Sabtu, 26 Februari 2011

Krisis Agraria adalah Masalah Bangsa

Oleh: Ferry Juliantono

Pada saat ini, Indonesia menghadapi kemungkinan krisis pangan yang cukup berat. Krisis ini disebabkan oleh memburuknya krisis agraria, yang tidak hanya menindas kaum tani, melainkan memenjara rakyat Indonesia dalam kungkungan feodalisme dan imperialisme. Untuk itu, gerakan land-reform menduduki posisi penting. Gerakan ini adalah sokoguru gerakan demokratis dan pembebasan nasional untuk seluruh rakyat Indonesia.Diperkirakan, konsumsi beras perkapita antara tahun 2001 sampai 2006 akan mengalami peningkatan dari 153,53 kg perkapita pertahun menjadi 154,14 kg perkapita pertahun. Pada tahun 2021 diprediksikan sampai kepada angka konstan 147 kilogram per kapita/tahun. Dengan asumsi produktivitas sama dengan saat ini, tahun 2020 areal sawah yang diperlukan untuk seluruh wilayah Indonesia sekitar 9,3 juta hektar.

Saat ini, luas areal sawah di Indonesia mencapai sekitar 8,9 juta hektar. Dari luas itu, 45 persen di antaranya di Pulau Jawa dan Bali. Selanjutnya berturut-turut Sumatera 22,4 persen, Sulawesi 11,1 persen, Nusa Tenggara dan Maluku 6,4 persen, Kalimantan 14 persen, dan Irian Jaya 0,32 persen. Terlihat Jawa masih menjadi tumpuan bagi pengadaan pangan nasional.

Dengan data tersebut, secara logika, Indonesia harus memperluas areal lahan pertanian agar mampu mengimbangi naiknya grafik konsumsi pangan masyarakat. Masalahnya, pada saat ini ternyata sektor pertanian sudah tidak lagi menjanjikan. Dari data BPS, dalam waktu 10 tahun terakhir telah terjadi alihfungsi lahan sawah seluas 80.000 ha per tahun.

Selama periode 1999-2002 telah terjadi pengurangan lahan sawah seluas 563.159 hektar, atau rata-rata 187.720 hektar per tahun. Sekitar 30 persen sawah yang hilang itu berada di Jawa (167.150 hektar), dan 70 persen lainnya di luar Jawa. Untuk Jawa, konversi yang cukup tinggi terjadi di Jawa Barat (5,1 persen) dan Jawa Timur (6,3 persen). Padahal, kontribusi dua provinsi ini terhadap produksi padi nasional sangat besar sekitar 33 persen dari total produksi.

Dalam jangka pendek, alih fungsi memang belum terasakan dampaknya terhadap ketahanan pangan. Namun, bila terus terjadi tanpa ada langkah-langkah komprehensif menghentikannya akan mengganggu ketahanan pangan nasional. Apalagi kehilangan sawah di Jawa sebenarnya bisa berdampak sangat besar, karena kualitas sawah di luar Jawa masih belum mengimbangi kualitas sawah di Jawa.

Produktivitas padi di Jawa bisa mencapai 51,94 kuintal per hektar, sementara di luar Jawa hanya 39,52 kuintal per hektar. Kalaupun kehilangan sawah di Jawa akan dikonversi dengan pencetakan sawah di luar Jawa, biayanya akan sangat mahal dan membutuhkan waktu lama. Kehilangan sawah di Jawa sulit tergantikan.

Demikian pula dengan palawija. Untuk mencapai sasaran produksi padi dan palawija tahun 2009 yang ditetapkan Departemen Pertanian, di Jawa diperlukan luas panen 6,2 juta hektar sawah. Namun, bila konversi di Jawa terus terjadi dengan rata- rata 55.717 hektar, tahun 2009 lahan baku yang tersedia hanya 2,9 juta hektar.

Sementara untuk lahan bukan sawah, atau lahan kering diperlukan 3,3 juta hektar, sementara dengan konversi lahan kering 163.360 hektar per tahun, pada tahun 2009 lahan kering yang ada di Jawa hanya sekitar 2,1 juta hektar.

Di luar Jawa untuk mencapai target 2009 diperlukan lahan sawah seluas 5,9 juta hektar jika konversi dengan tingkat seperti saat ini terus terjadi pada tahun 2009 sawah di luar Jawa hanya tinggal 3,6 juta hektar.

Permasalahan di sektor ini sebenarnya bukan hanya ancaman yang muncul dari derasnya proses alih fungsi lahan. Di samping itu, menurunnya jumlah tenaga kerja di sektor pertanian juga menjadi ancaman yang nyata pada produktifitas pertanian.

Hal ini yang menurut Kepala Badan Pertanahan Negara, Luthfie Ibrahim Nasution, menjadi salah satu penyebab ternyadinya alih fungsi lahan. “petani yang penguasaan dan kepemilikan lahannya di bawah skala ekonomi cenderung menjual tanahnya kepada pihak lain. Karena, pendapatan yang diterimanya dari pertanian relatif sangat rendah”, jelasnya.

Masalah Pokok

Bila paparan di atas kita persingkat, dalam waktu yang tidak lama lagi, niscaya Indonesia akan mengalami krisis pangan yang merupakan bentuk terburuk krisis agraria.

Krisis ini tentunya tidak hanya berimbas pada kehidupan kaum tani sebagai kalangan yang paling menggantungkan hidupnya pada sokongan sumber-sumber agraria. Krisis ini akan menimpa seluruh rakyat Indonesia. Permasalahan yang harus kita perdalam adalah apa yang menjadi sebab terjadinya krisis agraria?

Pertama, krisis agraria terjadi karena adanya konsentrasi atau monopoli dalam kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria (Lihat Kotak “Tanah Kita Siapa Punya”). Monopoli kepemilikan tanah di segelintir orang adalah hasil dari sekian banyak pertentangan di lapangan agraria. Pertentangan-pertentangan tersebut terwujud dalam berbagai gejala. Muara dari pertentangan-pertentangan tersebut adalah perampasan tanah (land grabbing), baik yang dilakukan secara halus maupun kasar.

Dari pemantauan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang masa Orde Baru sampai Desember 2001 paling tidak telah terjadi 1.753 kasus perampasan tanah dari petani dengan areal yang dirampas seluas 10.892.203 ha. Perampasan ini mengakibatkan sekitar 1.189.482 kepala keluarga menjadi korban.

Di antara kasus-kasus tersebut, sedikitnya 508 kasus diantaranya melibatkan tentara, 833 kasus melibatkan perusahaan kapitalis swasta, pemerintah daerah dan pusat sebanyak 719 kasus, BUMN 219 kasus, dan militer sebanyak 59 kasus. Data di atas adalah data kasus sengketa yang sempat mencuat di media massa. Data kongkritnya, termasuk sengketa-sengketa yang terselubung, mungkin jauh lebih besar.

Kedua, monopoli kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria menyebabkan berkembang luasnya praktik-praktik sisa feudal dalam corak produksi masyarakat pedesaan. Proses monopoli kepemilikan dan penguasaan tanah terjadi dengan didahului oleh adanya alih kepemilikan yang kemudian menyebabkan terjadinya alih fungsi (konversi) lahan. Proses ini menyebabkan luas lahan pertanian yang dikelola kaum tani mengalami pemusatan ditangan segelintir orang yang pada giliran berikutnya mengalami penyempitan.

Pada sisi lain, jumlah kaum tani yang bekerja di atas tanah tidak mengalami perubahan yang berarti. Tingginya kebutuhan akan tanah menyuburkan praktik persewaan tanah oleh petani miskin dan buruh tani kepada klas-klas pemilik lahan. Hubungan sewa-menyewa lahan inilah yang menyebabkan menjamurnya hubungan produksi setengah-feodal di pedesaan.

Ketiga, dominasi feudalisme sesungguhnya erat dengan kepentingan imperialisme. Sejak masa kolonialisme Belanda, feodalisme telah menjadi alas kekuasaan imperialisme. Pada saat ini, imperialisme memang tidak menancapkan kekuasaannya secara langsung, melainkan menggunakan kakitangannya—yakni klas kapitalis komprador, tuantanah besar, dan kapitalis birokrat—dan menindas bukan hanya kaum tani, melainkan seluruh rakyat, terutama rakyat pekerja yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.

Keempat, imperialisme dan feodalisme menyebabkan kontradiksi di sektor agraria mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Kontradiksi-kontradiksi ini menyebabkan menurunnya daya dukung alam dan produktivitas pertanian. Imperialisme yang memaksa kaum tani untuk melaksanakan revolusi hijau—mekanisasi pertanian, pupuk kimia, dan bibit-bibit hasil rekayasa genetik—menyebabkan turunnya daya tawar masyarakat desa yang didominasi kaum tani dihadapan imperialisme dan feodalisme.

Penurunan daya tawar masyarakat desa, khususnya kaum tani, berjalan seiring dengan memburuknya krisis imperialisme dan membusuknya feodalisme. Semakin hari, krisis yang terjadi semakin memaksa kaum tani, bersama klas buruh dan massa tertindas lainnya, untuk menanggung beban krisis terberat. Pencabutan subsidi di berbagai bidang di samping kenaikan harga yang tidak tertanggulangi, menurunkan daya produksi kaum tani. Inilah yang mengakibatkan produktivitas pertanian mengalami kemerosotan yang cukup dalam.

Bila disimpulkan, permasalahan pokok yang diderita kaum tani saat ini adalah luasnya praktik sisa-sisa feodalisme dan dominasi imperialisme. Feodalisme dan imperialisme telah mengakibatkan terjadinya krisis agraria, yang ditandai dengan adanya pemusatan kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta menurunnya daya hidup dan daya produksi kaum tani.

Kaum Tani Berlawan

Tingginya kontradiksi yang terjadi di pedesaan, sesungguhnya menumbuhkan potensi-potensi berlawan dari masyarakat desa, khususnya kaum tani. Perlawanan petani adalah perlawanan yang menyejarah, karena di samping memiliki landasan sejarah—keadaan sosial kontemporer—yang cukup kuat, perlawanan kaum tani juga merupakan bentuk-bentuk perlawanan yang sudah dikenal dalam sejarah pergerakan rakyat Indonesia melawan imperialisme dan feodalisme.

Gerakan-gerakan rakyat yang monumental dalam sejarah perlawanan rakyat Indonesia sesungguhnya terkait erat dengan kepentingan kaum tani sebagai suatu klas dalam masyarakat. Tengok saja sejarah perlawanan Diponegoro (1825-1830), pemberontakan kaum tani di Cilegon Banten tahun 1888, pemberontakan ‘Afdeling B’ di Garut tahun 1919, pemberontakan kaum tani bersenjata tahun 1926 di seluruh Jawa dan tahun 1927 di Sumatera Barat, atau peristiwa revolusi sosial tiga daerah pada masa pemerintahan pendudukan Jepang.

Pemberontakan-pemberontakan tersebut menyandarkan diri pada kegelisahan sosial di masyarakat pedesaan akibat tingginya pajak tanah dan beban bagi hasil yang mencekik kaum tani. Penerapan sistem tanam paksa (1830-1870), konsesi perkebunan yang disebabkan oleh pemberlakuan Undang-Undang Agraria 1870, monopoli penjualan beras oleh pemerintah Kolonial Belanda pada periode Perang Dunia I (1914-1917) serta oleh pemerintah pendudukan Jepang (1942-1945), menjadi momentum-momentum yang memupuk perlawanan kaum tani di Indonesia.

Memasuki masa setelah revolusi nasional Agustus 1945, kaum tani—terutama tani miskin dan buruh tani—masih harus memperjuangkan kemerdekaan sejati untuk klasnya. Revolusi Agustus 1945 ternyata belum cukup mampu membebaskan kaum tani dari penindasan musuh-musuh klasnya. Feodalisme ternyata belum bisa dimusnahkan, sementara imperialisme kembali menggeliat dan terus berupaya untuk merebut kembali kekuasaannya.

Pengalaman revolusi Agustus 1945 memberikan ketangguhan bagi kaum tani. Memaksa imperialisme untuk mencari cara menundukkan kaum tani, klas buruh, dan massa rakyat Indonesia yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.

Kaum tani, dengan dukungan seluruh rakyat anti-imperialisme dan anti-feodalisme secara giat mengkombinasikan aksi-aksi legal demokratis dengan aksi-aksi massa revolusioner untuk menjejakkan kemerdekaan sejati rakyat Indonesia.

Semua itu memaksa imperialisme AS untuk memperhebat tekanan politiknya dengan merancang berbagai aksi kontrarevolusioner yang bertujuan merampas kemerdekaan rakyat Indonesia. Puncak dari aksi-aksi itu adalah tumbangnya Soekarno dan berkuasanya Soeharto.

Soekarno adalah satu-satunya Presiden RI yang berasal dari klas borjuasi nasional. Kenaikan Soekarno—sebagai elemen borjuasi nasional—di panggung kekuasaan politik Indonesia adalah buah dari revolusi pembebasan nasional Agustus 1945. Sementara kekuasaan Soeharto, yang dibangun melalui gerakan kontrarevolusioner, adalah presiden yang berasal dari klas kapitalis birokrat dan kapitalis komprador. Dengan menggunakan kekuasaannya, Soeharto menjadikan dirinya sebagai klas tuan-tanah besar yang paling reaksioner di Indonesia selama 32 tahun.

Oleh karenanya, garis yang diusung oleh keduanya bertentangan satu sama lain. Bila Soekarno menunjukkan itikadnya untuk menentang imperialisme dan menghapuskan feodalisme, sebaliknya Soeharto yang justru mengembalikan kekuasaan imperialisme dan mengukuhkan feodalisme. Garis yang ditetapkan Soeharto lah yang saat ini terus dilaksanakan oleh pemerintahan-pemerintahan selanjutnya, termasuk pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Land Reform

Landreform adalah jawaban yang paling ilmiah untuk mengatasi persoalan-persoalan di atas. Landreform memecahkan kebuntuan Indonesia dalam hal peningkatan produktivitas agraria, memberikan jaminan hidup bagi kaum tani sebagai mayoritas rakyat, serta memberikan alas yang paling mendasar untuk meningkatkan kesejahteraan kaum tani sebagai klas mayoritas rakyat Indonesia.

Land reform memiliki tiga aspek yang satu dengan lainnya tidak terpisahkan. Pertama, aspek politik untuk mengubah relasi produksi yang berbasiskan kepemilikan monopoli atas tanah.

Kedua, land-reform memiliki aspek ekonomi untuk meningkatkan kemampuan ekonomi kaum tani di pedesaan.

Ketiga, land reform memiliki aspek budaya. Dalam pengertian ini, perombakan struktur hubungan produksi feodalisme memberikan dorongan bagi perubahan cara kerja yang pada gilirannya akan mengubah kesadaran kerja di kalangan kaum tani.

Secara lebih khusus, landreform memiliki tujuan (a) mengadakan pembagian tanah secara adil dengan menghapuskan monopoli, merombak struktur agraria yang timpang. (b) melaksanakan prinsip tanah untuk petani (penggarap) sehingga tidak terjadi lagi spekulasi dan pemerasan dengan menggunakan obyek tanah. (c), memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara, baik laki-laki maupun perempuan dengan memberikan hak politik dan hak ekonomi atas tanah tersebut. (d) mengakhiri sistem tuan-tanah, menghapuskan feodalisme serta segala bentuk sistem kepemilikan yang tidak terbatas. (e), mempertinggi produksi nasional melalui terselenggaranya pertanian intensif yang dilaksanakan secara kolektif melalui pembentukan koperasi-koperasi dan sistem kerja bersama guna menjamin produktivitas dan pemerataan kesejahteraan.

Kedudukan landreform sebagai sokoguru gerakan demokratis di Indonesia sesungguhnya tidak bisa dibantah. Landreform memberikan fondasi demokrasi yang kokoh bagi kaum tani sebagai cara memerdekakan diri dari penindasan feodalisme, sekaligus memberikan landasan yang kuat bagi rakyat untuk memerdekakan diri dari penghisapan imperialisme. Kehancuran feodalisme itulah yang akan menjadi titik nadir kekuasaan imperialisme.

Oleh karenanya, landreform adalah tugas sejarah kaum tani yang membutuhkan sokongan kongkrit dari seluruh rakyat Indonesia yang anti-imperialisme dan anti-feodalisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar