Minggu, 05 Agustus 2012

Tony Wenas Dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)

Ya, dalam bagian Sumber Daya Alam, seperti di wakili oleh beberapa tulisan, menurut kami, pengambilan sumber daya rakyat di lakukan dengan berbagai pola. Ada yang menggunakan tipu daya, intimidasi maupun berbekal kebijakan negara.

Tony Wenas Preskom PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bicara hanya dari sisi kepentingan “Pengusaha”. Serikat Tani Riau menegaskan sikap: Jangan berbicara tentang KONFLIK lahan berkepanjangan hanya menyebabkan terhentinya pemenuhan produksi perusahaan, tetapi Tony Wenas seharusnya sadar bahwa Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang adalah Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia.

Terkait maraknya konflik lahan di daerah seperti yang terjadi di Pulau Padang. Harapan besar Tony Wenas agar hal seperti ini jangan terjadi lagi ditempat lain bagi kami adalah sebuah harapan tanpa dasar, jika persoalan monopoli modal (didukung kekuasaan sebagai kerabatnya) atas sumber daya alam masih terus terjadi di Negeri ini. Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP Di Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara”.

Andai saja surat bernomor 522.2/Pemhut/2621 tentang permintaan peninjauan ulang Keputusan Menteri Kehutanan nomor: SK.327/Mehut-II/2009 atas pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang di kirim Zulkifli Yusuf, Kepala Dinas Kehutanan Riau itu segera direspon oleh Menteri Kehutanan RI, tentunya di Pulau Padang tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan seperti ini.

Pada hal ada poin-poin penting di dalam surat itu yang musti segera mendapat tanggapan. Misalnya soal izin yang belum punya tata batas. Luas izin yang diberikan titik cocok dengan kenyataan di lapangan. Pada izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) yang diberikan kepada RAPP itu, luas di dalam izin 350.165 hektar, tapi kenyataan di lapangan justru 357.518,7 hektar. Jadi ada pembengkakan seluas 7.353,77 hektar. Lalu izin itu tumpang tindih pula dengan Kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411, 13 hektar. Di Pulau Padang dengan PT.RAPP pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat.

Kementerian Kehutanan saat ini menjelma menjadi gurita raksasa yang bebal. Watak eksploitasi hutan sengaja di ciptakan menjadi mesin-mesin pengumpul devisa Negara. Pembangunan berkelanjutan dan bahasa kerakyatan di manipulasi menjadi teks-teks kebijakan yang tak bisa di pakai. Kebijakan pemerintah tidak lain sekedar alat legitimasi penguasa atas apa yang mesti di kerjakan namun Bukan Jawaban Atas Masalah-Masalah Yang Di Hadapi Masyarakat/Rakyatnya.

Jika di beberapa media seperti diberitakan oleh HARIANTERBIT.COM Sabtu, 4 Agustus 2012, Tony Wenas mengatakan operasional perusahaanya di Pulau Padang tak jalan karena di haling-halangi oleh masyarakat yang (di duga) bukan masyarakat asli dan beliau berharap agar pemerintah tegas dalam mengatasi konflik ini karena ketakutanya akan menjadi preseden!! Merespon tudingan tersebut, Serikat Tani Riau menganjurkan Tony Wenas untuk menyadari bahwa sejarah tentunya tidak bisa di bungkam, bahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) dan Serikat Tani Riau (STR) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP guna penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut bahkan saat ini masyarakat Pulau Padang telah bergerak memasuki hutan untuk memasang Patok Tapal Batas sesuai Peta Administrasi Desa-desa yang ada di Pulau Padang dengan mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap patok. Hingga detik ini telah hampir Memasuki 4 (empat) tahun lamanya masyarakat pulau padang melakukan pengawasan, menyuarakan pandangan dan tuntutanya kepada pemerintah, di sampaikan secara lisan ataupun secara tertulis kepada Aparatur Pemerintah yang berkepentingan, hal tersebut telah disampaikan baik secara langsung maupun melalui media, namun pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis). Dan pemerintah juga selain “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman (Mengganggu Iklim Investasi) juga membangun opini buruk sehingga membuat kabur pesoalan dengan issue-issue yang sengaja di publikasi melalui media, seperti menganggap adanya kepentingan dan Campur Tangan Asing dan adanya Kepentingan Cukong Kayu Singapur, Malaysia di balik gerakan murni perjuangan masyarakat Pulau Padang yang menolak keberadaan PT.RAPP, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.

Masyarakat Pulau Padang memiliki harapan agar para birokrat (perencana dan pengambil keputusan) di bidang kehutanan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan KABINET INDONESIA BERSATU JILID II untuk kembali mengemban amanah konstitusional dengan melestarikan sumber daya hutan dan memenfaatkanya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan konsep bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemenfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sebab Jika selama ini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan menjadikan “Akademisi dan Peneliti Kehutanan”, yang sering kali dijadikan rujukan atau sumber pembenaran dari kebijakan kehutanan dan strategi pengelolaan hutan, yang selama ini lebih berkosentrasi terhadap isu teknis, fisik dan biologis. Keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya, bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil di capai-yang berarti fungsi dan menfaatnya dapat di sinambungkan –adalah contoh dari penerapan teori-teori buku ilmiah dari pengalaman luar yang tidak sesuai dengan realita sejarah masyarakat dan fakta lapangan Indonesia khususnys Pulau Padang. Pulau Padang dengan luas 1.109 km2—(menurut UU 27/2007 termasuk kriteria Pulau Kecil)—memiliki banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) pada ekosistem lahan gambut dalam yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Model/pola pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam berbasis masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menjamin keseimbangan ekosistem lahan gambut dalam, tidak banyak dijumpai di Indonesia.

Serikat Tani Riau dalam persoalan pulau padang masih mengharapkan adanya perwujudan demokrasi dalam praktek penyelenggaraan Negara, karena Kita paham bahwa Kekuasan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang di tandai dengan adanya Sentralisasi dan Personalisasi Kekuasaan telah berakhir pada bulan Mei 1998 seiring tumbangnya Presiden Soharto dari kursi kepresidenan. Karena itu pulalah menurut Serikat Tani Riau dalam gelombang reformasi yang ditandai dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru pada awal tahun 1998 tersebut juga merambah ke sector kehutanan. Tuntutan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih demokratis, berkeadilan, dan lestari, memaksa pemerintahan baru untuk merubah paradigma lama dari ‘basis negara’ (state-based) ke ‘basis rakyat’ (community based) dan dari ‘orientasi kayu’ (timber-oriented) ke ‘orientasi ekosistem’ (ecosystem-oriented).

Dalam kasus Pulau Padang, saat ini lembaga-lembaga penyelenggara negara di tingkat Pusat dan Daerah tidak lagi bisa bekarja secara adil dan proposional berdasarkan beberapa temuan fakta, data dan informasi yang berkenaan dengan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang yang berhasil dirangkum dari kajian aspek legal, dan didukung beberapa penelitian dan diskusi dengan LSM / masyarakat Pulau Padang. Bahkan sebaliknya penguasa Negara saat ini melalui Kementrian Kehutanan memaksakan kehendak dengan menjalankan logikanya sendiri dan terang-terangan mengingkari pakem peran negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berlanjut.

Seharusnya dengan berakhirnya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan tersebut, tentunya sangat memungkinkan Indonesia saat ini dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjalankan pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi social dan demokrasi ekonami sesuai dengan proporsinya. Dan karena itulah Serikat Tani Riau menegaskan pandangan serta sikap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya untuk tidak tinggal diam, SK 327/menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang saat ini menjadi salah satu permasalahan di dunia kehutanan Indonesia telah terbukti menyimpan banyak permasalahan. Banyak temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya, sehingga izin tersebut perlu ditinjau ulang.

Perlu di ketahui oleh seluruh pihak, merebaknya konflik tanah dan tambang akhir-akhir ini terjadi karena kedaulatan rakyat dalam mengolah kekayaan alam terampas. Praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha turut memperkeruh keadaan karena tak ada bagi hasil yang adil bagi rakyat di area perkebunan maupun tambang milik swasta atau pemerintah. Konflik tanah dan tambang terjadi akibat amanat dalam pasal 33 UUD 1945 tentang kekayaan alam dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat dikebiri oleh pemerintah.



Selengkapnya...

Tony Wenas Dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)

Ya, dalam bagian Sumber Daya Alam, seperti di wakili oleh beberapa tulisan, menurut kami, pengambilan sumber daya rakyat di lakukan dengan berbagai pola. Ada yang menggunakan tipu daya, intimidasi maupun berbekal kebijakan negara.

Tony Wenas Preskom PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bicara hanya dari sisi kepentingan “Pengusaha”. Serikat Tani Riau menegaskan sikap: Jangan berbicara tentang KONFLIK lahan berkepanjangan hanya menyebabkan terhentinya pemenuhan produksi perusahaan, tetapi Tony Wenas seharusnya sadar bahwa Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang adalah Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia.

Terkait maraknya konflik lahan di daerah seperti yang terjadi di Pulau Padang. Harapan besar Tony Wenas agar hal seperti ini jangan terjadi lagi ditempat lain bagi kami adalah sebuah harapan tanpa dasar, jika persoalan monopoli modal (didukung kekuasaan sebagai kerabatnya) atas sumber daya alam masih terus terjadi di Negeri ini. Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP Di Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara”.

Andai saja surat bernomor 522.2/Pemhut/2621 tentang permintaan peninjauan ulang Keputusan Menteri Kehutanan nomor: SK.327/Mehut-II/2009 atas pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang di kirim Zulkifli Yusuf, Kepala Dinas Kehutanan Riau itu segera direspon oleh Menteri Kehutanan RI, tentunya di Pulau Padang tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan seperti ini.

Pada hal ada poin-poin penting di dalam surat itu yang musti segera mendapat tanggapan. Misalnya soal izin yang belum punya tata batas. Luas izin yang diberikan titik cocok dengan kenyataan di lapangan. Pada izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) yang diberikan kepada RAPP itu, luas di dalam izin 350.165 hektar, tapi kenyataan di lapangan justru 357.518,7 hektar. Jadi ada pembengkakan seluas 7.353,77 hektar. Lalu izin itu tumpang tindih pula dengan Kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411, 13 hektar. Di Pulau Padang dengan PT.RAPP pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat.

Kementerian Kehutanan saat ini menjelma menjadi gurita raksasa yang bebal. Watak eksploitasi hutan sengaja di ciptakan menjadi mesin-mesin pengumpul devisa Negara. Pembangunan berkelanjutan dan bahasa kerakyatan di manipulasi menjadi teks-teks kebijakan yang tak bisa di pakai. Kebijakan pemerintah tidak lain sekedar alat legitimasi penguasa atas apa yang mesti di kerjakan namun Bukan Jawaban Atas Masalah-Masalah Yang Di Hadapi Masyarakat/Rakyatnya.

Jika di beberapa media seperti diberitakan oleh HARIANTERBIT.COM Sabtu, 4 Agustus 2012, Tony Wenas mengatakan operasional perusahaanya di Pulau Padang tak jalan karena di haling-halangi oleh masyarakat yang (di duga) bukan masyarakat asli dan beliau berharap agar pemerintah tegas dalam mengatasi konflik ini karena ketakutanya akan menjadi preseden!! Merespon tudingan tersebut, Serikat Tani Riau menganjurkan Tony Wenas untuk menyadari bahwa sejarah tentunya tidak bisa di bungkam, bahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) dan Serikat Tani Riau (STR) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP guna penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut bahkan saat ini masyarakat Pulau Padang telah bergerak memasuki hutan untuk memasang Patok Tapal Batas sesuai Peta Administrasi Desa-desa yang ada di Pulau Padang dengan mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap patok. Hingga detik ini telah hampir Memasuki 4 (empat) tahun lamanya masyarakat pulau padang melakukan pengawasan, menyuarakan pandangan dan tuntutanya kepada pemerintah, di sampaikan secara lisan ataupun secara tertulis kepada Aparatur Pemerintah yang berkepentingan, hal tersebut telah disampaikan baik secara langsung maupun melalui media, namun pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis). Dan pemerintah juga selain “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman (Mengganggu Iklim Investasi) juga membangun opini buruk sehingga membuat kabur pesoalan dengan issue-issue yang sengaja di publikasi melalui media, seperti menganggap adanya kepentingan dan Campur Tangan Asing dan adanya Kepentingan Cukong Kayu Singapur, Malaysia di balik gerakan murni perjuangan masyarakat Pulau Padang yang menolak keberadaan PT.RAPP, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.

Masyarakat Pulau Padang memiliki harapan agar para birokrat (perencana dan pengambil keputusan) di bidang kehutanan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan KABINET INDONESIA BERSATU JILID II untuk kembali mengemban amanah konstitusional dengan melestarikan sumber daya hutan dan memenfaatkanya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan konsep bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemenfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sebab Jika selama ini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan menjadikan “Akademisi dan Peneliti Kehutanan”, yang sering kali dijadikan rujukan atau sumber pembenaran dari kebijakan kehutanan dan strategi pengelolaan hutan, yang selama ini lebih berkosentrasi terhadap isu teknis, fisik dan biologis. Keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya, bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil di capai-yang berarti fungsi dan menfaatnya dapat di sinambungkan –adalah contoh dari penerapan teori-teori buku ilmiah dari pengalaman luar yang tidak sesuai dengan realita sejarah masyarakat dan fakta lapangan Indonesia khususnys Pulau Padang. Pulau Padang dengan luas 1.109 km2—(menurut UU 27/2007 termasuk kriteria Pulau Kecil)—memiliki banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) pada ekosistem lahan gambut dalam yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Model/pola pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam berbasis masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menjamin keseimbangan ekosistem lahan gambut dalam, tidak banyak dijumpai di Indonesia.

Serikat Tani Riau dalam persoalan pulau padang masih mengharapkan adanya perwujudan demokrasi dalam praktek penyelenggaraan Negara, karena Kita paham bahwa Kekuasan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang di tandai dengan adanya Sentralisasi dan Personalisasi Kekuasaan telah berakhir pada bulan Mei 1998 seiring tumbangnya Presiden Soharto dari kursi kepresidenan. Karena itu pulalah menurut Serikat Tani Riau dalam gelombang reformasi yang ditandai dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru pada awal tahun 1998 tersebut juga merambah ke sector kehutanan. Tuntutan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih demokratis, berkeadilan, dan lestari, memaksa pemerintahan baru untuk merubah paradigma lama dari ‘basis negara’ (state-based) ke ‘basis rakyat’ (community based) dan dari ‘orientasi kayu’ (timber-oriented) ke ‘orientasi ekosistem’ (ecosystem-oriented).

Dalam kasus Pulau Padang, saat ini lembaga-lembaga penyelenggara negara di tingkat Pusat dan Daerah tidak lagi bisa bekarja secara adil dan proposional berdasarkan beberapa temuan fakta, data dan informasi yang berkenaan dengan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang yang berhasil dirangkum dari kajian aspek legal, dan didukung beberapa penelitian dan diskusi dengan LSM / masyarakat Pulau Padang. Bahkan sebaliknya penguasa Negara saat ini melalui Kementrian Kehutanan memaksakan kehendak dengan menjalankan logikanya sendiri dan terang-terangan mengingkari pakem peran negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berlanjut.

Seharusnya dengan berakhirnya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan tersebut, tentunya sangat memungkinkan Indonesia saat ini dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjalankan pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi social dan demokrasi ekonami sesuai dengan proporsinya. Dan karena itulah Serikat Tani Riau menegaskan pandangan serta sikap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya untuk tidak tinggal diam, SK 327/menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang saat ini menjadi salah satu permasalahan di dunia kehutanan Indonesia telah terbukti menyimpan banyak permasalahan. Banyak temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya, sehingga izin tersebut perlu ditinjau ulang.

Perlu di ketahui oleh seluruh pihak, merebaknya konflik tanah dan tambang akhir-akhir ini terjadi karena kedaulatan rakyat dalam mengolah kekayaan alam terampas. Praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha turut memperkeruh keadaan karena tak ada bagi hasil yang adil bagi rakyat di area perkebunan maupun tambang milik swasta atau pemerintah. Konflik tanah dan tambang terjadi akibat amanat dalam pasal 33 UUD 1945 tentang kekayaan alam dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat dikebiri oleh pemerintah.




Selengkapnya...

Tony Wenas Dan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)

Ya, dalam bagian Sumber Daya Alam, seperti di wakili oleh beberapa tulisan, menurut kami, pengambilan sumber daya rakyat di lakukan dengan berbagai pola. Ada yang menggunakan tipu daya, intimidasi maupun berbekal kebijakan negara.

Tony Wenas Preskom PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) bicara hanya dari sisi kepentingan “Pengusaha”. Serikat Tani Riau menegaskan sikap: Jangan berbicara tentang KONFLIK lahan berkepanjangan hanya menyebabkan terhentinya pemenuhan produksi perusahaan, tetapi Tony Wenas seharusnya sadar bahwa Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAPP Di Pulau Padang adalah Potret Buram Penataan Ruang & Kelola Hutan Di Indonesia.

Terkait maraknya konflik lahan di daerah seperti yang terjadi di Pulau Padang. Harapan besar Tony Wenas agar hal seperti ini jangan terjadi lagi ditempat lain bagi kami adalah sebuah harapan tanpa dasar, jika persoalan monopoli modal (didukung kekuasaan sebagai kerabatnya) atas sumber daya alam masih terus terjadi di Negeri ini. Konflik Izin IUPHHK-HT PT. RAAP Di Pulau Padang merupakan representasi dari berbagai permasalahan ketidaksikronan peraturan tata ruang dan tata kelola hutan, pelanggaran proses perijinan, dan potensi pemalsuan data biofisik pada tingkat tapak oleh Panel Expert yang terjadi di bumi Nusantara”.

Andai saja surat bernomor 522.2/Pemhut/2621 tentang permintaan peninjauan ulang Keputusan Menteri Kehutanan nomor: SK.327/Mehut-II/2009 atas pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang di kirim Zulkifli Yusuf, Kepala Dinas Kehutanan Riau itu segera direspon oleh Menteri Kehutanan RI, tentunya di Pulau Padang tidak akan terjadi konflik yang berkepanjangan seperti ini.

Pada hal ada poin-poin penting di dalam surat itu yang musti segera mendapat tanggapan. Misalnya soal izin yang belum punya tata batas. Luas izin yang diberikan titik cocok dengan kenyataan di lapangan. Pada izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) yang diberikan kepada RAPP itu, luas di dalam izin 350.165 hektar, tapi kenyataan di lapangan justru 357.518,7 hektar. Jadi ada pembengkakan seluas 7.353,77 hektar. Lalu izin itu tumpang tindih pula dengan Kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektar Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411, 13 hektar. Di Pulau Padang dengan PT.RAPP pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat.

Kementerian Kehutanan saat ini menjelma menjadi gurita raksasa yang bebal. Watak eksploitasi hutan sengaja di ciptakan menjadi mesin-mesin pengumpul devisa Negara. Pembangunan berkelanjutan dan bahasa kerakyatan di manipulasi menjadi teks-teks kebijakan yang tak bisa di pakai. Kebijakan pemerintah tidak lain sekedar alat legitimasi penguasa atas apa yang mesti di kerjakan namun Bukan Jawaban Atas Masalah-Masalah Yang Di Hadapi Masyarakat/Rakyatnya.

Jika di beberapa media seperti diberitakan oleh HARIANTERBIT.COM Sabtu, 4 Agustus 2012, Tony Wenas mengatakan operasional perusahaanya di Pulau Padang tak jalan karena di haling-halangi oleh masyarakat yang (di duga) bukan masyarakat asli dan beliau berharap agar pemerintah tegas dalam mengatasi konflik ini karena ketakutanya akan menjadi preseden!! Merespon tudingan tersebut, Serikat Tani Riau menganjurkan Tony Wenas untuk menyadari bahwa sejarah tentunya tidak bisa di bungkam, bahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) dan Serikat Tani Riau (STR) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP guna penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut bahkan saat ini masyarakat Pulau Padang telah bergerak memasuki hutan untuk memasang Patok Tapal Batas sesuai Peta Administrasi Desa-desa yang ada di Pulau Padang dengan mengibarkan Bendera Merah Putih di setiap patok. Hingga detik ini telah hampir Memasuki 4 (empat) tahun lamanya masyarakat pulau padang melakukan pengawasan, menyuarakan pandangan dan tuntutanya kepada pemerintah, di sampaikan secara lisan ataupun secara tertulis kepada Aparatur Pemerintah yang berkepentingan, hal tersebut telah disampaikan baik secara langsung maupun melalui media, namun pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis). Dan pemerintah juga selain “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman (Mengganggu Iklim Investasi) juga membangun opini buruk sehingga membuat kabur pesoalan dengan issue-issue yang sengaja di publikasi melalui media, seperti menganggap adanya kepentingan dan Campur Tangan Asing dan adanya Kepentingan Cukong Kayu Singapur, Malaysia di balik gerakan murni perjuangan masyarakat Pulau Padang yang menolak keberadaan PT.RAPP, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.

Masyarakat Pulau Padang memiliki harapan agar para birokrat (perencana dan pengambil keputusan) di bidang kehutanan di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan KABINET INDONESIA BERSATU JILID II untuk kembali mengemban amanah konstitusional dengan melestarikan sumber daya hutan dan memenfaatkanya bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan konsep bahwa pembangunan ekonomi yang mengelola kekayaan bumi harus senantiasa memperhatikan pengelolaan sumber daya alam, di samping untuk memberi kemenfaatan masa kini, juga harus menjamin kehidupan masa depan. Sebab Jika selama ini pemerintah c.q. Kementerian Kehutanan menjadikan “Akademisi dan Peneliti Kehutanan”, yang sering kali dijadikan rujukan atau sumber pembenaran dari kebijakan kehutanan dan strategi pengelolaan hutan, yang selama ini lebih berkosentrasi terhadap isu teknis, fisik dan biologis. Keyakinan bahwa kesejahteraan masyarakat akan terbangun dengan sendirinya, bila rekayasa teknis pelestarian hutan berhasil di capai-yang berarti fungsi dan menfaatnya dapat di sinambungkan –adalah contoh dari penerapan teori-teori buku ilmiah dari pengalaman luar yang tidak sesuai dengan realita sejarah masyarakat dan fakta lapangan Indonesia khususnys Pulau Padang. Pulau Padang dengan luas 1.109 km2—(menurut UU 27/2007 termasuk kriteria Pulau Kecil)—memiliki banyak sekali contoh budidaya tananaman keras (karet, sagu) pada ekosistem lahan gambut dalam yang telah berlangsung selama puluhan tahun dengan tata kelola air menggunakan kanal berukuran kecil, dan menjadi andalan ekonomi Pulau Padang. Model/pola pengelolaan ekosistem lahan gambut dalam berbasis masyarakat di Pulau Padang yang terbukti mampu menjamin keseimbangan ekosistem lahan gambut dalam, tidak banyak dijumpai di Indonesia.

Serikat Tani Riau dalam persoalan pulau padang masih mengharapkan adanya perwujudan demokrasi dalam praktek penyelenggaraan Negara, karena Kita paham bahwa Kekuasan Orde Baru selama lebih dari 30 tahun yang di tandai dengan adanya Sentralisasi dan Personalisasi Kekuasaan telah berakhir pada bulan Mei 1998 seiring tumbangnya Presiden Soharto dari kursi kepresidenan. Karena itu pulalah menurut Serikat Tani Riau dalam gelombang reformasi yang ditandai dengan Runtuhnya Rezim Orde Baru pada awal tahun 1998 tersebut juga merambah ke sector kehutanan. Tuntutan pengelolaan sumber daya hutan yang lebih demokratis, berkeadilan, dan lestari, memaksa pemerintahan baru untuk merubah paradigma lama dari ‘basis negara’ (state-based) ke ‘basis rakyat’ (community based) dan dari ‘orientasi kayu’ (timber-oriented) ke ‘orientasi ekosistem’ (ecosystem-oriented).

Dalam kasus Pulau Padang, saat ini lembaga-lembaga penyelenggara negara di tingkat Pusat dan Daerah tidak lagi bisa bekarja secara adil dan proposional berdasarkan beberapa temuan fakta, data dan informasi yang berkenaan dengan konflik izin IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang yang berhasil dirangkum dari kajian aspek legal, dan didukung beberapa penelitian dan diskusi dengan LSM / masyarakat Pulau Padang. Bahkan sebaliknya penguasa Negara saat ini melalui Kementrian Kehutanan memaksakan kehendak dengan menjalankan logikanya sendiri dan terang-terangan mengingkari pakem peran negara untuk mengelola sumber daya alam secara adil dan berlanjut.

Seharusnya dengan berakhirnya sentralisasi dan personalisasi kekuasaan tersebut, tentunya sangat memungkinkan Indonesia saat ini dengan kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa menjalankan pelaksanaan demokrasi politik, demokrasi social dan demokrasi ekonami sesuai dengan proporsinya. Dan karena itulah Serikat Tani Riau menegaskan pandangan serta sikap kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, seharusnya untuk tidak tinggal diam, SK 327/menhut-II/2009 tentang Izin Perluasan Areal IUPHHK-HT PT. RAPP di Pulau Padang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau yang saat ini menjadi salah satu permasalahan di dunia kehutanan Indonesia telah terbukti menyimpan banyak permasalahan. Banyak temuan fakta dan data yang selama ini belum terungkap dan tidak dipertimbangkan dalam proses perijinan (khususnya penyusunan AMDAL), pengambilan keputusan, dan implementasinya, sehingga izin tersebut perlu ditinjau ulang.

Perlu di ketahui oleh seluruh pihak, merebaknya konflik tanah dan tambang akhir-akhir ini terjadi karena kedaulatan rakyat dalam mengolah kekayaan alam terampas. Praktik kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha turut memperkeruh keadaan karena tak ada bagi hasil yang adil bagi rakyat di area perkebunan maupun tambang milik swasta atau pemerintah. Konflik tanah dan tambang terjadi akibat amanat dalam pasal 33 UUD 1945 tentang kekayaan alam dimanfaatkan negara untuk kemakmuran rakyat dikebiri oleh pemerintah.




Selengkapnya...