasan lain yang menggoncang dunia pada periode tersebut adalah Revolusi Rusia. Di tengah sturm und drang (topan dan badai) dari Perang Dunia Pertama, sebuah negeri yang mencakup 1/6 dunia melaksanakan Revolusi Proletariat yang pertama dan menjangkiti seluruh dunia, termasuk dunia koloni, dengan semangatnya. Partai Komunis Indonesia pada tahun 1920an adalah kekuatan utama dari perjuangan nasionalis, dimana ia berdiri jauh lebih tinggi, secara politik dan organisasional, dari elemen-elemen nasionalis lainnya. PKI menyatukan perjuangan untuk pembebasan nasional dan sosialisme, sampai pada kejatuhannya di pemberontakan 1926-27. Ketika PKI bangkit kembali, ia telah menjadi alat birokrasi Stalinis dan telah memisahkan perjuangan pembebasan nasional dan sosialisme dengan teori dua-tahapnya.

Kemerdekaan Nasional

Sejak penghancuran PKI secara fisik pada tahun 1927, secara praktikal panggung gerakan nasionalis didominasi oleh elemen-elemen borjuis-nasionalis seperti Soekarno dan Mohammad Hatta. Kekalahan PKI pada tahun 1927 dan Depresi Hebat yang menyusul – yang memukul Indonesia cukup keras karena ekonominya sangat tergantung pada ekonomi internasional (dimana populasi meningkat dari 61 juta pada tahun 1930 menjadi 70 juta pada tahun 1940, pendapatan nasional jatuh dari 3,5 milyar guilder ke 2 milyar guilder[26]) – membuka satu periode semi-reaksi di Indonesia, dimana gerakan nasionalis terpukul mundur secara politik dan organisasional. Sekitar 13 ribu penangkapan terjadi dimana ribuan orang dikirim ke kamp konsentrasi Boven Digul yang terkenal itu, yakni Siberianya Indonesia.

Gerakan nasionalis Indonesia hanya mendapatkan momentumnya kembali setelah kekalahan Belanda di tangan Jepang pada tahun 1942, menandai berakhirnya tiga-setengah-abad penjajahan Belanda dan awal dari tiga-setengah-tahun penjajahan Jepang. Namun jenis nasionalisme yang bangkit adalah nasionalisme borjuis yang secara ketat dikendalikan oleh Jepang dalam kerangka Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya dengan slogan “Asia untuk Orang Asia”. Jepang mengasuh di bawah sayap mereka pemimpin-pemimpin penting Indonesia, di antara mereka adalah Soekarno dan Hatta, guna mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia untuk mesin perang mereka dalam mempertahankan wilayah-wilayah yang sudah mereka taklukkan dari pasukan Sekutu. Pada saat yang sama, pemimpin-pemimpin lain yang menunjukkan kecenderungan sosialis ditindas dengan kejam. Hanya organisasi-organisasi yang disetujui oleh Jepang diperbolehkan eksis, seperti Putera dan Djawa Hokokai. Organisasi-organisasi ini tidak lain adalah instrumen pemaksa dan pengontrol Jepang.

Di belakang janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia adalah satu usaha untuk mengendalikan gerakan nasionalis, supaya bila Indonesia merdeka ia tetap akan berada di bawah kekuasaan langsung mereka. Macam pemimpin nasionalis yang diasuh oleh Jepang menunjukkan warna mereka yang sesungguhnya ketika momen-momen yang menentukan datang. Bahkan setelah menyerahnya Jepang pada tanggal 15 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta takut memproklamirkan kemerdekaan Indonesia tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Jepang. Mereka harus dipaksa oleh kaum muda militan, yang tidak setuju kalau Indonesia mendapatkan kemerdekaannya sebagai sebuah hadiah dari Jepang. Terutama dengan penyerahan tanpa syarat dari Jepang, dimana ini berarti bahwa pasukan bersenjata Jepang di Indonesia akan bertindak sebagai perwakilan dari kekuatan Sekutu yang ingin mengembalikan koloni ini ke Belanda.

Setelah banyak negosiasi dan keraguan, pada pagi hari 17 Agustus 1945, Soekarno memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dan mulailah babak baru dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang diperjuangkan di lapangan militer melawan kekuatan Sekutu dan di lapangan politik antara kaum reformis dan kaum revolusioner. Kaum reformis, yang dipersonifikasi oleh Hatta dan Sjahrir, merasa cukup dengan kemerdekaan Indonesia di bawah jempol imperialisme, sedangkan kaum revolusioner, yang dipersonifikasi oleh Tan Malaka dan front persatuannya Persatuan Perjuangan, menuntut 100% Merdeka. Kaum revolusioner berjuang dengan berani melawan pasukan Sekutu dan juga melawan pemimpin nasionalis seperti Hatta yang ingin berkapitulasi pada kekuatan imperialis dan mengembalikan semua perusahaan dan perkebunan Belanda, yang nota-bene berarti penundukan ekonomi Indonesia terhadap Belanda. Kaum nasionalis borjuis ini mengirim pasukan mereka untuk melawan milisi rakyat yang sedang berjuang mempertahankan negara mereka. Ribuan pejuang muda yang berani, yang dianggap terlalu revolusioner, diburu dan dibunuh oleh pasukan pemerintah, termasuk Tan Malaka pada tahun 1949.

Pada tanggal 27 Desember 1949, setelah banyak pertempuran yang gagah berani, yang menewaskan lebih dari 200 ribu orang Indonesia, Belanda terpaksa mengakui kemerdekaan Indonesia. Namun, para pemimpin nasionalis telah menjual seluruh Indonesia dengan menyetujui pengembalian seluruh perusahaan, tanah perkebunan, dan tambang-tambang Belanda dan membayar 4,3 milyar guilder (atau senilai 10,1 milyar dollar pada tahun 2009) yang merupakan agresi militer Belanda di Indonesia selama 4 tahun. Ini menaruh ekonomi Indonesia di bawah jempol kaum imperialis dan program 100% Merdeka dikhianati.

Orde Lama

Ekonomi Indonesia digambarkan sebagai “kemerosotan kronik” oleh Benjamin Higgins, penulis buku terkemuka mengenai Ekonomi Perkembangan pada periode tersebut. Dia menyimpulkan bahwa “Indonesia tentu harus dicatat sebagai kegagalan nomor satu di antara negara-negara kurang berkembang.”[27]

Sultan Hamengkubowono IX pada tahun 1966 menjelaskan situasi pada saat itu sebagai berikut: “Setiap orang yang mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sedang mengalami sebuah situasi ekonomi yang menguntungkan sungguh kurang melakukan studi yang intensif ... Bila kita membayar semua utang luarnegeri kita, kita tidak ada valuta asing tersisa untuk memenuhi kebutuhan rutin kita ... Pada tahun 1965 harga-harga secara umum naik lebih dari 500 persen ... pada tahun 1950an anggaran negara mengalami defisit sebesar 10 hingga 30 persen, dan pada tahun 1960an defisit ini meningkat hingga lebih dari 100 persen. Pada tahun 1965, ini bahkan mencapai 300 persen.”[28]

Kondisi sosial tidak lebih baik, dengan kontras antara yang kaya dan yang miskin semakin menajam pada saat itu, kendati pengumuman berulang-ulang dari pemerintah Soekarno mengenai cita-cita masyarakat adil dan makmur. Ini digarisbawahi oleh kutipan berikut ini dari seorang pengamat Indonesia selama pertengahan 1960an: “ ... jumlah konsumsi barang mewah di Jakarta tampak meningkat ... tajamnya peningkatan jumlah mobil, pada saat dimana transportasi publik semakin memburuk dengan serius, memberikan indikasi mengenai kesenjangan ini ... setiap kali selalu ada peraturan ekspor-impor baru untuk menghentikan impor barang-baran mewah, tetapi entah bagaimana mereka tetap masuk.”[29]


Indikator ekonomi di atas selama periode 1960-65 jelas menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia sedang menukik secara katastropik. Dalam 5 tahun, inflasi naik dari 20% hinggal 600%, defisit anggaran naik dari 17% hinggal 63%. Penyebab segera dan langsung dari meningkatnya inflasi, yang bagi buruh dan tani berarti menurunnya pendapatan riil mereka, tidak sulit untuk ditemukan. Suplai uang mulai meningkat dengan cepat dari 40% di awal 1960an sampai 300% pada tahun 1965. Peningkatan suplai uang ini disebabkan oleh defisit anggaran, yang diatasi oleh pemerintah dengan mencetak lebih banyak uang.

Narasi utama yang telah dikeluarkan oleh kapitalis Barat adalah bahwa Soekarno, seperti kebanyakan pemimpin-pemimpin Dunia Ketiga di zamannya, memberikan perhatian yang berlebihan ke isu-isu politik dan mengabaikan isu-isu ekonomi; bahwa dia mempolitisasi bangsa secara ekstrim dan sebagai akibatnya mengurangi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, narasi ini tidak mempertimbangkan bahwa konsolidasi politik adalah sebuah langkah penting yang harus diambil oleh Republik muda ini. Kekuatan Sekutu telah menebar kekacauan di Republik, secara ekonomi dan politik. Kebijakan imperialis pada saat itu adalah untuk memecahkan Indonesia menjadi negeri-negeri yang lebih kecil dan lemah dengan mempromosi gerakan separatis di seluruh nusantara. Banyak pemberontakan, yang kebanyakan disponsor dan didukung oleh imperialis, meledak yang mengancam kesatuan nasional, yang bukan hanya harus dihadapi secara militer tetapi juga secara politik. Usaha militer untuk melawan kaum separatis adalah salah satu faktor utama yang membuat bangkrut pemerintah.

Pemerintahan Soekarno mencoba menyeimbangkan dua kekuatan utama: kekuatan komunis dan kekuatan tentara di bawah jendral-jendral reaksioner. Di belakang kaum Komunis adalah kelas pekerja, petani miskin, kaum miskin kota, dan banyak kaum intelektual, artis, dan nasionalis kiri. Di belakang jendral-jendral reaksioner adalah pemilik tanah kaya, nasionalis sayap kanan, dan terutama kekuatan imperialis. Kebijakan setengah-hati dari pemerintahan Soekarno, yakni menyerukan frase-frase revolusioner tanpa menyelesaikan revolusi sosialis, menghapus kapitalisme secara penuh dan mengimplementasikan ekonomi terencana di bawah kontrol demokratik buruh, dan di pihak lain penolakan dari PKI untuk merebut kekuasaan karena mereka terikat kaki dan tangannya pada kaum borjuis nasional (di bawah teori dua-tahap mereka), mengakibatkan kekalahan kelas pekerja. Di dalam sebuah perjuangan kelas, hanya ada satu aturan: satu kelas harus menang dan kelas yang lain harus kalah. Sebuah situasi perjuangan kelas yang tajam, seperti di Indonesia pada akhir 1950 hingga pertengahan 1960, tidak bisa berlangsung selamanya. Satu kelas harus kalah. Sikap keras kepala PKI untuk mengabaikan perjuangan kelas dengan mengsubordinasikannya di bawah perjuangan nasional menyebabkan kehancuran mereka. PKI tidak ingin mengenali perjuangan kelas, tetapi perjuangan kelas mengenali PKI.

1965 dan Imperialisme AS

G30S adalah sebuah konter revolusi yang menyebabkan pembalikan penuh di dalam politik Indonesia dan dunia. Disini, negara terbesar keempat dengan partai komunis ketiga terbesar setelah Tiongkok dan Uni Soviet, berubah dari sebuah negeri yang sangat anti-imperialis ke sebuah partner AS yang penurut. Sebelum kudeta ini, duta besar AS telah terpaksa mengirim pulang hampir semua personilnya dan menutup konsulat-konsulat di luar Jakarta karena demonstrasi PKI yang militan. Buruh menyita perkebunan-perkebunan dan sumur-sumur minyak yang dimiliki perusahaan AS, dan Sukarno mengancam akan menasionalisasi mereka. Ancaman Indonesia menjadi komunis adalah nyata dan peristiwa ini bisa mengubah wilayah Asia Tenggara menjadi merah juga.

Sebuah laporan intelijen level tinggi yang dipersiapkan pada awal September 1965 menulis bahwa “Indonesianya Soekarto sudah bertindak seperti sebuah negeri komunis dan lebih bermusuhan secara terbuka dengan AS dibandingkan kebanyakan negeri-negeri komunis lainnya.” Laporan tersebut juga memprediksikan bahwa pemerintah Indonesia akan didominasi secara penuh oleh PKI dalam dua atau tiga tahun, dan “kebangkitan Indonesia ke komunisme akan menghantar pukulan yang berat terhadap politik dunia. In akan dilihat sebagai sebuah perubahan besar dalam perimbangan kekuatan-kekuatan politik internasional dan akan menyuntikkan sebuah nyawa yang baru ke dalam tesis bahwa komunisme adalah gelombang masa depan.”[31]

Indonesia dianggap sebagai kartu domino terbesar di Asia Tenggara. Dalam pidatonya tahun 1965, Richard Nixon membenarkan pemboman Vietnam Utara sebagai satu cara untuk mengamankan “potensi mineral yang besar” di Indonesia. Sejarahwan Dr. John Roosa menekankan bahwa pasukan infantri yang mulai turun ke Vietnam pada bulan Maret 1965 akan menjadi sia-sia bila kaum Komunis meraih kemenangan di sebuah negara yang jauh lebih besar dan strategis, Indonesia. Kemenangan PKI di Indonesia akan membuat intervensi AS di Vietnam sia-sia.[32] Robert McNamara, sekretaris pertahanan di bawah Presiden John F. Kennedy dan Lyndon B. Johnson, berpendapat bahwa AS seharusnya mengurangi keterlibatannya di Vietnam setelah pembantaian PKI di Indonesia.[33] Setelah Indonesia, kartu domino utama di Asia Tenggara, telah diamankan secara baik, politisi AS seharusnya menyadari bahwa Vietnam tidaklah sekrusial seperti yang pertama kali dikira, begitu pendapat McNamara. Akan tetapi, pada saat itu, peperangan di Vietnam telah mendapat logikanya sendiri, terpisahkan dari teori domino. Kemenangan AS di Vietnam, setelah jatuhnya PKI, lebih dibutuhkan untuk menjaga gengsi pemerintah AS dan menghindari rasa malu dari kekalahan dalam perang, daripada untuk menghentikan komunisme di Asia Tenggara.

Seperti yang ditunjukkan di atas, Indonesia adalah sangat penting bagi kaum kapitalis dunia karena kekayaan alamnya. Setelah Perang Dunia II, AS telah menetapkan Indonesia ke dalam lingkup pengaruh ekonomi Jepang; minyak, mineral, dan hasil bumi Indonesia akan memasoki industrialisasi Jepang. Kekawatiran utama AS adalah keamanan Jepang, yang akses murahnya ke sumber daya alam Indonesia dipercaya dapat menjaga Jepang untuk tetap di kampnya. Ini dapat dilihat dari statistik ekspor setelah 1965, dimana Jepang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia, dari sekitar 3-7% pada tahun 1958-1962 hingga 50% pada tahun 70an dan 80an.[34]

Orde Baru

Orde Baru membawa sebuah eksploitasi yang semakin parah. Dalam waktu 10 tahun, dari tahun 1971 hingga 1981, total nilai ekspor meloncat dari US$ 1,2 milyar hingga US$ 25,2 milyar, sebuah loncatan tinggi sebesar 2100% dalam 10 tahun.[35]

Minyak dan gas bumi secara konsisten mencakup lebih dari 50 persen total nilai ekspor hingga tahun 1987, dengan Jepang sebagai tujuan ekspor utama.[36] Sekitar 80% dari ekspor minyak dan gas bumi menuju Jepang dan Amerika Serikat.[37] Periode dari tahun 1971 sampai 1987 sering disebut sebagai periode migas.

Jepang adalah tujuan ekspor utama dari produk-produk Indonesia, terutama dari awal 1970an hingga akhir 1980an, dimana ekspor ke Jepang adalah sebesar 40 hingga 50%. Level ekspor ke AS menyusul Jepang, dengan total gabungan ekspor ke Jepang dan AS sebesar 60 hingga 70% dari tahn 1971 sampai 1987.[38] Konsentrasi ekspor ke AS dan Jepang ini mulai pada akhir tahun 1960an, yang bersamaan dengan penghancuran rejim Soekarno dan kekuatan PKI pada tahun 1965-66. Ini sejalan dengan kebijakan luar negeri AS untuk menempatkan Indonesia di dalam lingkup ekonomi Jepang.

Dominasi ekspor minyak mulai menurun setelah memuncak pada tahun 1981. Dari paruh kedua tahun 1980am, ekspor minyak jatuh ke satu level yang hanya 1/3 dari level 1981. Penurunan ini disebabkan terutama oleh anjloknya harga minyak dunia pada tahun 80an, atau yang disebut dengan krisis minyak 1980, di mana harga minyak jatuh dari puncaknya $35 per barrel pada tahun 1980 ke di bahwa $10 tahun 1986.

Menyusul penurunan tajam pada tahun 1980an, ekspor minyak stagnan pada tahun 90an. Porsi eskpor migas jatuh menjadi 20% pada akhir 1990an. Minyak perlahan-lahan kehilangan posisinya sebagai komoditas ekspor utama. Menggantikan tempatnya, kita melihat peningkatan hebat dalam ekspor kayu lapis pada awal 1990an, dalam ekspor tekstil dan garmen pada pertengahan 1990an, dan dalam ekspor produk-produk elektronik pada paruh kedua 1990an.[39] Indonesia jelas menggantikan ekspor bahan mentahnya dengan ekspor produk-produk industrial.

Tujuan ekspor juga berubah pada akhir 1990an, dimana perdagangan produk-produk industrial dengan negara-negara Asia Timur (Korea, Taiwan, dan Tiongkok) selain Jepang dan negara-negara ASEAN menjadi fundamental di dalam perdagangan luar negeri Indonesia. Tren ekonomi ekspor Indonesia dari paruh kedua abad ke-19 sampai abad ke-20

Pertumbuhan Kelas Pekerja di Indonesia

Indonesia mengalami pergeseran komoditas ekspor kunci dari pertanian dan pertambangan ke berbagai macam barang manufaktur. Pada akhir tahun 1980an, manufaktur sendirian telah berkontribusi hampir 30% dari total pertumubuhan PDB, dibandingkan 10% kontribusi pada pertumbuhan pada akhir 1960an.[40] Selama periode 1986-1993, pertumbuhan lapangan pekerjaan di manufaktur skala besar dan menengah meningkat 9% per tahun.[41] Selama periode yang sama, pekerjaan di sektor pertanian mengalami penurunan. Jutaan orang pindah dari pedesaan ke perkotaan. Lapisan proletariat baru ini, yang terlempar dalam jumlah ribuan ke pabrik-pabrik, adalah salah satu kekuatan yang menggoncang rejim Soeharto. Jumlah pemogokan yang tercatat pada tahun 1990an meningkat pesat, dari 61 pada tahun 1990 ke 300 pada tahun 1994. Proporsi besar dari pemogokan ini terjadi di manufaktur, terutaman di industri tekstil, garmen, dan sepatu yang bergaji rendah

Dalam periode 21 tahun antara tahun 1976 hingga 1997, PDB non-migas tumbuh rata-rata 7,5% per tahun. PDB pertanian perlahan-lahan menurun dari 36,8% tahun 1976 hingga 16,4% pada tahun 1997, sedangkan PDB manufaktur meningkat dari 10,6% hingga 28,4%. Porsi lapangan kerja dari sektor pertanian juga mengalami penurunan perlahan-lahan dari 61,6% pada tahun 1976 ke 41,2% pada tahun 1997, sedangkan di sektor manufaktur ini meningkat dari 8,4% ke 12,9% dalam jangka waktu yang sama. Disini kita lihat bagaimana pekerja manufaktur menjadi semakin penting di Indonesia, dalam hal jumlah dan juga kontribusinya ke PBD per kepala. Pada tahun 2007, walaupun hanya mencakup 12,4% lapangan kerja, buruh manufaktur berkontribusi ke PBD sebesar 26,9%, sedangkan sektor pertanian dengan 41,2% lapangan kerja hanya berkontribusi 14,9% PBD.

Status pekerjaan di Indonesia yang paling dominan adalah pekerja berusaha-sendiri yang mencakup 41% dari total pada tahun 2007. Pekerja berusaha-sendiri bekerja sendirian atau dengan bantuan dari anggota keluarga yang tidak dibayar. Oleh karena itu, pada kenyataannya kedua kategori ini saling bertautan, menciptakan satu sektor informal yang berjumlah total sekitar 60-70%, atau sekitar 60-70 juta rakyat yang terpaksa menciptakan lapangan kerja mereka sendiri karena tidak ada pekerjaan yang tersedia.


Secara umum kita melihat peningkatan jumlah pekerja upahan, reguler atau kasual, dari total 26,4% pada tahun 1986 ke 38,5% pada tahun 2007, dan menurunnya jumlah pekerja sektor informal (pekerja berusaha sendiri dan pekerja keluarga/tidak dibayar) dari 73% ke 58,6%. Setelah krisis 1997, ada penurunan sedikit dalam pekerja upahan reguler ke 26% pada tahun 2003, tetapi lalu ini kembali ke level pra-krisis pada tahun 2005 dan meningkat ke 28% pada tahun 2007. Kita dapat melihat bahwa penurunan ini diserap oleh pekerja keluarga/tidak dibayar, dimana buruh yang dipecat bergantung pada keluarga mereka untuk pekerjaan dan sebagai gantinya diberikan ongkos hidup. Pekerja upahan reguler lebih umum dalam manufaktur dan pelayanan jasa. Lebih dari 40% buruh di sektor non-pertanian adalah pekerja reguler, dibandingkan dengan hanya 6% di pertanian. Kita juga menyaksikan sebuah pergeseran ke lebih banyak pekerja upahan reguler di sektor pertanian, dimana pada tahun 1986 hanya 0,3% dari pekerja pertanian adalah pekerja upahan, pada tahun 2007 ini menjadi 5,8%.[45] Kaum proletariat di Indonesia jelas sedang meningkat jumlahnya dan juga posisi ekonominya dalam sistem kapitalis.

Industrialisasi dan pertumbuhan kelas pekerja yang pesat juga telah menarik sejumlah besar kaum perempuan ke dalam barisannya. Walaupun perempuan-perempuan muda ini dieksploitasi secara brutal dan dipaksa pindah dari desa ke pabrik-pabrik, pekerjaan dan perjuangan mereka telah mengubah kehidupan, status sosial, dan kepercayaan diri dari kaum perempuan Indonesia yang dulunya dikenal penurut. Mereka bukan korban eksploitasi dan ketidakadilan yang pasif. Namun mereka telah menjadi agen perubahan sosial yang aktif, dan sering kali mereka lebih vokal dari rekan laki-laki mereka. Tidak sedikit dari mereka yang telah menjadi pemimpin buruh dan perjuangan.

Lapisan pekerja lainnya yang cukup penting adalah buruh migran Indonesia. Pada tahun 2008, jumlah buruh migran Indonesia adalah sekitar 5,8 juta, jumlah ini setara dengan setengah jumlah buruh di sektor manufaktur medium dan besar.[46] Mayoritas dari mereka adalah perempuan dan bekerja di sektor informal sebagai pembantu rumah tangga. Sisanya bekerja di sektor pertanian dan industri sebagai buruh harian. Buruh-buruh ini adalah sumber valuta asing yang penting, menghasilkan sebesar US$ 5 milyar pada tahun 2006[47], yakni dua kali nilai ekspor pertanian. Walaupun banyak dari mereka teratomisasi karena watak dari pekerjaan mereka, mereka telah mampu membentuk serikat-serikat buruh untuk berjuang demi hak-hak mereka.

Krisis 1997/1998 dan Reformasi

Tujuh tahun sebelum krisis ekonomi 1997, ada influks kapital yang besar ke dalam sektor swasta, dari US$ 314 juta pada tahun 1989 ke US$ 11,5 milyar pada tahun 1996, sebuah peningkatan 3500%.[48] Kapital swasta yang besar ini, kebanyakan darinya adalah kapital jangka pendek yang diinvestasikan ke sektor real-estate, menciptakan ekonomi gelembung yang meledak pada saat krisis finansial Asia 1997. Krisis sangat parah. Dari pertumbuhan pertahun rata-rata 7%, PDB riil berkontraksi hampir 14% pada tahun 1998. Rupiah anjlok dari Rp. 2.450 ke Rp. 14.900 terhadap dolar AS antara bulan Juni 1997 dan Juni 1998. Pemerintahan kapitalis, dengan bantuan dari reformis-reformis tulen, cepat membail-out bank-bank dan perusahaan-perusahaan finansial yang berjatuhan. Sebagai akibatnya, hutang publik pemeringah naik dari nol sebelum krisis menjadi US$ 72 milyar, sebuah jumlah besar yang harus dibayar oleh rakyat pekerja.

Investasi Asing Langsung (FDI) juga jatuh dengan tajam. MFDI sebesar US$ 5,6 milyar pada tahun 1996 berubah menjadi keluarnya FI sebesar US$ 4,6 milyar pada tahun 2000. Kapital swasta asing terus meninggalkan negeri sampai tahun 2004 dimana ini berdiri pada negatif US$ 1,5 milyar. FDI mulai masuk kembali pada tahun 2005, dan pada tahun 2006 ini berjumlah US$ 4,1 milyar.[49]

Setelah krisis, pertumbuhan tetap rendah dengan PDB riil tumbuh tidak lebih dari 5% pertahun selama 1997-2004, dan sekitar 5,5% pada tahun 2005-2006, dan 6,3% pada tahun 2007.


Krisis ekonomi ini adalah jerami yang mematahkan punggung unta. 32 tahun pembangunan terurai secara eksplosif. Harga kebutuhan sehari-hari meroket. Supresi demokrasi menjadi semakin tidak tertahankan, dengan inside 27 Juli 1997 – penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia – menjadi titik balik. PDI dan Megawati menjadi titik persatuan untuk perjuangan demokrasi.

Rejim Soeharto ditumbangkan oleh massa. 32 tahun kediktaturan diremukkan dalam satu malam ketika jutaan rakyat turun ke jalan dan memaksa Soeharto untuk mundur. Namun, Reformasi membawa apa yang ditakdirkannya: reforma kosmetik dan bukan perubahan fundamental. Reforma di periode krisis ekonomi hanya dapat berarti konter-reforma, dan ini yang terjadi. Perusahaan-perusahaan milik negara diprivatisasi dan subsidi dihapus; agenda neo-liberal diimplementasikan dengan ganas. Reformasi memang memberikan ruang demokrasi, dan ini kendati para reformis. Namun, Reformasi juga membawa lebih banyak kebebasan kepada kaum kapitalis untuk mengeksploitasi massa.

Setelah 12 tahun, menjadi jelas bagi siapapun bahwa Reformasi gagal membawa perubahan fundamental ke dalam masyarakat. Walaupun Reformasi menghantarkan satu pukulan besar ke rejim kapitalis, memaksa Soeharto untuk mundur dan membuka ruang demokrasi – kendati ini adalah ruang demokrasi borjuis -, ia gagal menyelesaikan problem fundamental yang dihadapi oleh jutaan buruh, tani, nelayan, kaum muda, dan kaum miskin kota. Kemiskinan masih tinggi. Persentasi populasi yang hidup dengan 1 dolar per hari (kemiskinan ekstrim) pada tahun 1996 – puncak boom ekonomi Indonesia – adalah 7,8%, pada tahun 2006 angka ini menjadi 8,5%. Namun bila kita ambil garis kemiskinan 2-dolar-perhari, maka kemiskinan pada tahun 2006 melonjak ke 53%.[51] Ini berarti bahwa lebih dari setengah rakyat Indonesia hidup jauh di bawah PBD per kapita $3900 (angka tahun 2008). 10% penduduk termiskin hanya mengkonsumsi 3% kekayaan, sedangkan 10% penduduk terkaya mengkonsumsi 32,3%.[52]

Kegagalan Reformasi sangatlah mencolok sehingga bahkan massa rakyat mulai mengidamkan “masa lalu yang baik” di bawah Soeharto ketika kemiskinan lebih tertanggungkan dan ada semacam kestabilan. Di bawah kedok demokrasi, tingkat eksploitasi sebenarnya justru meningkat. Ini adalah logis, karena bagi kelas penguasa demokrasi berarti kebebasan untuk menindas. Sebagai konsekuensinya, agenda neo-liberal telah diimplementasikan lebih ganas dalam tahun-tahun belakangan. Banyak perusahaan dan properti negara yang sedang diprivatisasi. Subsidi negara dihapus. Tidak heran kalau rakyat letih akan situasi sekarang ini dan skeptis akan apa yang telah dibawa oleh Reformasi 1998.

Resesi Dunia 2008/2009

Indonesia tidak dapat lari dari pengaruh resesi dunia yang dipicu oleh krisis kredit perumahan di AS (Untuk analisa yang lebih dalam mengenai resesi dunia, baca Dokumen Perspektif Dunia 2010). Di Indonesia, ekonomi pada tiga kuartal pertama tahun 2008 dipenuhi dengan optimisme dan tumbuh di atas 6%, dan ketika resesi menghantam, berkontraksi ke 5,2% pada kuartal keempat. Hampir seperti krisis 1997, Rupiah mengalami 30% depresiasi terhadap dolar AS dalam dua bulan Oktober dan November 2008. Pasar saham kehilangan hampir setengah nilainya antara Januari 2008 (2627,3) dan Desember 2008 (1355,4)

Namun, Indonesia pulih dengan cepat dari resesi ini. Di paruh pertama tahun 2009, PBD Indonesia tumbuh 4,2%, terbesar di Asia Tenggara sementara negara-negara lain di wilayah yang sama mengalami penurunan PBD, Singapura -3,5%, Thailand -4,9%, dan Malaysia -5,1%. Pada tahun 2009, Indonesia mempos pertumbuhan PDB sebesar 4,5%, dengan pertumbuhan kuartal keempat yang impresif sebesar 5,4%. Selain itu, pada paruh pertama 2009, Bursa Efek Jakarta rebound dengan cepat, ketiga tercepat setelah Shanghai dan Mumbai. Pada akhir 2009, BEJ telah kembali ke nilai sebelum krisis.

Ekonomi Indonesia tidak terpukul oleh resesi separah negara-negara Asia Tenggara lainnya karena di dekade terakhir pertumbuhannya telah berdasarkan pada konsumsi domestik, dan bukannya perdagangan ekspor.


Faktor lainnya adalah bahwa nilai ekspor Indonesia hanyalah sekitar 25% dari PDB, sedangkan banyak negeri di Asia memiliki rasio ekspor terhadap PDB yang jauh lebih tingga. Dengan menurunnya pertumbuhan volume perdagangan global dari 8,1% pada 5 tahun terakhir sebelum krisis menjadi 4,1% pada tahun 2008 dan -12,2% pada tahun 2009, negeri-negeri yang bergantung pada ekspor terhantam segera dan lebih parah.


Eksposure yang terbatas terhadap krisis kredit perumahan AS juga melindungi sistem perbankan Asia dari shok awal krisis finansial ini. Dari total US$ 1,5 trilyun default kredit dan kerugian kredit yang tercatat di seluruh dunia semenjak Juli 2007, hanya US$ 39 milyar, atau sekitar 2,7%, datang dari institusi finansial Asia – kebanyakan datang dari Jepang dan Tiongkok.[55]

Selain itu, paket stimulus pemerintah yang berjumlah US$ 7,1 milyar (Rp. 73,3 trilyun) pada tahun 2009 juga telah mendorong konsumsi domestik. Pemerintah Indonesia akan melanjutkan paket stimulus sebesar Rp. 38,3 trilyun untuk tahun 2010.

Kesuksesan ini telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memproyeksikan pertumbuhan yang sangat optimis untuk lima tahun ke depan. Pada akhir Summit Nasional bulan Oktober 2009 yang dihadiri lebih dari 1300 pejabat dari pemerintah, kamar dagang asing, asosiasi pemilik modal, dsb., Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa pemerintah menargetkan pertumbuhan rata-rata ekonomi: 5,5-5,6 persen tahun 2010, 6,0-6,3 persen 2011, 6,4-6,9 persen 2012, 6,7-7,4 persen 2013, dan 7 persen 2014.

Namun ini bukan berarti bahwa buruh Indonesia selamat dari krisis. Pada bulan Februari 2009, Rizal Ramli dari think tank swasta Econit mengatakan bahwa dia mengestimasikan perusahaan-perusahaan telah memotong 800 ribu pekerjaan semenjak tahun lalu.[56] Kebanyakan pemecatan ini tercatat di industri manufaktur: tekstil, garmen, otomotif, sepatu, dan kertas. Hingga akhir tahun 2008, sekitar 250 ribu buruh migran telah dikirim pulang oleh majikan mereka.[57]

Kenyataan bahwa Indonesia pulih dengan cepat dari krisis ini bukanlah alasan untuk perayaan bagi kaum buruh dan tani. Brazil, Indonesia, India, Cina, dan Afrika Selatan (yang dinamai BIICS) dijunjung sebagai negara-negara yang mendorong pertumbuhan ekonomi dunia sementara seluruh dunia lainnya anjlok. Laporan terbaru dari OECD berjudul Going for Growth 2010 memberikan sebuah “nasihat” kepada pemerintah Indonesia untuk menghapus subsidi bahan bakar minyak. Pier Carlo Padoan, Deputi Sekjen dan Ekonom utama OECD, mengatakan bahwa penghentian subsidi BBM adalah salah satu kebijakan yang harus diambil oleh Indonesia: “India dan Indonesia masing-masing menghabiskan 10% dan 20% dari belanja pemerintah untuk subsidi, sebagian besar untuk subsidi energi. Bila harga BBM tetap rendah, tidak hanya pemborosan konsumsi yang terjadi tapi juga dapat berdampak buruk ke lingkungan.”[58] Ini adalah persiapan untuk pemotongan besar dalam pengeluaran publik yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan defisit yang diciptakan untuk membail-out bank-bank dan perusahaan-perusahaan yang berjatuhan pada saat resesi ekonomi.

Selain itu, pada tahun 2009, pemerintah mengeluarkan UU 39/2009 yang mempromosikan pembentukan Zona Ekonomi Khusus untuk mendorong industri dengan melonggarkan aturan-aturan perburuhan dan lingkungan hidup, dan menyediakan subsidi untuk perusahaan-perusahaan, semua atas nama meningkatkan kompetisi di Indonesia. Semenjak diberlakukannya UU tersebut, 48 daerah telah mendaftar untuk ZEK ini. Pemerintah berencana untuk membangun lima ZEK di seluruh Indonesia hingga tahun 2012.[59]

Pada tanggal 1 Januari 2010, Indonesia, dengan sembilan negara ASEAN lainnya, meratifikasi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA) dimana ini akan mengurangi tarif lebih dari 7500 kategori produk, atau sekitar 90% dari barang impor, hingga nol. ACFTA adalah area perdagangan bebas terbesar dalam hal populasi, dengan sekitar 1,9 milyar penduduk, dan ketiga terbesar dalam hal PDB nominal. Menyusul ACFTA adalah ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yang diharapkan akan jalan di Indonesia pada tanggal 1 Juni 2010, dan Indonesia akan berkomitmen mengurangi tarif impor sebesar 42,5%.

Kedua perjanjian perdagangan bebas ini akan membanjiri pasar Indonesia dengan barang-barang murah dari Tiongkok dan India, menghancurkan industri manufaktur dan pertanian Indonesia, dan menciptakan perlombaan ke bawah yang lebih parah tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh wilayah ASEAN-Cina-India. Perjanjian perdagangan bebas ini akan menyakiti kaum buruh dan tani dari seluruh wilayah ini. Namun solusinya bukanlah lebih banyak proteksionisme, karena perdagangan bebas dan proteksionisme di bawah kapitalisme adalah dua sisi dari koin yang sama. Kenyataannya, proteksionisme membawa kebijakan konter yang serupa dari negara-negara lain, menyebabkan kontraksi tajam bagi perdagangan dunia dan sebagai akibatnya sebuah kemerosotan global. Untuk negara-negara kurang berkembang seperti Indonesia, kebijakan proteksionis dari negara-negara kapitalis besar akan membuatnya kehilangan pasar ekspor dan menghancurkan industri di dalam negeri, dan mendorong jutaan buruh dan tani ke pengangguran.

Menilik dari situasi ekonomi global, yakni pemulihan ekonomi tanpa penciptaan lapangan kerja, proyeksi optimis dari pemerintahan SBY berdiri di atas pondasi yang rapuh. Walaupun secara formal resesi telah berakhir, efek dari resesi ini akan berkepanjangan dan pemulihan ekonomi tidak akan mulus. Pertama, resesi besar ini diatasi oleh negeri-negeri maju dengan menyuntik sebanyak US$ 11 trilyun, atau 1/5 output global, guna menyelamatkan ekonomi. Menurut IMF, hutang publik bruto dari sepuluh negeri terkaya akan menjadi 106% dari PDB. Angka ini adalah 78% pada tahun 2007. Defisit besar ini harus dibayar dengan memotong pengeluaran publik, yang akan berarti sebuah penurunan dalam konsumsi domestik di kebanyakan negeri-negeri kapitalis maju dalam tahun-tahun ke depan. Terlebih lagi, krisis overproduksi di negeri-negeri kapitalis maju adalah parah, dengan kapasitas produksi 30% lebih besar daripada kemampuan membeli konsumen. Ini berarti bahwa pemulihan ekonomi di negeri-negeri maju akan berlangsung tanpa penciptaan lapangan kerja. Selain mengurangi permintaan impor dari negeri-negeri Asia, ini juga akan mengurangi investasi asing. Hampir 50% investasi untuk perusahaan-perusahaan non-finansial di Indonesia datang dari kapital asing. Sebagai akibatnya, kita telah mulai menyaksikan banyak rencana-rencana investasi di Indonesia yang telah ditunda dan dibatalkan. Dengan penurunan investasi dan permintaan asing, kita akan melihat penurunan di dalam level produksi di Indonesia dan peningkatan tingkat pengangguran.

Era Baru

Krisis finansial 2008/2009 adalah krisis yang terbesar semenjak Depresi Hebat 1929. Secara ekonomi, sosial, dan politik, krisis ini akan meninggalkan sebuah bekas di dalam sejarah kapitalisme. Dunia tidak akan pernah sama lagi. Indonesia, yang terikat erat dengan kapitalisme global, tidak dapat lari dari krisis ini. Kapitalis seluruh dunia berjuang untuk mengatasi kontradiksi dari sistem mereka. Mereka akan memindahkan beban krisis ini ke pundak milyaran buruh dan tani.

Lebih dari 150 tahun yang lalu, Marx dan Engels menulis di Manifesto Komunis: “Dan bagaimanakah borjuasi mengatasi krisis-krisis ini? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, dengan membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang dapat mencegah krisis-krisis itu.”

Inilah yang sedang dilakukan oleh kaum kapitalis seluruh dunia. Pabrik-pabrik sedang ditutup dengan jutaan buruh dipecat (“memaksakan penghancurah sejumlah besar tenaga-tenaga produktif”) dan mereka yang masih beruntung memiliki pekerjaan mereka sedang dipaksa bekerja lebih keras dan lebih lama dengan bayaran yang lebih rendah. Ada kemerosotan dalam permintaan dunia dan kapitalis seluruh dunia dipaksa untuk membuka lebih banyak pasar baru dan membesarkan yang lama (“merebut pasar-pasar baru dan menghisap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna”) melalui perjanjian-perjanjian perdagangan bebas dan segala macam skema ekonomi. Namun, kapital telah merasuk ke semua sudut dunia dan tidak ada lagi pasar yang baru yang bisa direbut. Dalam 50 tahun terakhir, kapitalisme telah berhasil menghindari krisis besar dengan membuka pasar-pasar baru (terutama di Cina, India, dan Rusia). Sebagai konsekuennya, ini telah “membukakan jalan untuk krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi cara-cara yang dapat mencegah krisis-krisis itu.” Dan memang benar, sebuah krisis yang lebih besar sedang menanti kelas penguasa.
Selengkapnya...