Minggu, 21 Oktober 2012

PT.RAPP picu kejadian BIMA ke: II di Meranti Riau.



Kangkangi aspirasi rakyat dengan menjalankan logikanya sendiri Pemerintah Cq Mentri Kehutanan akhir-akhir ini memberi isyarat bahwa perusahaan tersebut akan segera di perbolehkan melanjutkan kembali operasionalnya di pulau kecil bertanah gambut kedalaman 6-12 m dengan jumlah penduduk mencapai 35000 orang ini.

Seperti di beritakan beberapa media akhir-akhir ini, Riau Andalan Pulp and Paper (PT. RAPP) dipastikan akan segera memulaikan operasi bisnisnya kembali di Pulau Padang, Riau. Menurut pemberitaanya, operasi perusahaan ini akan berjalan hanya tinggal menunggu penyelesaian tata batas partisipatif. Jika tata batas ini kelar, izin operasi dari Kementerian Kehutanan (Kemhut) bisa terbuka kembali.

Merespon hal tersebut diatas, Serikat Tani Riau (STR) berpendapat. Kementrian Kehutanan (Kemenhut) RI dalam persoalan konflik izin IUPHHK-HTI PT.RAPP di pulau padang sebenarnya sejak dari awal memang sudah tidak memiliki niat baik dalam penyelesaian kasus ini, karena itulah dengan berbagai dalih serta pembenaranya kemenhut masih bersekeras memaksakan kehendak untuk tetap melegalkan operasional PT.RAPP di pulau padang, meskipun mereka sadar bahwa kebijakan dan keputusan mereka itu di tentang keras oleh mayoritas rakyat di pulau tersebut.

Kami telah memperlihatkan bentuk komitmen dan keseriusan kami selama hampir memasuki empat tahun lamanya untuk memperjuangkan demi keutuhan pulau padang untuk kesejahteraan anak cucu kami kelak. Dan tentunya kami tidak mau semua ini sia-sia. Bagi kami STR bersama dengan Organisasi Massa Rakyat lainya seperti Forum Komunikasi Masyarakat - Penyelamatan Pulau Padang (FKM-PPP) yang tentunya bersama mayoritas rakyat pasti akan tetap melakukan PENGHADANGAN di lapangan jika operasionalnya tetap di paksakan kembali ke kampung tanah kelahiran kami. Telah kami sampaikan sejak jauh-jauh hari kepada Pemerintah di Negara ini, bahwa keberadaan PT.RAPP tidak bisa di terima oleh Rakyat.

Dulunya STR bersama mayoritas rakyat, kami tidak kenal yang namanya lelah dan jenuh untuk mengingatkan kepada pihak penguasa. Berbagai cara pendekatan persuasif baik lisan maupun tilisan, langsung maupun melalui media telah kami upayakan agar pemerintah ini belajar MENDENGAR!! Kini kami telah muak, sejalan dengan yang kami pahami kebijakan pemerintah saat ini hanya mengedepankan kepentingan pemodal/pengusaha dengan mengabaikan aspirasi dan masa depan rakyatnya sendiri. Setiap sesuatu yang di paksakan, biasanya akan kembali muntah, sama hal nya dengan perut kenyang yang tetap di paksakan makan.

Keberadaan masyarakat dengan jumlah besar/mayoritas yang menolak beroperasinya PT.RAPP di pulau padang mungkin selama ini kenyataan objektfnya bisa di tutup-tutupi oleh media dengan bahasa sekelompok orang atau cuma tiga desa yang menolak keberadaan perusahaan bubur kertas tersebut. Tapi tidak untuk nanti, disaat operasional PT.RAPP tetap di paksakan masuk ke pulau tanah gambut ini kembali. Dalam upaya perjuangan penyelamatan pulau padang yang sedang kami lakukan ini, sesungguhnya kami tidak bisa mengangkangi jalannya sejarah perjuangan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Petikan dari jalanya sejarah adalah sumber Ilmu. Bangsa ini melakukan perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajahan belanda melalui dua metode Diplomasi dan Perang Bersenjata. Oleh karena itu, jika kami telah muak menjalankan perjuangan secara baik melalui jalur diplomasi kepada pemerintah cq kementian kehutanan agar situasi tetap kondusif. Dan pemerintah tetap menjalankan logikanya sendiri, tentunya tidak ada pilihan; Maka kami akan memilih metode PERANG untuk menuntut keadilan di negeri ini.
Selengkapnya...

Minggu, 05 Agustus 2012

Tony Wenas Dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)

Ya, dalam bagian Sumber Daya Alam, seperti di wakili oleh beberapa tulisan, menurut kami, pengambilan sumber daya rakyat di lakukan dengan berbagai pola. Ada yang menggunakan tipu daya, intimidasi maupun berbekal kebijakan negara.

Tony Wenas Preskom PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bicara hanya dari sisi kepentingan “Pengusaha”. Serikat Tani Riau menegaskan sikap: Jangan berbicara tentang KONFLIK lahan berkepanjangan hanya menyebabkan terhentinya pemenuhan produksi perusahaan, tetapi Tony Wenas seharusnya sadar bahwa Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang adalah Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia.

Terkait maraknya konflik lahan di daerah seperti yang terjadi di Pulau Padang. Harapan besar Tony Wenas agar hal seperti ini jangan terjadi lagi ditempat lain bagi kami adalah sebuah harapan tanpa dasar, jika persoalan monopoli modal (didukung kekuasaan sebagai kerabatnya) atas sumber daya alam masih terus terjadi di Negeri ini. Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP Di Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara”.

Andai saja surat bernomor 522.2/Pemhut/2621 tentang permintaan peninjauan ulang Keputusan Menteri Kehutanan nomor: SK.327/Mehut-II/2009 atas pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang di kirim Zulkifli Yusuf, Kepala Dinas Kehutanan Riau itu segera direspon oleh Menteri Kehutanan RI, tentunya di Pulau Padang tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan seperti ini.

Pada hal ada poin-poin penting di dalam surat itu yang musti segera mendapat tanggapan. Misalnya soal izin yang belum punya tata batas. Luas izin yang diberikan titik cocok dengan kenyataan di lapangan. Pada izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) yang diberikan kepada RAPP itu, luas di dalam izin 350.165 hektar, tapi kenyataan di lapangan justru 357.518,7 hektar. Jadi ada pembengkakan seluas 7.353,77 hektar. Lalu izin itu tumpang tindih pula dengan Kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411, 13 hektar. Di Pulau Padang dengan PT.RAPP pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat.

Kementerian Kehutanan saat ini menjelma menjadi gurita raksasa yang bebal. Watak eksploitasi hutan sengaja di ciptakan menjadi mesin-mesin pengumpul devisa Negara. Pembangunan berkelanjutan dan bahasa kerakyatan di manipulasi menjadi teks-teks kebijakan yang tak bisa di pakai. Kebijakan pemerintah tidak lain sekedar alat legitimasi penguasa atas apa yang mesti di kerjakan namun Bukan Jawaban Atas Masalah-Masalah Yang Di Hadapi Masyarakat/Rakyatnya.

Jika di beberapa media seperti diberitakan oleh HARIANTERBIT.COM Sabtu, 4 Agustus 2012, Tony Wenas mengatakan operasional perusahaanya di Pulau Padang tak jalan karena di haling-halangi oleh masyarakat yang (di duga) bukan masyarakat asli dan beliau berharap agar pemerintah tegas dalam mengatasi konflik ini karena ketakutanya akan menjadi preseden!! Merespon tudingan tersebut, Serikat Tani Riau menganjurkan Tony Wenas untuk menyadari bahwa sejarah tentunya tidak bisa di bungkam, bahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) dan Serikat Tani Riau (STR) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP guna penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut bahkan saat ini masyarakat Pulau Padang telah bergerak memasuki hutan untuk memasang Patok Tapal Batas sesuai Peta Administrasi Desa-desa yang ada di Pulau Padang dengan mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap patok. Hingga detik ini telah hampir Memasuki 4 (empat) tahun lamanya masyarakat pulau padang melakukan pengawasan, menyuarakan pandangan dan tuntutanya kepada pemerintah, di sampaikan secara lisan ataupun secara tertulis kepada Aparatur Pemerintah yang berkepentingan, hal tersebut telah disampaikan baik secara langsung maupun melalui media, namun pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis). Dan pemerintah juga selain “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman (Mengganggu Iklim Investasi) juga membangun opini buruk sehingga membuat kabur pesoalan dengan issue-issue yang sengaja di publikasi melalui media, seperti menganggap adanya kepentingan dan Campur Tangan Asing dan adanya Kepentingan Cukong Kayu Singapur, Malaysia di balik gerakan murni perjuangan masyarakat Pulau Padang yang menolak keberadaan PT.RAPP, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.

Masyarakat Pulau Padang memiliki harapan agar para birokrat (perencana dan pengambil keputusan) di bidang kehutanan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan KABINET INDONESIA BERSATU JILID II untuk kembali mengemban amanah konstitusional dengan melestarikan sumber daya hutan dan memenfaatkanya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan konsep bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemenfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sebab Jika selama ini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan menjadikan “Akademisi dan Peneliti Kehutanan”, yang sering kali dijadikan rujukan atau sumber pembenaran dari kebijakan kehutanan dan strategi pengelolaan hutan, yang selama ini lebih berkosentrasi terhadap isu teknis, fisik dan biologis. Keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya, bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil di capai-yang berarti fungsi dan menfaatnya dapat di sinambungkan –adalah contoh dari penerapan teori-teori buku ilmiah dari pengalaman luar yang tidak sesuai dengan realita sejarah masyarakat dan fakta lapangan Indonesia khususnys Pulau Padang. Pulau Padang dengan luas 1.109 km2—(menurut UU 27/2007 termasuk kriteria Pulau Kecil)—memiliki banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) pada ekosistem lahan gambut dalam yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Model/pola pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam berbasis masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menjamin keseimbangan ekosistem lahan gambut dalam, tidak banyak dijumpai di Indonesia.

Serikat Tani Riau dalam persoalan pulau padang masih mengharapkan adanya perwujudan demokrasi dalam praktek penyelenggaraan Negara, karena Kita paham bahwa Kekuasan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang di tandai dengan adanya Sentralisasi dan Personalisasi Kekuasaan telah berakhir pada bulan Mei 1998 seiring tumbangnya Presiden Soharto dari kursi kepresidenan. Karena itu pulalah menurut Serikat Tani Riau dalam gelombang reformasi yang ditandai dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru pada awal tahun 1998 tersebut juga merambah ke sector kehutanan. Tuntutan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih demokratis, berkeadilan, dan lestari, memaksa pemerintahan baru untuk merubah paradigma lama dari ‘basis negara’ (state-based) ke ‘basis rakyat’ (community based) dan dari ‘orientasi kayu’ (timber-oriented) ke ‘orientasi ekosistem’ (ecosystem-oriented).

Dalam kasus Pulau Padang, saat ini lembaga-lembaga penyelenggara negara di tingkat Pusat dan Daerah tidak lagi bisa bekarja secara adil dan proposional berdasarkan beberapa temuan fakta, data dan informasi yang berkenaan dengan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang yang berhasil dirangkum dari kajian aspek legal, dan didukung beberapa penelitian dan diskusi dengan LSM / masyarakat Pulau Padang. Bahkan sebaliknya penguasa Negara saat ini melalui Kementrian Kehutanan memaksakan kehendak dengan menjalankan logikanya sendiri dan terang-terangan mengingkari pakem peran negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berlanjut.

Seharusnya dengan berakhirnya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan tersebut, tentunya sangat memungkinkan Indonesia saat ini dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjalankan pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi social dan demokrasi ekonami sesuai dengan proporsinya. Dan karena itulah Serikat Tani Riau menegaskan pandangan serta sikap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya untuk tidak tinggal diam, SK 327/menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang saat ini menjadi salah satu permasalahan di dunia kehutanan Indonesia telah terbukti menyimpan banyak permasalahan. Banyak temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya, sehingga izin tersebut perlu ditinjau ulang.

Perlu di ketahui oleh seluruh pihak, merebaknya konflik tanah dan tambang akhir-akhir ini terjadi karena kedaulatan rakyat dalam mengolah kekayaan alam terampas. Praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha turut memperkeruh keadaan karena tak ada bagi hasil yang adil bagi rakyat di area perkebunan maupun tambang milik swasta atau pemerintah. Konflik tanah dan tambang terjadi akibat amanat dalam pasal 33 UUD 1945 tentang kekayaan alam dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat dikebiri oleh pemerintah.



Selengkapnya...

Tony Wenas Dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)

Ya, dalam bagian Sumber Daya Alam, seperti di wakili oleh beberapa tulisan, menurut kami, pengambilan sumber daya rakyat di lakukan dengan berbagai pola. Ada yang menggunakan tipu daya, intimidasi maupun berbekal kebijakan negara.

Tony Wenas Preskom PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bicara hanya dari sisi kepentingan “Pengusaha”. Serikat Tani Riau menegaskan sikap: Jangan berbicara tentang KONFLIK lahan berkepanjangan hanya menyebabkan terhentinya pemenuhan produksi perusahaan, tetapi Tony Wenas seharusnya sadar bahwa Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang adalah Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia.

Terkait maraknya konflik lahan di daerah seperti yang terjadi di Pulau Padang. Harapan besar Tony Wenas agar hal seperti ini jangan terjadi lagi ditempat lain bagi kami adalah sebuah harapan tanpa dasar, jika persoalan monopoli modal (didukung kekuasaan sebagai kerabatnya) atas sumber daya alam masih terus terjadi di Negeri ini. Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP Di Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara”.

Andai saja surat bernomor 522.2/Pemhut/2621 tentang permintaan peninjauan ulang Keputusan Menteri Kehutanan nomor: SK.327/Mehut-II/2009 atas pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang di kirim Zulkifli Yusuf, Kepala Dinas Kehutanan Riau itu segera direspon oleh Menteri Kehutanan RI, tentunya di Pulau Padang tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan seperti ini.

Pada hal ada poin-poin penting di dalam surat itu yang musti segera mendapat tanggapan. Misalnya soal izin yang belum punya tata batas. Luas izin yang diberikan titik cocok dengan kenyataan di lapangan. Pada izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) yang diberikan kepada RAPP itu, luas di dalam izin 350.165 hektar, tapi kenyataan di lapangan justru 357.518,7 hektar. Jadi ada pembengkakan seluas 7.353,77 hektar. Lalu izin itu tumpang tindih pula dengan Kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411, 13 hektar. Di Pulau Padang dengan PT.RAPP pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat.

Kementerian Kehutanan saat ini menjelma menjadi gurita raksasa yang bebal. Watak eksploitasi hutan sengaja di ciptakan menjadi mesin-mesin pengumpul devisa Negara. Pembangunan berkelanjutan dan bahasa kerakyatan di manipulasi menjadi teks-teks kebijakan yang tak bisa di pakai. Kebijakan pemerintah tidak lain sekedar alat legitimasi penguasa atas apa yang mesti di kerjakan namun Bukan Jawaban Atas Masalah-Masalah Yang Di Hadapi Masyarakat/Rakyatnya.

Jika di beberapa media seperti diberitakan oleh HARIANTERBIT.COM Sabtu, 4 Agustus 2012, Tony Wenas mengatakan operasional perusahaanya di Pulau Padang tak jalan karena di haling-halangi oleh masyarakat yang (di duga) bukan masyarakat asli dan beliau berharap agar pemerintah tegas dalam mengatasi konflik ini karena ketakutanya akan menjadi preseden!! Merespon tudingan tersebut, Serikat Tani Riau menganjurkan Tony Wenas untuk menyadari bahwa sejarah tentunya tidak bisa di bungkam, bahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) dan Serikat Tani Riau (STR) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP guna penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut bahkan saat ini masyarakat Pulau Padang telah bergerak memasuki hutan untuk memasang Patok Tapal Batas sesuai Peta Administrasi Desa-desa yang ada di Pulau Padang dengan mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap patok. Hingga detik ini telah hampir Memasuki 4 (empat) tahun lamanya masyarakat pulau padang melakukan pengawasan, menyuarakan pandangan dan tuntutanya kepada pemerintah, di sampaikan secara lisan ataupun secara tertulis kepada Aparatur Pemerintah yang berkepentingan, hal tersebut telah disampaikan baik secara langsung maupun melalui media, namun pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis). Dan pemerintah juga selain “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman (Mengganggu Iklim Investasi) juga membangun opini buruk sehingga membuat kabur pesoalan dengan issue-issue yang sengaja di publikasi melalui media, seperti menganggap adanya kepentingan dan Campur Tangan Asing dan adanya Kepentingan Cukong Kayu Singapur, Malaysia di balik gerakan murni perjuangan masyarakat Pulau Padang yang menolak keberadaan PT.RAPP, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.

Masyarakat Pulau Padang memiliki harapan agar para birokrat (perencana dan pengambil keputusan) di bidang kehutanan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan KABINET INDONESIA BERSATU JILID II untuk kembali mengemban amanah konstitusional dengan melestarikan sumber daya hutan dan memenfaatkanya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan konsep bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemenfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sebab Jika selama ini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan menjadikan “Akademisi dan Peneliti Kehutanan”, yang sering kali dijadikan rujukan atau sumber pembenaran dari kebijakan kehutanan dan strategi pengelolaan hutan, yang selama ini lebih berkosentrasi terhadap isu teknis, fisik dan biologis. Keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya, bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil di capai-yang berarti fungsi dan menfaatnya dapat di sinambungkan –adalah contoh dari penerapan teori-teori buku ilmiah dari pengalaman luar yang tidak sesuai dengan realita sejarah masyarakat dan fakta lapangan Indonesia khususnys Pulau Padang. Pulau Padang dengan luas 1.109 km2—(menurut UU 27/2007 termasuk kriteria Pulau Kecil)—memiliki banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) pada ekosistem lahan gambut dalam yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Model/pola pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam berbasis masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menjamin keseimbangan ekosistem lahan gambut dalam, tidak banyak dijumpai di Indonesia.

Serikat Tani Riau dalam persoalan pulau padang masih mengharapkan adanya perwujudan demokrasi dalam praktek penyelenggaraan Negara, karena Kita paham bahwa Kekuasan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang di tandai dengan adanya Sentralisasi dan Personalisasi Kekuasaan telah berakhir pada bulan Mei 1998 seiring tumbangnya Presiden Soharto dari kursi kepresidenan. Karena itu pulalah menurut Serikat Tani Riau dalam gelombang reformasi yang ditandai dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru pada awal tahun 1998 tersebut juga merambah ke sector kehutanan. Tuntutan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih demokratis, berkeadilan, dan lestari, memaksa pemerintahan baru untuk merubah paradigma lama dari ‘basis negara’ (state-based) ke ‘basis rakyat’ (community based) dan dari ‘orientasi kayu’ (timber-oriented) ke ‘orientasi ekosistem’ (ecosystem-oriented).

Dalam kasus Pulau Padang, saat ini lembaga-lembaga penyelenggara negara di tingkat Pusat dan Daerah tidak lagi bisa bekarja secara adil dan proposional berdasarkan beberapa temuan fakta, data dan informasi yang berkenaan dengan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang yang berhasil dirangkum dari kajian aspek legal, dan didukung beberapa penelitian dan diskusi dengan LSM / masyarakat Pulau Padang. Bahkan sebaliknya penguasa Negara saat ini melalui Kementrian Kehutanan memaksakan kehendak dengan menjalankan logikanya sendiri dan terang-terangan mengingkari pakem peran negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berlanjut.

Seharusnya dengan berakhirnya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan tersebut, tentunya sangat memungkinkan Indonesia saat ini dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjalankan pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi social dan demokrasi ekonami sesuai dengan proporsinya. Dan karena itulah Serikat Tani Riau menegaskan pandangan serta sikap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya untuk tidak tinggal diam, SK 327/menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang saat ini menjadi salah satu permasalahan di dunia kehutanan Indonesia telah terbukti menyimpan banyak permasalahan. Banyak temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya, sehingga izin tersebut perlu ditinjau ulang.

Perlu di ketahui oleh seluruh pihak, merebaknya konflik tanah dan tambang akhir-akhir ini terjadi karena kedaulatan rakyat dalam mengolah kekayaan alam terampas. Praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha turut memperkeruh keadaan karena tak ada bagi hasil yang adil bagi rakyat di area perkebunan maupun tambang milik swasta atau pemerintah. Konflik tanah dan tambang terjadi akibat amanat dalam pasal 33 UUD 1945 tentang kekayaan alam dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat dikebiri oleh pemerintah.




Selengkapnya...

Tony Wenas Dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)

Ya, dalam bagian Sumber Daya Alam, seperti di wakili oleh beberapa tulisan, menurut kami, pengambilan sumber daya rakyat di lakukan dengan berbagai pola. Ada yang menggunakan tipu daya, intimidasi maupun berbekal kebijakan negara.

Tony Wenas Preskom PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bicara hanya dari sisi kepentingan “Pengusaha”. Serikat Tani Riau menegaskan sikap: Jangan berbicara tentang KONFLIK lahan berkepanjangan hanya menyebabkan terhentinya pemenuhan produksi perusahaan, tetapi Tony Wenas seharusnya sadar bahwa Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang adalah Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia.

Terkait maraknya konflik lahan di daerah seperti yang terjadi di Pulau Padang. Harapan besar Tony Wenas agar hal seperti ini jangan terjadi lagi ditempat lain bagi kami adalah sebuah harapan tanpa dasar, jika persoalan monopoli modal (didukung kekuasaan sebagai kerabatnya) atas sumber daya alam masih terus terjadi di Negeri ini. Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP Di Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara”.

Andai saja surat bernomor 522.2/Pemhut/2621 tentang permintaan peninjauan ulang Keputusan Menteri Kehutanan nomor: SK.327/Mehut-II/2009 atas pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang di kirim Zulkifli Yusuf, Kepala Dinas Kehutanan Riau itu segera direspon oleh Menteri Kehutanan RI, tentunya di Pulau Padang tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan seperti ini.

Pada hal ada poin-poin penting di dalam surat itu yang musti segera mendapat tanggapan. Misalnya soal izin yang belum punya tata batas. Luas izin yang diberikan titik cocok dengan kenyataan di lapangan. Pada izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) yang diberikan kepada RAPP itu, luas di dalam izin 350.165 hektar, tapi kenyataan di lapangan justru 357.518,7 hektar. Jadi ada pembengkakan seluas 7.353,77 hektar. Lalu izin itu tumpang tindih pula dengan Kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411, 13 hektar. Di Pulau Padang dengan PT.RAPP pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat.

Kementerian Kehutanan saat ini menjelma menjadi gurita raksasa yang bebal. Watak eksploitasi hutan sengaja di ciptakan menjadi mesin-mesin pengumpul devisa Negara. Pembangunan berkelanjutan dan bahasa kerakyatan di manipulasi menjadi teks-teks kebijakan yang tak bisa di pakai. Kebijakan pemerintah tidak lain sekedar alat legitimasi penguasa atas apa yang mesti di kerjakan namun Bukan Jawaban Atas Masalah-Masalah Yang Di Hadapi Masyarakat/Rakyatnya.

Jika di beberapa media seperti diberitakan oleh HARIANTERBIT.COM Sabtu, 4 Agustus 2012, Tony Wenas mengatakan operasional perusahaanya di Pulau Padang tak jalan karena di haling-halangi oleh masyarakat yang (di duga) bukan masyarakat asli dan beliau berharap agar pemerintah tegas dalam mengatasi konflik ini karena ketakutanya akan menjadi preseden!! Merespon tudingan tersebut, Serikat Tani Riau menganjurkan Tony Wenas untuk menyadari bahwa sejarah tentunya tidak bisa di bungkam, bahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) dan Serikat Tani Riau (STR) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP guna penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut bahkan saat ini masyarakat Pulau Padang telah bergerak memasuki hutan untuk memasang Patok Tapal Batas sesuai Peta Administrasi Desa-desa yang ada di Pulau Padang dengan mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap patok. Hingga detik ini telah hampir Memasuki 4 (empat) tahun lamanya masyarakat pulau padang melakukan pengawasan, menyuarakan pandangan dan tuntutanya kepada pemerintah, di sampaikan secara lisan ataupun secara tertulis kepada Aparatur Pemerintah yang berkepentingan, hal tersebut telah disampaikan baik secara langsung maupun melalui media, namun pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis). Dan pemerintah juga selain “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman (Mengganggu Iklim Investasi) juga membangun opini buruk sehingga membuat kabur pesoalan dengan issue-issue yang sengaja di publikasi melalui media, seperti menganggap adanya kepentingan dan Campur Tangan Asing dan adanya Kepentingan Cukong Kayu Singapur, Malaysia di balik gerakan murni perjuangan masyarakat Pulau Padang yang menolak keberadaan PT.RAPP, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.

Masyarakat Pulau Padang memiliki harapan agar para birokrat (perencana dan pengambil keputusan) di bidang kehutanan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan KABINET INDONESIA BERSATU JILID II untuk kembali mengemban amanah konstitusional dengan melestarikan sumber daya hutan dan memenfaatkanya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan konsep bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemenfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sebab Jika selama ini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan menjadikan “Akademisi dan Peneliti Kehutanan”, yang sering kali dijadikan rujukan atau sumber pembenaran dari kebijakan kehutanan dan strategi pengelolaan hutan, yang selama ini lebih berkosentrasi terhadap isu teknis, fisik dan biologis. Keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya, bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil di capai-yang berarti fungsi dan menfaatnya dapat di sinambungkan –adalah contoh dari penerapan teori-teori buku ilmiah dari pengalaman luar yang tidak sesuai dengan realita sejarah masyarakat dan fakta lapangan Indonesia khususnys Pulau Padang. Pulau Padang dengan luas 1.109 km2—(menurut UU 27/2007 termasuk kriteria Pulau Kecil)—memiliki banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) pada ekosistem lahan gambut dalam yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Model/pola pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam berbasis masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menjamin keseimbangan ekosistem lahan gambut dalam, tidak banyak dijumpai di Indonesia.

Serikat Tani Riau dalam persoalan pulau padang masih mengharapkan adanya perwujudan demokrasi dalam praktek penyelenggaraan Negara, karena Kita paham bahwa Kekuasan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang di tandai dengan adanya Sentralisasi dan Personalisasi Kekuasaan telah berakhir pada bulan Mei 1998 seiring tumbangnya Presiden Soharto dari kursi kepresidenan. Karena itu pulalah menurut Serikat Tani Riau dalam gelombang reformasi yang ditandai dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru pada awal tahun 1998 tersebut juga merambah ke sector kehutanan. Tuntutan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih demokratis, berkeadilan, dan lestari, memaksa pemerintahan baru untuk merubah paradigma lama dari ‘basis negara’ (state-based) ke ‘basis rakyat’ (community based) dan dari ‘orientasi kayu’ (timber-oriented) ke ‘orientasi ekosistem’ (ecosystem-oriented).

Dalam kasus Pulau Padang, saat ini lembaga-lembaga penyelenggara negara di tingkat Pusat dan Daerah tidak lagi bisa bekarja secara adil dan proposional berdasarkan beberapa temuan fakta, data dan informasi yang berkenaan dengan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang yang berhasil dirangkum dari kajian aspek legal, dan didukung beberapa penelitian dan diskusi dengan LSM / masyarakat Pulau Padang. Bahkan sebaliknya penguasa Negara saat ini melalui Kementrian Kehutanan memaksakan kehendak dengan menjalankan logikanya sendiri dan terang-terangan mengingkari pakem peran negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berlanjut.

Seharusnya dengan berakhirnya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan tersebut, tentunya sangat memungkinkan Indonesia saat ini dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjalankan pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi social dan demokrasi ekonami sesuai dengan proporsinya. Dan karena itulah Serikat Tani Riau menegaskan pandangan serta sikap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya untuk tidak tinggal diam, SK 327/menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang saat ini menjadi salah satu permasalahan di dunia kehutanan Indonesia telah terbukti menyimpan banyak permasalahan. Banyak temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya, sehingga izin tersebut perlu ditinjau ulang.

Perlu di ketahui oleh seluruh pihak, merebaknya konflik tanah dan tambang akhir-akhir ini terjadi karena kedaulatan rakyat dalam mengolah kekayaan alam terampas. Praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha turut memperkeruh keadaan karena tak ada bagi hasil yang adil bagi rakyat di area perkebunan maupun tambang milik swasta atau pemerintah. Konflik tanah dan tambang terjadi akibat amanat dalam pasal 33 UUD 1945 tentang kekayaan alam dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat dikebiri oleh pemerintah.




Selengkapnya...

Jumat, 27 Juli 2012

SERIKAT TANI RIAU KECAM KEKERASAN BRIMOB DI DESA LIMBANG JAYA, OGAN ILIR SUMATERA SELATAN


"Serba Salah", kata inilah yang terlintas di benak kepala kami masyarakat Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti Riau ketika mendapat kabar bahwa ada saudara kami yang menjadi korban penembakan oleh Brimob di Desa Limbang Jaya Ogan Ilir. Orang mau MATI di Larang, Eh malah orang yang berjuang untuk HIDUP di matikan.



Dulu ketika kami berencana melakukan Aksi BAKAR DIRI, ( seakan peduli ) pihak Kepolisian (Mabespolri) melalui Kepala Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar pernah menegaskan kepada kami, bahwa mereka akan bersikap tegas terhadap semua pihak yang ingin melakukan aksi membakar diri dan memberikan masukan agar kami masyarakat yang ingin melakukan aksi bakar diri untuk segera menyadari kekhilafan langkah kami bahwa aksi yang akan kami lakukan tersebut merugikan diri sendiri dan tidak menuntaskan masalah. Pernyataan itu keluar sebagai respon terkait rencana aksi Bakar Diri yang akan kami lakukan jika pemerintah tidak segera menyelesaikan konflik lahan antara perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di kampung halaman kami. Dan kami akui bahwa himbauan Mabes Polri kepada kami 6 relawan asal Pulau Padang untuk tidak melakukan aksi bakar diri didepan pintu gerbang istana tidak sekedar seruan. Sebab sejak kami menginjakkan kaki dibandara Jakarta, hingga hampir seminggu lebih lamanya kami mendapat pengawasan secara ketat dari pihak aparat.



Harus di akui, sejarah Sengketa Agraria di Negeri ini tidak bisa di lepaskan dengan potret buram penyelesaian konflik dengan cara-cara yang berujung pada pertumpahan darah, sangat sering sekali ada saran dari berbagai pihak yang menekankan kalau Polisi Jangan Melakukakan Kekerasan Dalam Penuntasan Konflik Agraria, atau Polisi Harus Netral Amankan Konflik Agraria, dan bahkan menurut Kontras: Polri Masih Urutan Tinggi Pelanggaran HAM, mungkin karena itu pulalah menyebabkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara guna mendorong jajaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan lembaga terkait untuk mencari penyelesaiannya yang adil agar tidak meledak sebagai bom waktu di masa mendatang.



"Jangan dipetieskan, jangan dibiarkan, jangan sampai jadi bom waktu. Saya intruksikan buat tim terpadu, selesaikan dengan baik, tepat dan tertib,"

kata Presiden SBY di Kantor Kejaksaan Agung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta.(detikNews)



Negeri ini memang sudah sangat carut marut!! terbukti, baru beberapa hari yang lalu tepatnya pada Rabu 25 Juli 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan statement sebagai bentuk respon dari konflik Agraria dengan tema besar, Cegah 'Bom Waktu'. Kenyataanya hanya berselang sehari, 27 Juli 2012 aksi Kekerasan terhadap Kaum Tani kembali terjadi, berakar dari persoalan dari sengketa lahan di 22 desa antara petani dan dengan perusahaan perkebunan tebu PTPN VII Cinta Manis yang mengambil alih lahan masyarakat, kini Brimob kembali melakukan Aksi Kekerasan terhadap Kaum Tani di Desa Limbang Jaya Ogan Ilir Sumatera Selatan hingga menewaskan seorang bocah yang jelas tidak berdosa, tindakan ini benar-benar diluar batas kemanusian.



Kami Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Riau menyatakan:



1. Mengecam keras aksi penembakan oleh pasukan Brimob Polda Sumatera Selatan terhadap warga desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Tindakan tersebut sangat tidak berperikemanusiaan, pendekatan kepolisian terhadap protes petani tersebut adalah cara-cara kolonial dijaman penjajahan yang memakan banyak korban jiwa di kalangan kaum tani.



2. Mengingat pengalaman kasus-kasus serupa seperti di Bima, Mesuji, dan banyak tempat lain di Indonesia, polisi yang memihak pengusaha. Polisi mestinya netral (tidak perlu turut campur) dalam konflik agraria.



3. Terkait konflik agraria di di Pulau Padang Kabupaten Kepualauan Meranti, Serikat Tani Riau menuntut Presiden SUsilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kapolda Riau untuk segera menarik secara keseluruhan Brimob yang disiagakan di Pulau Padang Kabupaten kepulauan Meranti untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa, karena persoalan Pulau Padang tidak bisa diselesaikan dengan senjata.



4. Kemunculan berbagai konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia disebabkan oleh karena terabaikannya pelaksanaan UU pokok agraria (UUPA) tahun 1960 dan pasal 33 UUD 1945 dan untuk itu Presiden SBY harus bersikap tegas jika tak ingin jatuh korban lagi dari kalangan rakyat kecil yang akhirnya akan melahirkan gelombang lebih besar perlawanan terhadap penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat.



5. Serikat Tani Riau merekomendasikan agar pemerintah dan DPR segera merealisasikan pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agrari yang beranggotakan organisasi rakyat, akademisi atau ahli hukum, dan pihak pemerintah, sebagai solusi penyelesaian konflik agraria melalui jalur damai di negeri ini



Selengkapnya...

TARIK BRIMOB DARI PULAU PADANG, SERIKAT TANI RIAU KECAM KEKERASAN BRIMOB DI DESA LIMBANG JAYA, OGAN ILIR SUMATERA SELATAN


"Serba Salah", kata inilah yang terlintas di benak kepala kami masyarakat Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti Riau ketika mendapat kabar bahwa ada saudara kami yang menjadi korban penembakan oleh Brimob di Desa Limbang Jaya Ogan Ilir. Orang mau MATI di Larang, Eh malah orang yang berjuang untuk HIDUP di matikan.



Dulu ketika kami berencana melakukan Aksi BAKAR DIRI, ( seakan peduli ) pihak Kepolisian (Mabespolri) melalui Kepala Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri, Kombes Pol Boy Rafli Amar pernah menegaskan kepada kami, bahwa mereka akan bersikap tegas terhadap semua pihak yang ingin melakukan aksi membakar diri dan memberikan masukan agar kami masyarakat yang ingin melakukan aksi bakar diri untuk segera menyadari kekhilafan langkah kami bahwa aksi yang akan kami lakukan tersebut merugikan diri sendiri dan tidak menuntaskan masalah. Pernyataan itu keluar sebagai respon terkait rencana aksi Bakar Diri yang akan kami lakukan jika pemerintah tidak segera menyelesaikan konflik lahan antara perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di kampung halaman kami. Dan kami akui bahwa himbauan Mabes Polri kepada kami 6 relawan asal Pulau Padang untuk tidak melakukan aksi bakar diri didepan pintu gerbang istana tidak sekedar seruan. Sebab sejak kami menginjakkan kaki dibandara Jakarta, hingga hampir seminggu lebih lamanya kami mendapat pengawasan secara ketat dari pihak aparat.



Harus di akui, sejarah Sengketa Agraria di Negeri ini tidak bisa di lepaskan dengan potret buram penyelesaian konflik dengan cara-cara yang berujung pada pertumpahan darah, sangat sering sekali ada saran dari berbagai pihak yang menekankan kalau Polisi Jangan Melakukakan Kekerasan Dalam Penuntasan Konflik Agraria, atau Polisi Harus Netral Amankan Konflik Agraria, dan bahkan menurut Kontras: Polri Masih Urutan Tinggi Pelanggaran HAM, mungkin karena itu pulalah menyebabkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono angkat bicara guna mendorong jajaran Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan lembaga terkait untuk mencari penyelesaiannya yang adil agar tidak meledak sebagai bom waktu di masa mendatang.



"Jangan dipetieskan, jangan dibiarkan, jangan sampai jadi bom waktu. Saya intruksikan buat tim terpadu, selesaikan dengan baik, tepat dan tertib,"

kata Presiden SBY di Kantor Kejaksaan Agung, Jl Sultan Hasanuddin, Jakarta.(detikNews)



Negeri ini memang sudah sangat carut marut!! terbukti, baru beberapa hari yang lalu tepatnya pada Rabu 25 Juli 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan statement sebagai bentuk respon dari konflik Agraria dengan tema besar, Cegah 'Bom Waktu'. Kenyataanya hanya berselang sehari, 27 Juli 2012 aksi Kekerasan terhadap Kaum Tani kembali terjadi, berakar dari persoalan dari sengketa lahan di 22 desa antara petani dan dengan perusahaan perkebunan tebu PTPN VII Cinta Manis yang mengambil alih lahan masyarakat, kini Brimob kembali melakukan Aksi Kekerasan terhadap Kaum Tani di Desa Limbang Jaya Ogan Ilir Sumatera Selatan hingga menewaskan seorang bocah yang jelas tidak berdosa, tindakan ini benar-benar diluar batas kemanusian.



Kami Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Riau menyatakan:



1. Mengecam keras aksi penembakan oleh pasukan Brimob Polda Sumatera Selatan terhadap warga desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Tindakan tersebut sangat tidak berperikemanusiaan, pendekatan kepolisian terhadap protes petani tersebut adalah cara-cara kolonial dijaman penjajahan yang memakan banyak korban jiwa di kalangan kaum tani.



2. Mengingat pengalaman kasus-kasus serupa seperti di Bima, Mesuji, dan banyak tempat lain di Indonesia, polisi yang memihak pengusaha. Polisi mestinya netral (tidak perlu turut campur) dalam konflik agraria.



3. Terkait konflik agraria di di Pulau Padang Kabupaten Kepualauan Meranti, Serikat Tani Riau menuntut Presiden SUsilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Kapolda Riau untuk segera menarik secara keseluruhan Brimob yang disiagakan di Pulau Padang Kabupaten kepulauan Meranti untuk mengantisipasi terjadinya kasus serupa, karena persoalan Pulau Padang tidak bisa diselesaikan dengan senjata.



4. Kemunculan berbagai konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia disebabkan oleh karena terabaikannya pelaksanaan UU pokok agraria (UUPA) tahun 1960 dan pasal 33 UUD 1945 dan untuk itu Presiden SBY harus bersikap tegas jika tak ingin jatuh korban lagi dari kalangan rakyat kecil yang akhirnya akan melahirkan gelombang lebih besar perlawanan terhadap penguasa yang tidak berpihak kepada rakyat.



5. Serikat Tani Riau merekomendasikan agar pemerintah dan DPR segera merealisasikan pembentukan Panitia Nasional Penyelesaian Konflik Agrari yang beranggotakan organisasi rakyat, akademisi atau ahli hukum, dan pihak pemerintah, sebagai solusi penyelesaian konflik agraria melalui jalur damai di negeri ini









Selengkapnya...

Minggu, 15 Juli 2012

Relawan AKSI BAKAR DIRI:Revisi seluas 41.205 Ha

Revisi Dengan Mengeluarkan Seluruh Hamparan Blok PT.RAPP Di Pulau Padang Seluas 4i.205 Ha Adalah Jawaban Yang Kami Butuhkan Sesuai Keskatan 5 Januari 2012

Sangat jelas pulau padang dengan Luas 101000 (Seratus sepuluh ribu) Ha di Kabupaten Kepulauan Meranti Propinsi Riau, Indonesia. Berdasarkan Rekapitulasi Data Kependudukan Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti pada tanggal 03 April 2011, tercatat jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Padang adalah sebanyak 35224 (Tiga puluh lima ribu dua ratus dua puluh empat ) Jiwa yang hidup di pulau tanah gambut kedalaman 8 hingga 12 Meter sehingga Penerbitan SK 327 Menhut Tahun 2009 Tanggal 12 Juni yang telah di Tuhankan oleh APRIL/RAPP yang saat ini melakukan pembabatan Hutan Alam Gambut Dalam di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti untuk dieksploitasi Kayu Alamnya bertentangan dengan Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung, dimana ditegaskan gambut kedalaman lebih 3 meter harus dijadikan Kawasan Lindung sehingga perizinan yang berada pada kawasan gambut tersebut selayaknya tidak dapat diberikan izinnya. Dan tentunya penerbitan SK 327 Menhut Tahun 2009 tanggal 12 Juni bertentangan dengan Pasall 33 ayat 3 Undang undang dasar 1945. oleh karena itulah SK 327 MENHUT Tahun 2009 tanggal 12 juni yang saat ini menjadi Landasan Kekuatan Hukum Pemilik modal besar tersebut untuk melakukan Operasionalnya di tentang Keras oleh Rakyat di karenakan Masyarakat Peka dan Tanggap terhadap Rasiko yang akan di terima di beberapa waktu kedepan dan Sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati merupakan unsur lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa indonesia. Kami masyarakat Pulau Padang memahami Pentingnya Sumber Daya Alam secara eksplisit di sebutkan dalam pazsal 33 ayat 3 Undang-undang dasar 1945, bahwa:

"bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"

Pasal ini mengamanatkan bahwa pemenfaatan Sumber daya alam harus di tujukan untuk kepentingan rakyat banyak.

Secara kepemilikan tanah di Indonesia, Menurut kami, peruntukan lahan bagi perkebunan skala besar jelas-jelas menumbuhkan penindasan struktural serta menjauhkan kaum tani dari kesejahteraan.

Sedangkan bagaimana Sumber daya alam itu seharusnya di kelola termaktub dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1973, telah di amanatkan betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya alam tersebut. Butir 10 menyatakan bahwa:

"dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumer alam indonesia harus di gunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus di usahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan pertimbangan kebutuhan generasi yang akan datang".

Baru-baru ini banyak media yang memberitakan mengenai permasalahan terkait protes masyarakat Pulau Padang yang menuntut SK Menteri Kehutanan Nomor 327/2009 direvisi mulai menemui titik terang. Hal itu karena, di saat konferensi CEO Media, Rapat Kerja Nasional dan Serikat Pekerja Suratkabar (SPS) Awards 2012, Sabtu (14/7/12)Pekanbaru, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan, SK itu akan segera direvisi dan lahan rakyat serta wilayah desa yang masuk dalam areal konsesi akan dikeluarkan.

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan menjelaskan, desa yang masuk ke dalam wilayah konsesi sesuai SK 327/2009 akan dikeluarkan begitu juga lahan milik rakyat dan masyarakat. "Kalau desa kita keluarkan. Kalau punya rakyat juga akan dikeluarkan," ujarnya."Tidak ada masalah lagi di Pulau Padang. Tidak ada aksi bakar diri. SK tersebut sedang direvisi. Sebentar lagi kelar," kata Zulkifli. Pihaknya akan mengeluarkan tanah-tanah milik desa dan masyarakat di Pulau Padang dari areal konsesi perusahaan.

Nantinya akan diatur tanah milik desa dan tanah milik masyarakat yang akan dikeluarkan dari area konsesi perusahaan termasuk juga dipastikannya areal yang akan dikelola perusahaan untuk Hutan Tanaman Industri (HTI) yang diatur dalam SK 327/2009, jelas Zulkifli.

Pihaknya, lanjut Menhut telah membentuk tim untuk mengeluarkan lahan perkebunan milik desa dan masyarakat di Pulau Padang dari areal konsesi perusahaan sehingga tidak ada alasan untuk melakukan aksi bakar diri. Nantinya akan jelas batas lahan masyarakat dan batas lahan untuk perusahaan.

Marespon pernyataan Menhut Zulkfili Hasan tersebut, kami 6 Relawan Aksi BAKAR DIRI menyatakan bahwa pendataan yang di lakukan untuk merevisi SK 327/2009 itu adalah merupakan tindakan yang percuma dan sia-sia nantinya meskipun Menteri Kehutanan Zulkfili Hasan mengatakan "Telah ada keterlibatan aktif masyarakat dalam proses tata batas partisipatif" jika PT.RAPP tetap beroperasi di Pulau Padang.

Revisi Dengan Mengeluarkan Seluruh Hamparan Blok PT.RAPP Di Pulau Padang Seluas 4i.205 Ha Dari 350.000 Luas Area Konsesi Milik PT.RAPP di 5 Kabupaten Dari SK Menhut Nomor 327 Tahun 2009
















Selengkapnya...