Jumat, 25 Februari 2011

Perjuangan Petani Kepulauan Meranti Melawan PT.RAPP

Kamis, 3 Februari 2011 | 9:15 WIB

Kabar Rakyat
Oleh : Antoni Fitrah
aksi STR

Untuk kesekian kalinya dalam tahun ini, para petani di Kepulauan Meranti, Riau, memperlihatkan perjuangan yang gagah-berani. Meskipun diterpa panas dan hujan, berhadapan dengan teror dan penghalang-halangan, ribuan petani dari berbagai desa tetap bergerak menuju ke medan juang. Dimulai dini hari, Senin (31/2), sekitar pukul 00.00 WIB, sedikitnya 2500 petani dari Pulau Padang sudah berkumpul di Mesjid. Massa, yang disertai ibu-ibu dan anak-anak, mulai memanjatkan zikir dan doa.

Usai menjalankan sholat subuh, ribuan petani ini mulai bergerak menuju pelabuhan desa. Setelah menunggu air pasang beberapa saat, massa akhirnya bergerak menuju ke selat panjang dengan menumpangi 14 pompong (sejenis kapal kayu).

“Sebenarnya ada 17 kapal yang sudah siap berangkat. Tapi, karena ada intimidasi dan teror, maka tiga kapal tidak jadi berangkat,” ujar seorang aktivis Serikat Tani Riau (STR), Sutarno.

Perjuangan petani di sepanjang perjalanan tidaklah mudah. Para petani di tengah jalan bukan saja diguyur hujan lebat, tetapi juga diterpa oleh angin yang bertiup sangat kencang. Akibatnya, beberapa kapal pompong sempat diterjang ombak.

Sudah diterjang badai di tengah laut, berhembus pula isu bahwa pendaratan para petani akan dihadang oleh pihak-pihak tertentu. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka tempat pendaratan akhirnya dipindah ke Pelabuhan Dorak. “itu berarti perjalanan kami bertambah dua jam,” ujar Sutarno.

Akhirnya, setelah melalui perjuangan yang sangat berat di perjalanan, ribuan petani asal pulau padang ini bisa mendarat di Pelabuhan Dorak. Pimpinan masing-masing regu segera mengumpulkan anggotanya dan melakukan pengecekan.

Setelah menyusun barisan dan mengibarkan panji-panji perjuangan, massa kemudian mulai bergerak menuju kantor Bupati Kepulauan Meranti. “Kawan-kawan, ini adalah perjuangan mulia. Kita akan mempertahankan setiap jengkal tanah kita dari perusahaan perampas tanah rakyat,” ujar M. Riduan, Ketua STR Kabupaten Kepulauan Meranti, saat memimpin massa.

Meski tidak pernah diinstrusikan, tetapi sebagian besar massa kaum tani ini mengenakan kaos merah. “Ini untuk menunjukkan semangat juang dan perlawanan kami,” kata seorang massa petani.

Sesampainya di kantor Bupati, massa berkumpul di depan pintu gerbang. Mereka tidak masuk ke dalam kantor Bupati, karena pintu gerbang sudah ditutup rapat oleh ratusan aparat kepolisian dan Satpol PP.

Massa kaum tani juga dibuat kecewa oleh sikap Bupati Kepulauan Meranti, Drs Irwan Nasir M.Si, yang meninggalkan tempat saat ribuan demonstran datang untuk mengadukan persoalannya. “Bupati baru saja pergi dengan menumpang mobil pribadi ke pelabuhan Tanjung Harapan. Katanya, dia menuju ke Pulau Batam,” ujar seorang pegawai Kantor Bupati yang tak mau disebutkan namanya.

Dalam aksinya, ribuan massa kaum tani ini mendesak agar Bupati dan pihak DPRD tetap berjuang keras untuk mencabut SK Menhut nomor 327 tahun 2009 tentang perizinan HTI di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.

“Jika SK Menhut itu tidak juga dicabut, maka petani dan masyarakat di kepulauan Meranti akan terancam kehilangan tanah, juga sumber-sumber penghidupan,” ujar M. Riduan saat berorasi.

Setelah menggelar aksinya, massa mulai membangun tenda-tenda untuk persiapan menginap di kantor Bupati. Massa membangun sebagian tendanya dan menginap di Gedung Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR), yang berada disamping kantor Bupati.

Kehadiran Ketua Umum PRD

Pada hari kedua, yaitu Rabu (2/2), perjuangan para petani kian bertambah semangat dengan kehadiran Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD), Agus Jabo Priyono, di tengah-tengah massa aksi.

PRD merupakan satu-satunya partai yang siap dan konsisten berjuang bersama di tengah-tengah massa petani. Kader-kader PRD tidak henti-hentinya menunjukkan bahwa perjuangan petani masih memiliki hari depan.

Saat menyampaikan orasinya di depan ribuan massa kaum tani, Ketua Umum PRD menyatakan dukungan partainya kepada perjuangan kaum tani dan memerintahkan agar kader PRD tidak sedikitpun mundur dari perjuangan ini.

“Kaum tani adalah soko guru dalam perubahan di Indonesia. Meskipun neoliberalisme terus mengganas, tetapi kaum tani masih merupakan mayoritas. Pemerintah harusnya mendengarkan tuntutan kaum tani,” ujar Agus Jabo.

Agus Jabo juga menekankan bahwa musuh pokok kaum tani Indonesia adalah neoliberalisme, sebuah tatanan yang sangat menyerupai kolonialisme di masa lampau.

“Jika dulu penjajah melalui perusahaan perkebunan merampas tanah milik penduduk, maka sekarang pun masih terjadi, yakni PT. RAPP hendak merampas tanah milik rakyat kepulauan meranti,” kata Agus Jabo yang langsung mendapat tepuk-tangan gemuruh dari massa kaum tani.

Petisi menolak HTI

Dalam aksi ini, Serikat Tani Riau (STR), yang juga mendapat dukungan Partai Rakyat Demokratik (PRD), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), dan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), menyerahkan sebuah petisi kepada Asisten Bupati.

Petisi tersebut adalah Petisi Rakyat Kepulauan Meranti menolak Hutan Tanaman Industri (HTI), yang ditujukan kepada Menteri Kehutanan di Jakarta. “PRD akan mengawal petisi ini hingga ke tangan Menhut,” kata Agus Jabo Priyono.

Petisi tersebut, kata M. Riduan dari STR, merupakan pernyataan dan ekspresi umum rakyat kepulauan meranti yang menolak keberadaan HTI, dan terutama sekali, menentang kehadiran PT. RAPP di daerah tersebut.

HTI mengancam nasib ratusan ribu rakyat

Rencana operasional PT.RAPP di Pulau Padang, bagi sebagian besar rakyat di pulau tersebut, merupakan “malapetaka” atas kehidupan mereka.

Saleh, seorang petani dari Desa Lukit, mengaku bahwa keberadaan PT.RAPP telah membuat ketakutan besar bagi masyarakat. Penyebanya, PT. RAPP kemudian mulai mengklaim banyak tanah milik masyarakat.

Selain itu, menurut pak Saleh yang bekerja sebagai penoreh getah karet ini, kehadiran PT.RAPP akan mengganggu masyarakat yang sangat bergantung kepada sagu, kayu bakar, dan tanaman karet.

“Kalau hari ini kami masih bisa membawa sagu, besok lusa sagu tak akan ada lagi di Pulau Padang. Semua akan diganti dengan kayu akasia,” ujarnya.

Disamping itu, karena PT. RAPP akan mengkonversi dan mengekploitasi lahan gambut, maka dikhawatirkan akan melepaskan begitu banyak emisi karbon (CO2) dan berkontribusi pada pemanasan lingkungan global.

Jika pemerintah pusat, termasuk SBY, tetap membiarkan PT.RAPP beroperasi, maka itu sama saja menghianati komitmen pemerintah Indonesia dalam persoalan pengurangan emisi karbon seperti yang sudah disepakati di Kopenhagen.

“Kemampuan gambut menyerap karbon 30 kali lebih banyak dibandingkan dengan hutan tropis yang tumbuh di atasnya. Namun kemampuan menyimpan karbon dalam jangka yang panjang akan tergantung pada kesehatan hutan alam yang menaunginya. Penyelamatan lingkungan dan nol emisi harus dimulai dari hutan gambut di Riau,” kata Sutarno dari STR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar