Sabtu, 26 Februari 2011

Pemerintahan Baru dan Nasib Petani

Oleh Usep Setiawan

Tulisan Saudara Idham Samudra Bey (Kompas, 3 Agustus 2001) teramat sayang untuk dilewatkan. Absennya kebijakan pertanian yang secara fundamental menjawab rasa keadilan bagi mayoritas anak bangsa yang bermatapencaharian sebagai petani menjadi sorotan Saudara Idham dalam artikel berjudul Para Menteri Pertanian dan Penderitaan Petani. Tiga Menteri Pertanian (bahkan sebenarnya beberapa yang sebelumnya) di masa lalu telahmengambil garis kebijakan pertanian yang dikenal sebagai agrobisnis atau bisnis berskala besar dalam bidang pertanian. Sebagai sebuah strategi pembangunan, agrobisnis memang mewarisi watak efektivitas dan efisiensi dari berbagai sendi usaha tani –seperti permodalan, tenaga kerja, sarana produksi, dsb.




Efektivitas dan efisiensi yang mensyaratkan adanya sikap mental untuk sedia bersaing bebas dalam bisnis di kalangan petani menjadi ciri pokok kebijakan pertanian di masa lalu. Buah dari strategi pembangunan pertanian semacam ini sudah banyak dikatakan para ahli sebagai menghasilkan kesenjangan sosial, ketergantungan dan marginalisasi bahkan pemiskinan secara struktural bagi petani kecil pada umumnya.

Lantas, solusi apa yang bisa dikedepankan untuk mengeliminir buah-buah pahit pembangunan pertanian semacam itu ? Dengan singkat, Saudara Idham S. Bey memberi alternatif baru yang diyakini lebih relevan yakni agrarian reform dan alternative collective farming. Tawaran ini rasanya perlu untuk dikembangkan dalam wacana publik, dan tulisan ini dimaksudkan untuk meneruskan lontaran pemikiran Saudara Idham agar lebih menemukan konteksnya di lapangan.

Situasi politik Indonesia dewasa ini tengah berada dalam masa transisi dari suatu keadaan lama menuju keadaan baru. Dalam prakteknya, masa transisi ini diwarnai oleh banyak ironi yang tidak selamanya mengutungkan agenda demokratisasi kerakyatan, seperti di bidang pertanian. Bahkan, belakangan ini situasi politik semakin tidak menentu dan menjurus pada konflik kepentingan elitis partisan yang terus tarik menarik satu sama lain. Kecenderungan ini menjadi penyebab bagi terbengkalainya agenda-agenda kerakyatan seperti perihal peningkatan kualitas hidup kaum tani kita.

Dalam situasi semacam itu, arah kebijakan dan praktek politik negara atas dunia pertanian menjadi kabur, sama-samar dan akhirnya tak jelas sama sekali. Padahal sudah jadi rahasia umum, bahwa di lapangan terdapat tiga buah persoalan besar yang butuh perhatian seksama, yakni (i) fakta banyaknya sengketa (konflik) atas tanah pertanian yang terus menumpuk tanpa penyelesaian; (ii) fakta ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah pertanian akibat monopoli oleh pihak-pihak yang berekonomi kuat, dan (iii) fakta ketidakadilan dalam pengelolaan distribusi produk-produk pertanian yang eksploitatif demi mengejar pertumbuhan ekonomis yang menguntungkan pihak-pihak tertentu semata.

Penyebab utama dari masalah-masalah ini adalah tidak adanya strategi kebijakan pertanian (agraria) yang berorientasi pada kepentingan rakyat banyak dan kehidupan rakyat setempat. Kebijakan-kebijakan yang ada ditenggarai lebih mementingkan investasi skala besar ketimbang pengembangan ekonomi rakyat. Ditambah lagi dengan sektoralisme kebijakan yang menyebabkan tumpang-tindih dan semrawutnya kewenangan antar-instansi pemerintah. Dengan sektoralisme ini pula lomba adu cepat masuknya modal besar untuk mengkomoditisasi serta mengekploitasi tanah pertanian yang sebelumnya dikuasai petani menjadi lebih terfasilitasi.

Di sisi lain, perubahan-perubahan dan tekanan-tekanan global serta penataan-ulang pola pemerintahan yang baru (desentralisasi atau otonomi daerah) serta tekanan-tekanan untuk memberi penghargaan pada hak-hak masyarakat adat dapat dipastikan menuntut ruang nyata dalam perubahan-perubahan kebijakan di bidang pertanian ini.
***

Lahirnya pemerintahan baru paska Sidang Istimewa MPR 2001 memberi peluang bagi dimunculkannya alternatif baru dalam strategi pembangunan pertanian kita. Tentu asumsi ini dinilai relevan jika kita (i) Mengesampingkan kontroversi dalam menilai konstelasi politik nasional, termasuk sah tidaknya proses penyelenggaraan dan hasil-hasil SI MPR tersebut, (ii) Memberi kepercayaan dan kesempatan kepada pemerintahan baru yang dikomandani Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz untuk bekerja mengurus hajat hidup rakyat semesta, (iii) Secara sistematis mengawasi dan mengontrol kinerja pemerintahan baru, khususnya dalam merumuskan dan menerapkan kebijakannya di bidang pertanian.

Agrarian reform seyogyanya dijadikan fondasi dari strategi pembangunan pertanian di masa depan. Dengan tersediannya lahan pertanian yang cukup bagi petani kecil maka produktivitas yang menstimulasi peningkatan pendapatan petani kita menjadi lebih mungkin. Agrarian reform merupakan program serempak dan memiliki umur tertentu ini memberi kemungkinan lebih besar bagi kaum tani kecil (buruh tani, penggarap) untuk menjalankan usaha taninya secara lebih aman. Faktor penguasaan tanah menjadi hal fundamen bagi usaha tani yang akan dikembangkan selanjutnya.

Layaknya sebuah perubahan sosial yang mendasar, reforma agraria akan berhasil jika digalang dalam bentuk gerakan. Sebagai sebuah gerakan, reforma agraria membutuhkan komitmen politik dari para penyelenggara negara di pusat maupun daerah, di parlemen maupun eksekutif. Idealnya negara, melalui isntitusi tertingginya MPR, membuat ketetapan khusus menyangkut arah dan substansi kebijakan negara dalam soal agraria.

Tuntutan akan perubahan sekaligus pembentukan kebijakan yang terkait dengan hal-hal di atas sudah sering dan sejak lama dikumandangkan. Desakan bagi penyelesaian sengketa tanah dan SDA lainnya telah menjadi koor yang bergema dari setiap basis komunitas yang sumber penghidupannya telah dirampas. Begitu pula upaya membentuk kebijakan yang memungkinkan dijalankannya penataan kembali struktur tanah dan SDA lainnya agar lebih kerkeadilan sudah dicoba oleh sejumlah kalangan di luar pemerintahan dalam berbagai bentuk tindakan. Demikian halnya segenap daya upaya untuk menyelamatkan tanah dan SDA dari salah urus dalam pengelolaannya telah menjadi kecenderungan penting dalam advokasi sejumlah organisasi non-pemerintah.

Pendek kata, upaya merumuskan ulang arah kebijakan nasional atas dunia pertanian dinilai telah menjadi salah satu kebutuhan pokok yang menjadi pra-syarat bagi upaya penyelamatan dan meningkatkan kualitas kehidupan kalangan rakyat –termasuk korban-korban sengketa, yang menggantungkan hidupnya dari hasil-hasil pengelolaan tanah-tanah pertanian.

Kebijakan pertnian di masa depan mestilah mengandung prinsip; (i) Berorientasi kerakyatan yang mengutamakan kepentingan hajat hidup masyarakat banyak ketimbang kepentingan modal besar; (ii) Mengedepankan keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah pertanian; (iii) Bersifat integratif antar sektor dengan menghentikan sektoralisme dalam bentuk kebijakan yang terpadu; (v) Memperhatikan keberlanjutan antar-generasi, dan (vi) Memperhitungkan aspek kelestarian dalam pengelolaannya.

Di samping itu, berdasarkan pengalaman yang ada dan berkembang selama ini, maka paling tidak diperlukan 3 (tiga) blok besar kebijakan yakni ; (1) Kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi pada masa lalu secara tuntas; (2) Kebijakan penataan-ulang struktur penguasaan, pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan SDA lainnya agar tercipta suatu kontrak sosial baru yang lebih berkeadilan; (3) Kebijakan yang mengatur soal pengelolaan tanah dan SDA lainnya untuk masa mendatang yang berdasar pada dua poin kebijakan di atas.

Perjuangan mewujudkan agenda-agenda di atas sudah pasti perlu melibatkan seluas mungkin pihak yang peduli dan berkepentingan terhadap perlunya kebijakan pertanian yang memungkinkan Indonesia bangkit dari krisis multi-dimensi yang hingga saat ini masih mengepung segela penjuru hajat hidup rakyat banyak untuk kemudian secara sadar membangun sebuah tatanan baru yang lebih adil dan demokratis.
***

Model pertanian kolektif yang lebih berwatak sosial menjadi alternatif untuk dikembangkan setelah keadilan dalam penguasaan tanah tercipta. Kolektivisasi usaha tani dalam bentuk koperasi produksi pertanian yang mengutamakan aspek keadilan dalam usaha tani layak menjadi alternatif dari model lama yang mengejar produktivitas semabri mengabaikan pemerataan hasil-hasilnya.

Paling tidak, beberapa prasyarat berikut ini dibutuhkan agar model pertanian kolektif bisa berjalan dengan relaitif mulus, yakni; (i) Adanya pembangunan organisasi tani lokal yang memiliki berbasis massa, (ii) Adanya kesadaran kolektif petani untuk bekerjasama dalam mengembangkan model pertanian dengan prinsip maju bersama ini, (iii) Adanya upaya penggalian modal internal yang dikumpulkan dari kantong-kantong keluarga petani di tingkat lokal, (iv) Adanya komitmen yang nyata dari pemerintah dalam mendukung pengembangan pertanian melalaui regulasi yang menungkinkan petani mendapat subsidi dan modal usaha yang layak, sarana produksi yang murah dan ramah lingkungan, serta jaminan keamanan harga-harga pasar dari produksi para petani.

Pertanyaannya, apakah pemerintahan yang baru punya niat tulus untuk secara sungguh berpihak kepada yang lemah atau justru sebaliknya ? Waktu bagi pemerintah untuk menunjukkan komitmennya tidaklah banyak, mari kita lihat dalam 100 hari ke depan. Jika tanda-tanda ke arah itu tidak ada, niscaya legitimasi sosial pemerintahan baru sangat pantas disobek.
-----------------
Bandung, 4 Agustus 2001
Penulis adalah Ketua YP2AS, Bandung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar