Minggu, 13 Mei 2012

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Harus Bertanggung Jawab, Jika Terjadi “Konflik Berdarah” Di Pulau Padang!!

KONFRENSI PERS No. 05/KPP-STR/B/V/2012 Pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan KONFLIK IZIN IUPHHK-HT PT. RAAP DI PULAU PADANG “Hutan Tanaman Rakyat” (HTR) Bukan Solusi!! Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Harus Bertanggung Jawab, Jika Terjadi “Konflik Berdarah” Di Pulau Padang!! Kepada Yth; Rekan-rekan Pers dan Kawan-kawan Pro Demokrasi, Organisasi Massa, (Buruh, Tani, Mahasiswa-Pelajar, serta Rakyat Miskin lainnya)dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Di – Seluruh Penjuru Tanah Air. Salam Pembebasan! Doa dan harapan kami, semoga Rekan-rekan Pers dan Kawan-kawan konsisten membela kepentingan rakyat terhisap/tertindas. Rekan pers yang terhormat, Dua tahun silam, 22 April 2010, Koalisi LSM melaporkan adanya 12 pejabat publik termasuk Gubernur Riau dan mantan Menteri Kehutanan kepada Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan Komisi Pemberantasan Korupsi karena dugaan keterlibatan dalam kasus penebangan hutan di Riau. Saat ini, empat pejabat pemerintah di Provinsi Riau telah divonis dan seorang ditahan oleh penegak hukum atas dakwaan menerima suap dalam izin penebangan hutan alam yang diberikan kepada perusahaan kelompok Asia Pulp & Paper (APP) serta Asian Pacific Resources International Limited (APRIL) yang memasok kayu bagi dua pabrik pengolahan pulp. Pada 1 Mei 2012 yang lalu, Koalisi Anti Mafia Hutan mendatangi KPK untuk segera menuntaskan kasus korupsi kehutanan di Indonesia, khususnya di Riau, karena masih banyaknya pelaku yang belum tersentuh hukum. Setidaknya 37 perusahaan pemasok kayu untuk pabrik-pabrik bubur kertas APP dan APRIL di Riau diduga menyuap pejabat agar bisa menebangi lebih dari 400 ribu hektar hutan alam di Sumatera bagian tengah. Para pembeli kertas produksi APP dan APRIL dari luar dan dalam negeri sepertinya telah membeli produk bubur kertas dan kertas yang terkait dengan praktek penyuapan dan korupsi. Dalam realitas yang terjadi di Indonesia, izin-izin yang didapat melalui praktek korupsi dan penyuapan masih dianggap sah, bahkan setelah orang yang menandatanganinya masuk penjara, maka tidak satupun izin tersebut yang dicabut. Artinya produk kertas dijual ke seluruh dunia oleh APP dan APRIL telah dinodai oleh praktek korupsi. Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Riau (KPP-STR) dalam merespon persoalan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, kami dengan tegas saat ini mengatakan ‘’Kebijakan Kehutanan’’ tidak bisa lagi di serah kan mentah – mentah oleh Rakyat kepada birokrasi, karena Negara terbukti menghianati rakyatnya sendiri, dan pada dasarnya konflik agraria yang terjadi saat ini disebabkan karena kebijakan pemerintah yang begitu liberal. Pemerintah salah urus. Pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat. Akibatnya, pemerintah seperti pembeo “mulut pengusaha”. Dan kami Serikat Tani Riau menyakini konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang sangat erat hubunganya dengan praktek penyuapan dan korupsi kehutanan. Secara jujur harus diakui, bahwa konflik social yang meletus dan meluas sejak tuntutan reformasi disampaikan Tahun 1998 hanyalah merupakan satu dari banyak ‘buah’ politik (termasuk politik kehutanan) pemerintah Orde Baru yang sentralistik dan otoriter selama kurun waktu yang demikian panjang. Politik sentralisasi merupakan pangkal dari segala persoalan. Rezim berkuasa yang sedemikian kuat telah menutup ruang bagi parapihak kehutanan yang lain terutama masyarakat local di lapisan bawah (grass root) untuk turut berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan, meskipun kebijkan atau upaya yang akan dilaksanakan tersebut akan terkait obyek (sumber daya hutan) yang erat dengan kehidupan dan masa depan masyarakat. Kekuasan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang di tandai dengan adanya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan telah berakhir pada bulan Mei 1998 seiring tumbangnya Presiden Soharto dari kursi kepresidenan. Karena itu pulalah menurut Serikat Tani Riau dalam gelombang reformasi ditandai dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru yang terjadi pada awal tahun 1998 tersebut juga merambah ke sector kehutanan. Tuntutan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih demokratis, berkeadilan, dan lestari, memaksa pemerintahan baru untuk merubah paradigma lama dari ‘basis negara’ (state-based) ke ‘basis rakyat’ (community based) dan dari ‘orientasi kayu’ (timber-oriented) ke ‘orientasi ekosistem’ (ecosystem-oriented). Mengingat banyaknya temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya. Seharusnya dengan berakhirnya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan tersebut, tentunya sangat memungkinkan Indonesia saat ini dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjalankan pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi social dan demokrasi ekonami sesuai dengan proporsinya. Karena itulah Serikat Tani Riau menegaskan pandangan dan sikap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya untuk tidak tinggal diam, SK 327/menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang saat ini menjadi salah satu permasalahan di dunia kehutanan Indonesia telah terbukti menyimpan banyak permasalahan. Banyak temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya, sehingga izin tersebut perlu ditinjau ulang. Menyadari penegakan hukum lingkungan sudah tidak lagi bisa di harapkan oleh masyarakat Riau khususnya warga Pulau Padang kepada negara ini. Kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Serikat Tani Riau dalam persoalan pulau padang masih mengharapkan adanya perwujudan demokrasi dalam praktek penyelenggaraan Negara, karena menurut kami pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan saat ini tidak lagi mengerti dengan konsep bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemenfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Para birokrat (perencana dan pengambil keputusan) di bidang kehutanan terbukti telah gagal dalam mengemban amanah konstitusional untuk melestarikan sumber daya hutan dan memenfaatkanya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Lembaga-lembaga penyelenggara negara di tingkat Pusat dan Daerah tidak lagi bisa bekarja secara adil dan proposional berdasarkan beberapa temuan fakta, data dan informasi yang berkenaan dengan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang yang berhasil dirangkum dari kajian aspek legal, dan didukung beberapa penelitian dan diskusi dengan LSM / masyarakat Pulau Padang. Bahkan sebaliknya penguasa Negara memaksakan kehendak dengan menjalankan logikanya sendiri dan terang-terangan mengingkari pakem peran negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berlanjut. Rekan pers yang terhormat, KONFLIK IZIN IUPHHK-HT PT. RAAP DI PULAU PADANG merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara”. Sejak lahirnya SK 327/Menhut-II/2009, masyarakat Pulau Padang mulai bulan Desember 2009 sampai dengan saat ini (Mei 2012) secara terus menerus melakukan penolakan beroperasinya PT. RAPP di Pulau Padang mulai skala lokal di tingkat kabupaten (Bupati & DPRD), Propinsi (Gubernur & DPRD), sampai puncak eskalasinya dengan adanya aksi “jahit mulut” dan kemah massal masyarakat Pulau Padang di depan Gedung DPR RI sejak pertengahan bulan Desember 2011 terhitung hampir 3 (Tiga) bulan lamanya masyarakat Pulau Padang memilih bertahan di Jakarta. Sejarah tidak bisa di bungkam, bahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Serikat Tani Riau (STR) dan Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP guna penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut, hari ini Senin 14 Mei 2012 Ribuan Masyarakat Pulau Padang mengepung Kantor Pemerintahan Di Kecamatan Merbau. Jika selama ini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan menjadikan “Akademisi dan Peneliti Kehutanan”, yang sering kali dijadikan rujukan atau sumber pembenaran dari kebijakan kehutanan dan strategi pengelolaan hutan, yang selama ini lebih berkosentrasi terhadap isu teknis, fisik dan biologis. Keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya, bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil di capai-yang berarti fungsi dan menfaatnya dapat di sinambungkan –adalah contoh dari penerapan teori-teori buku ilmiah dari pengalaman luar yang tidak sesuai dengan realita sejarah masyarakat dan fakta lapangan Indonesia khususnys Pulau Padang. Pulau Padang dengan luas 1.109 km2—(menurut UU 27/2007 termasuk kriteria Pulau Kecil)—memiliki banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) pada ekosistem lahan gambut dalam yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Model/pola pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam berbasis masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menjamin keseimbangan ekosistem lahan gambut dalam, tidak banyak dijumpai di Indonesia. Konflik yang sudah berlangsung hampir memasuki tiga tahun lamanya ini, mengindikasikan “pemerintah gagal” memenuhi harapan rakyat. Dalam bagian Sumber Daya Alam yang di wakili oleh beberapa tulisan, menurut kami, persoalan monopoli modal (didukung kekuasaan sebagai kerabatnya) atas sumber daya alam terus terjadi. Pengambilan sumber daya rakyat di lakukan dengan berbagai pola. Ada yang menggunakan tipu daya, intimidasi maupun berbekal kebijakan negara. Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang: Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia. Kementerian Kehutanan saat ini menjelma menjadi gurita raksasa yang bebal. Watak eksploitasi hutan sengaja di ciptakan menjadi mesin-mesin pengumpul devisa Negara. Pembangunan berkelanjutan dan bahasa kerakyatan di manipulasi menjadi teks-teks kebijakan yang tak bisa di pakai. Kebijakan pemerintah tidak lain sekedar alat legitimasi penguasa atas apa yang mesti di kerjakan namun bukan jawaban atas masalah-masalah yang di hadapi masyarakat. Saat ini pemerintah bukannya menerima pendapat mayoritas rakyat, sebaliknya mengorganisir dan memaksa pemerintah-pemerintah desa untuk bersetuju dengan konsesi PT. RAPP. Selain itu, pemerintah juga memaksakan solusi yang tidak populis, misalnya, scenario penanaman sagu hati dengan pola kemitraan dan sesungguhnya program Hutan Tanaman Rakyat (HTR) tidak bisa di paksakan oleh pihak Kementrian Kehutanan (KEMENHUT) menjadi solusi pada KONFLIK IZIN IUPHHK-HT PT. RAAP DI PULAU PADANG. Ketidakpuasan masyarakat local atas kegiatan penguasaahaan hutan tidak menutup kemungkinan sebenarnya juga ditujukan kepada pihak pemerintah (dalam hal ini adalah instansi/Depertemen Kehutanan, yang mengatur atau membuat kebijakan serta perijinan pengusahaan hutan). Apalagi dalam beberapa kasus konflik dengan masyarakat local, pihak pengusaha senerjasa berpegang kepada peraturan atau kebijkan yang di perolehnya dari pemerintah. Untuk itu, Serikat Tani Riau juga menekan dan menitikberatkan bahwa; “Presiden Susilo Bambang Yudhoyono” adalah orang yang paling harus bertanggung jawab nantinya jika terjadi KONFLIK BERDARAH di Kec. Merbau Kab. Kepulauan Meranti. Propinsi Riau. Pernyataan ini di sampaikan oleh Serikat Tani Riau mengingat, hingga detik ini telah hampir memasuki 3 (tiga) tahun lamanya masyarakat pulau padang melakukan pengawasan, menyuarakan pandangan dan tuntutanya kepada pemerintah, di sampaikan secara lisan ataupun secara tertulis kepada Aparatur Pemerintah yang berkepentingan, hal tersebut telah disampaikan baik secara langsung maupun melalui media namun pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis). Dan pemerintah juga “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri. Demikianlah hal ini kami sampaikan. Atas perhatian Rekan-rekan Pers dan Kawan-kawan Pro Demokrasi, Organisasi Massa, (Buruh, Tani, Mahasiswa-Pelajar, serta Rakyat Miskin lainnya) dan Lembaga Swadaya Masyarakat kami mengucapkan terimakasih. BANGUN PEMERINTAHAN KOALISASI NASIONAL MENGHADANG KAPITALISME-NEOLIBERAL TANAH, MODAL, TEKNOLOGI MODERN, MURAH, MASSAL UNTUK PERTANIAN KOLEKTIF DI BAWAH KONTROL DEWAN TANI Pekanbaru, 14 Mei 2012 Ketua Umum, M. RIDUAN Sekretaris Jenderal, DESSRI KURNIAWATI, SH Selengkapnya...