Senin, 21 Februari 2011

BOM Waktu Di Tanah MELAYU

Oleh Syahnan Rangkuti

”Banyak sertifikat yang muncul di kawasan hutan tanpa izin pelepasan hak kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Namun, tak ada yang meributkan pengalihfungsian tersebut. Kami seperti berjuang sendirian,” demikian ujar Menteri Kehutanan MS Kaban (Kompas, 7 Juni 2008).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyebutkan, sepanjang 2000-2005, Indonesia kehilangan hutan seluas 5,4 juta hektar. Hampir setengah dari luas hutan yang hilang itu berada di Pulau Sumatera dan Kalimantan (2,575 juta hektar). Pola kehilangan hutan itu nyaris seragam, sebagian besar beralih fungsi menjadi perkebunan, terutama kelapa sawit.

Koordinator Program Nasional Greenomics Vanda Mutia Dewi mengungkapkan, perambahan hutan eks hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) untuk kegiatan nonkehutanan menyebabkan penggundulan hutan produksi 18,4 juta hektar.

Data dari dua organisasi pengamat lingkungan di atas adalah gambaran nyata keberadaan hutan di Tanah Air. Walau data Walhi atau Greenomics belum tentu 100 persen valid, bukan berarti tidak mengandung kebenaran. Kalau saja 50 persen dari data itu benar, jumlah alih fungsi hutan itu sangat besar.

Keluhan Kaban yang merasa berjuang sendirian sebenarnya patut dipertanyakan. Sudah menjadi rahasia umum, penyelenggara negara (mulai dari kepala desa, camat, bupati, gubernur, hingga pejabat kehutanan mulai dari dinas kehutanan kabupaten, provinsi, sampai Departemen Kehutanan) adalah orang yang paling berperan dalam alih fungsi hutan secara ilegal yang kemudian disulap menjadi legal.

Alih fungsi hutan akibat kolusi berkelompok para penyelenggara negara hanyalah salah satu bagian dari kasus yang terjadi di negara ini. Masih ada alih fungsi lain yang dilakukan oleh masyarakat, dalam skala kecil sampai skala kelompok besar terorganisasi yang tidak kalah besar dibandingkan dengan ulah perusahaan besar. Tulisan ini akan membahas alih fungsi di luar kepentingan pengusaha.

Sebut saja sengketa lahan antara massa yang tergabung dalam kelompok yang menamakan diri Serikat Tani Riau (STR) dan PT Arara Abadi (anak perusahaan PT Indah Kiat Pulp and Paper, Grup Sinar Mas). Sengketa ini diperkirakan semakin membesar dan tidak akan dapat dikendalikan bila tidak segera ditangani pemerintah secara tuntas.

Fenomena STR tidak lagi dapat dipandang sebelah mata. Bukan tidak mungkin, dalam waktu tidak berapa lama lagi, organisasi yang merupakan underbouw Serikat Tani Nasional itu akan menunjukkan taringnya.

Dalam rapat akbar Kongres V Serikat Tani Nasional di Riau, akhir Juni 2008, salah satu agenda penting yang diputuskan adalah mempercepat penyelesaian sengketa tanah, terutama di Riau. Yang tidak kalah penting, organisasi para petani itu sudah mengubah arah perjuangan organisasi dari yang semula merupakan gerakan sosial menjadi gerakan politik.

Untuk mewujudkan aspirasi politik itu, Partai Bintang Reformasi menyediakan ”kendaraan”. Partai itu membuka diri bagi aktivis-aktivis petani menjadi calon anggota legislatif untuk duduk di DPRD kabupaten, provinsi, atau DPR.

Ketua DPD PBR Riau Edi Basri mengungkapkan, masuknya STR dalam kancah politik di partainya merupakan bagian dari menampung aspirasi rakyat mengingat selama ini berbagai kasus pertanahan di Riau tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah daerah.

”Pemerintah mendapat rapor merah dalam sengketa pertanahan di Riau. Dari 45 item untuk HTI, pengusaha memiliki 40 kewajiban dan lima hak. Namun, pengawasan dari pemerintah tentang hak dan kewajiban itu tidak ada. Penguasa terlalu dekat dengan pengusaha. Pola pikir dan pola hidup pemerintah masih sama,” ujar anggota DPRD Riau itu.

Pada awal Maret 2007, aksi ribuan orang dari STR yang mewujudkan diri dalam Sentral Gerakan Rakyat Riau berhasil menancapkan kuku di pemerintah setempat. Tuntutan pendemo yang menduduki Kantor Gubernur Riau berhasil mendesak Pemerintah Provinsi Riau membentuk tim independen yang bertugas mengukur ulang dan mendata lahan masyarakat ulayat (anggota STR) di konsesi PT Arara Abadi. Sayangnya tim itu tidak dapat bekerja secara optimal. Bahkan, terkesan Pemprov Riau hanya membuat langkah semu untuk sekadar terlepas dari tekanan massa.

STR mengklaim, PT Arara Abadi telah mencaplok tanah ulayat masyarakat di tiga kabupaten, yakni Bengkalis, Siak, dan Kampar. Luas lahan yang dicaplok itu mencapai 60.000 hektar atau sekitar 20 persen dari konsesi PT Arara Abadi seluas 300.000 hektar.

Klaim kepemilikan STR itu tidak main-main. Dengan anggota 4.000 orang yang dikenal militan, kapak perang untuk menuntut lahan itu sudah ditancapkan pada pertengahan Juni lalu. Massa STR sudah memasang plang di areal-areal yang menjadi sengketa. Dalam plang-plang itu disebutkan, lahan yang kini ditanami akasia dan eukaliptus oleh PT Arara Abadi adalah milik kelompok tani A, B, atau C yang berada di bawah koordinasi STR.

Tidak sampai di situ, di lapangan, massa STR dilaporkan telah membakar tanaman akasia milik PT Arara Abadi. Massa juga membabat pohon akasia dan mengancam para pekerja lapangan. Menurut Nurul Huda dari Humas PT Arara Abadi, STR menduduki konsesi PT Humas PT Arara Abadi seluas 1.400 hektar.

Sebaliknya, massa STR mengadukan PT Arara Abadi membakar gubuk warga dan mencabuti tanaman kelapa sawit mereka. Kini di setiap kepolisian sektor tempat terjadinya konflik dipenuhi dengan aksi saling lapor antara massa STR dan PT Arara Abadi.

STR mengklaim tanah yang diserobot PT Humas PT Arara Abadi adalah tanah ulayat suku asli Riau, Sakai. Hanya saja, klaim itu menjadi rancu karena keberadaan suku Sakai sebagai pemilik tanah ulayat justru menjadi kaum minoritas di STR. Sebagian besar anggota STR adalah warga dari Sumatera Utara yang mencoba peruntungan baru di Riau.

Sebagian dari anggota STR adalah korban jual beli lahan ilegal oleh para pemuka desa, pemuka suku, dan aparat kecamatan. Ketika ternyata lahan yang diperjualbelikan itu menjadi tumpang tindih dengan pemilik lain, yakni PT Arara Abadi, masyarakat yang menjadi korban itu tidak berdaya bila berjuang sendiri. Otomatis, langkah yang paling jitu adalah memilih berjuang bersama STR.

Anggota STR dikenal militan. Maklum, mereka adalah pejuang keluarga yang berani mati untuk mempertahankan harta yang tersisa. Untuk kembali ke kampung halaman tidak mungkin lagi karena seluruh harta sudah dijual ketika mencari asa di tanah harapan.

Riza Zuhelmy, Ketua STR, tidak menampik keberadaan anggotanya. Dia mengatakan, STR terbentuk setelah masyarakat bermukim di daerah sengketa.

Riza juga membantah anggota STR ikut memperjualbelikan tanah sengketa. STR telah berjanji, bila tanah ulayat dikembalikan kepada mereka, tanah itu akan dikembangkan menjadi perkebunan kelapa sawit untuk kesejahteraan anggota.

”Kami sudah memiliki koperasi dan mungkin kami akan membangun pabrik kelapa sawit di lahan kami,” katanya.

Direktur Eksekutif Walhi Riau Johny Setiawan Mundung mengatakan, sengketa antara STR dan PT Arara Abadi disebabkan tak diakuinya kepemilikan tanah ulayat suku Sakai oleh pemerintah. Padahal, arsip kepemilikan tanah ulayat diakui oleh pemerintah kolonial Belanda.

”Asas pengakuan kepemilikan itu belum pernah dicabut pemerintah sampai sekarang. Sayangnya, pengadilan tidak menerima asas itu,” kata Mundung.

Sebaliknya, Nurul Huda mengatakan, tidak benar perusahaannya mencaplok tanah ulayat. Pada saat PT Arara Abadi berdiri pada pertengahan tahun 1980-an, beberapa desa dan kepemilikan lahan masyarakat sudah dikeluarkan dari areal konsesi. Berdasarkan foto udara pada saat itu, lahan yang disengketakan jelas merupakan hutan belantara yang tidak berpenduduk.

Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli mengatakan, persoalan sengketa tanah itu sebenarnya sudah sampai ke tangan Menteri Kehutanan di Jakarta. Dephut bahkan sudah memberikan pedoman penyelesaian menyangkut kepemilikan tanah ulayat. Disebutkan, bila memang warga memiliki bukti-bukti kepemilikan yang diakui negara, tanah itu akan segera di-enclave atau dikeluarkan dari konsesi.

”Hanya saja, pedoman dari Dephut itu tidak ditanggapi dengan satu bahasa. Tidak ada satu persepsi tentang tanah ulayat dan tidak ada pula bukti-bukti otentik yang mendukung. Enclave tanah di hutan negara tidak gampang dan tak dapat seenaknya dilakukan,” kata Zulkifli.

Zulkifli menambahkan, dahulu Dephut sudah menyetujui enclave di beberapa wilayah konsesi PT Arara Abadi karena ada bukti-bukti kepemilikan yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan. ”Kalau sekarang enclave diberikan lagi, dasarnya apa?” Kata Zulkifli.

Dia mensinyalir, persoalan sengketa itu semakin pelik karena campur tangan berbagai pihak yang memiliki kepentingan berbeda. Kalau saja masyarakat memiliki bukti kuat, mereka tidak perlu takut menggugatnya di pengadilan. ”Kalau mereka memiliki bukti-bukti kuat, mengapa tidak menggugat ke pengadilan. Negara ini adalah negara hukum,” kata Zulkifli.

Namun, pengadilan adalah momok menakutkan bagi STR dalam sengketa tanah ulayat. Pengadilan dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Tanpa bukti-bukti formal, pengadilan hanya akan menjadi lembaga pengesahan buat hilangnya kepemilikan tanah yang dituntut warga.

Polda Riau juga sudah tidak mampu mengatasi persoalan sengketa tanah itu. Puluhan laporan perusakan dan intimidasi dari kedua pihak tidak mencapai kemajuan berarti. Status quo yang dicanangkan polisi juga sudah dilanggar.

Saat ini, pecahnya bentrokan besar antara massa STR dan PT Arara Abadi diprediksi tinggal menunggu waktu. Dengan kekuatan massa yang semakin membesar, ditambah tekanan STR (yang kini sudah memasuki ranah politik), pasti akan semakin membesar pula.

Jalan keluar terbaik tentunya bermusyawarah lagi. Semua pihak harus duduk bersama untuk mencari solusi. Menhut juga harus aktif turun tangan untuk urun rembuk menyelesaikan sengketa itu. Jangan sampai bom waktu itu meledak, baru diambil langkah-langkah penyelesaian. Harga kerusuhan itu pasti akan sangat mahal.

Jangan katakan pula Menhut berjuang sendirian kalau ternyata di lapangan tidak ada yang diperbuat dengan maksimal. Ingatlah, lahan sengketa itu adalah hutan milik negara ini.
21.07.2008 | sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar