Jumat, 06 Mei 2011

TOLAK HTI PT.RAPP Drs Irwan Nasir Dan Zulkifli Hasan Harus Belajar " MENDENGAR"

Sejarah kaum tani di Indonesia muncul pertama kali di masa masyarakat feodal, di mana pada waktu itu kaum tani berposisi sebagai tani hamba dari tuan tanah yang menguasai tanah. Kaum tani bekerja menggarap lahan atau tanah milik tuan tanah yang pada waktu itu menyebut dirinya sebagai raja. Seluruh hasil tanah yang digarap oleh kaum tani diserahkan kepada raja dan kaum tani sebagai hamba hanya mendapat bagian sesuai dengan kebijakan dari raja.

Kepatuhan dan ketertundukkan kaum tani terhadap raja semakin diperteguh oleh kesadaran feodal di kalangan kaum tani yang menganggap bahwa raja adalah 'manusia pilihan' dan utusan Tuhan. Sehingga harus dihormati dan menjadi tempat untuk mengabdi. Kesadaran ini semakin dikuatkan oleh ajaran agama yang memperkuat kedudukan raja dalam masyarakat. Dan kemudian kaum tanipun terbenam dalam ketidakberdayaan dan penerimaan bahwa seluruh penderitaan yang dialaminya adalah takdir yang harus ditanggung dengan penuh kesabaran dan bahkan 'rasa syukur'.

Pada perkembangannya, ketika bangsa asing masuk ke Indonesia sebagai tanda dimulainya masa penjajahan maka penderitaan petani bukannya berkurang tetapi justru bertambah hebat. Pada masa pendudukan Inggris, telah diperkenalkan pajak tanah berupa uang, menggantikan penyerahan wajib (upeti). Kenyataannya, pajak tanah yang dikenakan oleh pemerintah penjajahan sangat tinggi dan banyak kaum tani yang tidak mampu untuk membayar pajak. Untuk membayar pajak tersebut, tidak jarang banyak kaum tani yang harus menjual tanahnya dan kemudian terpaksa menjadi buruh di perkebunan.

Beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk itulah yang kemudian menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap pemerintah kolonial Belanda dan kaki tangan lokalnya. Itulah yang menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa kerajaan. Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang.

Dalam kurun waktu yang sangat panjang tersebut, kaum tani juga tidak berhenti melakukan perlawanan hingga terhadap penjajah Belanda.

"Sejarawan Indonesia Onghokham mengemukakan bahwa semenjak perang Diponegoro selesai pada tahun 1830 sampai permulaan pergerakan nasional pada tahun 1908, diperkirakan terdapat lebih dari 100 pemberontakkan atau keresahan petani".

Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Dalam kenyataannya paradigma pembangunan yang dianut oleh Rezim Orde Baru adalah lebih ditekankan pada pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran, sehingga kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas adalah kegiatan industrialisasi menengah dan besar yang cenderung mampu mendatangkan devisa (baca dollar). Walaupun industri yang dikembangkan tidak berbasis atau bertumpu pada sektor pertanian, dimana sebagian besar rakyat berada pada sektor ini. Hasil akhirnya sudah kita ketahui secara bersama bahwa kemudian akses dan aset secara nasional hanya dimiliki oleh segelintir orang, yaitu para penguasa dan pengusaha.

Konsekuensi dari paradigma pembangunan yang dianut adalah kebutuhan akan lahan atau tanah yang cukup besar sebagai tempat untuk melakukan investasi modal guna mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukan. Berkaitan dengan itu maka negara (penguasa) dalam hal ini memberikan jaminan untuk memfasilitasi kebutuhan akan lahan tersebut, yang pada akhirnya memunculkan konflik pertanahan antara rakyat berhadap-hadapan dengan negara yang ditopang oleh perangkatnya dalam hal ini birokrasi dan tentara.

Berbagai kasus penggusuran yang terjadi hampir di seluruh penjuru tanah air pada dekade 1980-an, dapat dipastikan memunculkan dan menyebabkan terjadinya konflik di masyarakat. Sebuah konflik “klasik” yang berawal dari masalah sengketa tanah, dan menempatkan petani pada posisi yang berhadap-hadapan dengan negara.

"Menurut Dianto Bachriadi konflik pertanahan dalam negara Orde Baru banyak terjadi antara rakyat atau petani dengan negara, atau antara petani dengan pemilik modal, atau antara petani dengan pemilik modal yang beraliansi dengan negara".

Sifat tanah sebagai ideologis tercermin sudah sejak dahulu kala. Dalam kerangka ideologi inilah pemberontakan petani semenjak jaman kolonial hingga kini (konflik tanah versus penggusuran demi pembangunan) membentuk logika perlawanan tersendiri. Hanya bentuk-bentuk perlawanan, teknik pengorganisasian, dan cara-cara tokoh mengartikulasikan diri ke dalam gerakan itulah yang terus berubah dan berkombinasi. Ideologi itu sendiri dapat dikatakan belum bergeser pemaknaannya.

Kebijakan orde baru banyak mengabdi pada kepentingan imperialisme, borjuasi komprador dan tuan tanah. Akibatnya sangat merugikan kaum tani dan menelantarkan petani dalam penderitaan akibat praktek penyerobotan, perampasan dan penggusuran tanah rakyat dengan berbagai dalih seperti untuk kepentingan pembangunan, dirampas perkebunan, perhutani dan perusahaan, untuk pembangunan perumahan mewah dan industri, diambil alih militer dan lain sebagainya.

"Selama kurun waktu 30 tahun mulai 1970 sampai dengan tahun 2000, tercatat telah terjadi tidak kurang dari 1753 kasus sengketa tanah yang menghadapkan kaum tani dengan negara maupun pengusaha dan militer".

Paska Soeharto jatuh pada tahun 1998, kebebasan demokratik terbuka lebih lebar dibanding masa sebelumnya. Sehingga kemudian gerakan petani mengalami kebangkitan kembali. Aksi aksi petani menuntut dikembalikannya tanah-tanah yang dulu dirampas orde baru semakin marak terjadi di mana-mana bahkan sampai dilakukannya reklaiming dan pendudukan tanah. Demikian juga tuntutan untuk dilaksanakannya UUPA 1960 semakin bertambah besar. Organisasi-organisasi independen yang didirikan oleh kaum tani sendiri, baik di tingkat desa, kabupaten, propinsi bahkan nasional banyak bermunculan. Keberanian kaum tani dalam menyuarakan pendapat dan memperjuangkan kepentingannya semakin bertumbuh-kembang. Sekalipun demikian tetap harus menghadapi sikap yang keras dan represif dari negara.

Dari rangkaian ulasan singkat tentang sejarah gerakan tani di Indonesia, dapat dengan jelas disimpulkan bahwa penindasan terhadap petani telah terjadi dari masa ke masa. Demikian juga dalam setiap masa penindasan, selalu muncul perlawanan kaum tani. Ini membuktikan kebenaran hukum obyektif perkembangan masyarakat bahwa di mana ada penindasan, di situlah akan berkobar perlawanan. Dan sejarah gerakan tani di Indonesia membuktikan satu hal yang penting bahwa KAUM TANI MEMILIKI TRADISI BERLAWAN.

Sebagai manifestasi dari kebijakan politik-ekonomi pemerintah baik nasional maupun daerah telah memperlihatkan kepada kita dampak yang tak teratasi. Secara kepemilikan tanah di Indonesia, Menurut Serikat Tani Riau (STR) bahwa, peruntukan lahan bagi perkebunan skala besar jelas-jelas menumbuhkan penindasan struktural serta menjauhkan kaum tani dari kesejahteraan. Kita bisa melihat, betapa luasnya pemerintahan memberikan tanah-tanah yang mereka sebut dengan Hutan/Perkebunan Negara kepada perusahaan-perusahaan seperti; PT Freeport Indonesia yang mendapatkan jatah 202.380 ha areal hutan lindung di Papua, PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan, PT Aneka Tambang seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara, PT Indominco Mandiri seluas 25,121 ha di Kalimantan Timur, PT Natarang Mining seluas 12.790 di Lampung, PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha, PT Pelsart Tambang Kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan, PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara, PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha, dan PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara, dan lain-lain.

Sementara itu di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI). Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain.

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung.

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam.

APRIL/RAPP, saat ini melakukan pembabatan Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan PT.SRL di Pulau Rangsang, PT.LUM di Tebing Tinggi dan PT.RAPP, di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti untuk dieksploitasi Kayu Alamnya melalui SK 327 Menhut Tahun 2009 Tanggal 12 Juni meskipun keberadaanya di tentang oleh Rakyat. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu daerah termuda di Provinsi Riau.

Di kabupaten Kepulauan Meranti, salah satu kabupaten di provinsi Riau, Indonesia, dengan ibu kotanya adalah Selatpanjang.

Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari Pulau Tebingtinggi, Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang, Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau Paning, Pulau Dedap. Adapun nama Meranti diambil dari nama gabungan "Pulau Merbau, Pulau Ransang dan Pulau Tebingtinggi". Sebagai sebuah akibat dari gerak anarki modal adalah penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Tidak jauh berbeda dengan Provinsi-provinsi lainya di NKRI ini, Para Invertor mayoritas menggunakan otoritas kekuasaan sebagai peluang untuk "mengeksploitasi" sumber daya alam hutan yang sesungguhnya menjadi hartanya rakyat. Menghalalkan segala cara Untuk mencapai, mewujudkan tujuan dengan menjadikan Dampak Lingkungan yang pada hakikatnya Akan Menjadi Bencana sebagai alat politisasi dan sebagai sarana kampanye parpol atau untuk Dikomerssialisasikan demi kepentingan Pribadi atau Kelompok.

SK IUPHHK-HTI defenitif melalui keputusan menteri kehutanan Nomor: SK.327/MENHUT-II/2009 Tanggal 12 Juni 2009, Pemberian izin konsensi lahan HTI kepada RAPP dan dikeluarkannya izin amdal tanpa melibatkan masyarakat, jelas-jelas sudah meninggalkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus bergerak dan berjuang sendiri mempertahankan hak-hak mereka untuk tetap bisa mengolah tanahnya sebagai sumber kehidupan.

Komite Pimpinan-Daerah Serikat Tani Riau (KPD-STR) Kabupaten Kepulauan Meranti telah beberapa kali melakukan Unjuk Rasa damai dalam menyuarakan aspirasi Rakyat prihal PENOLAKAN TERHADAP HTI dengan bebrapa Ormas dan LSM lainya dengan alasan yang Objektif dan sangat Ilmiah semenjak Di keluarkanya Surat dari SK IUPHHK-HTI defenitif melalui keputusan menteri kehutanan Nomor: SK.327/MENHUT-II/2009 Tanggal 12 Juni 2009, hingga Surat Gubernur Riau No:223/IX/2010 Tanggal 8 September 2010 tentang izin pembuatan koridor pada IUPPHK-HT, PT.RAPP Pulau Padang. Aksi-aksi massa masih tetap berlanjut sebagai wujud perlawanan tak pernah henti. Namun pemerintah tetap meruskan dan tidak merasa terketuk hati sehingga RKT 2011 PT.RAPP di terbitkan.

Namun pada kenyataannya pemanfaatan sumber daya alam selama ini lebih berorentasi pada kepentinngan ekonomi. Sumber daya alam dipandang semata-mata sebagai aset untuk mengeruk devisa sebesar-besarya dengan kurang memperdulikan kelestariannya. Negara memiliki kepentingan maha hebat terhadap sumber daya alam, termasuk menjadikan sumber daya alam sebagai “Mesin Politik” dan “Mesin Uang” bagi golongan yang berkuasa dan pemerintah biasanya selalu membawa jargon sumber daya alam untuk semua masyarakat, tetapi dalam peraktek-peraktek bisnis dan pemenfaatan sumbar daya alam selalu “lebih mementingkan” golongan dan kelompoknya sendiri. Ini terbukti hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya Pulau- Pulau Tanah Gambut yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti. Ketidakjelasan tersebut didukung dengan buramnya sistem administrasi pertanahan sehingga banyak Mafia Tanah yang mengambil KEUNTUNGAN PRIBADI di tengah-tengah keresahan kami. Bukan hanya itu, di Kabupaten tercinta kita ini Dampak Terhadap Lingkungan juga menjadi pertimbangan bagi kita. Disinilah sesungguhnya dasar-dasar ketidakadilan pemenfaatan sumber daya alam hutan berakar, dan ekonomi politik kekuasaan negaralah yang sesungguhnya telah memanipulasi semua model-model penggelolaan sumber daya alam hutan di dunia hinggalah di Kabupaten Kepulauan Meranti di Pulau Padang ini.

Sejarah baru kembali harus ditorehkan Oleh Masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti di Dalam Konsep Perjuanganya setelah Berhasil Memisahkan diri dari Kabupaten Bengkalis. Karena SK 327 MENHUT Tahun 2009 tanggal 12 juni saat ini harus di akui menjadi Landasan Kekuatan Hukum Pemilik Modal Besar tersebut untuk melakukan Pembabatan Terhadap Hutan Alam yang merupakan Sumber daya Alam(SDA) Kabupaten Ini

Penolakan terhadap Hutan Tanaman Industeri (HTI) di Kabupaten Kepualuan Meranti ini kami lakukan bukan tanpa alasan, ini dikarenakan HTI tidak terlepas dari sejarah konflik Agraria di Indonesia, khususnya di Riau. Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya Pulau- Pulau Tanah Gambut yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Selama ini masyarakat Pulau Padang yang tergabung dalam STR, tetap bersikukuh mendesak agar pemerintah meninjau ulang SK Menhut Nomor 327/Menhut-II/2009 tertanggal 12 Juni 2009. SK Menhut ini merupakan sebuah eksekusi terhadap keleluasaan masyarakat dalam mengelola hutan di Pulau Padang.

Selain mendesak meninjau ulang SK menhut tersebut, masyarkat juga mendesak agar pemerintah segera menurunkan tim terpadu dari berbagai elemen untuk melakukan Meeping. Langkah ini dilakukan sebagai upaya melakukan pemetaan ulang terhadap pengeloalan hutan alam di Pulau Padang agar ada kejelasan Tapal Batas sehingga Pihak perusahan bisa komit nantinya untuk tidak masuk dalam areal lahan masyarakat. "Dua tuntutan ini menjadi harga mati yang harus segera diakomdir oleh pemerintah. Kalau dua tuntutan ini gagal dan tidak diakomodir, maka segala bentuk operasional PT RAPP di blok Pulau Padang tidak boleh dilakukan. Jika tetap di paksakan untuk di dilakukan, konsekuensinya Pasti akan terjadi perampasan Tanah.

Tidak adanya tapal batas yang jelas antara Tanah Garapan masyarakat dengan Areal Konsesi Pihak perusahaan dan tidak di berlakukanya Pemetaan Ulang (MAPING) menjadi sbuah ketakutan Besar masyarakat akan terjadinya PERAMPASAN TANAH RAKYAT. Sebab Maraknya sengketa tanah di provinsi Riau antara masyarakat penggarap dengan pihak perusahaan tidak lagi merupakan rahasia umum. Pengosongan Paksa, Penggusuran terhadap masyarakat untuk meninggalkan Rumah dan Kebun, sawah, ladang yang menjadi Alat Peroduksi kaum tani. Bahkan tertangkap atau tertembaknya Kaum Tani sudah menjadi bagian dari kosumsi publik.

Di kabupaten Kampar, bengkalis, siak dan pelalawan serta beberapa kabupaten lainnya dan bahkan di Provinsi-provinsi lain di wilayah sumatera dalam NKRI ini Bentrok Fisik antara Masyarakat dengan pihak kepolisian sebagai pihak keamananpun Terkadang tidak bisa terhindarkan, sepert yang terjadi di Jambi dan Lampung. Memahami Pihak perusaahan mengantongi izin dari pemerintah melalui Hak Pengusaan Hutan (HPH) atau apalah namanya tentunya Pengusaha memiliki Legitimasi Hukum Yang pada akhirnya suka atau tidak suka, rela atau tidak rela berbicara HUKUM tentunya INVESTOR akan di Jamin Keamananya oleh negara sehingga sejarah mengungkap terlalu sering penyelesaian dari sebuah Konflik agraria berakhir dengan menjadikan kaum Tani sebagai Tersangkanya dengan Tuduhan Kasus Penyerobotan Lahan Pihak Perusahaan lalu kalah di persidangan.

Penolakan terhadap Hutan Tanaman Industeri (HTI) di Kabupaten Kepualuan Meranti ini kami lakukan bukan tanpa alasan, ini dikarenakan HTI tidak terlepas dari sejarah konflik Agraria di Indonesia, khususnya di Riau. Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya Pulau- Pulau Tanah Gambut yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Komite Pimpinan Derah-Serikat Tani Riau (KPD-STR)Kabupaten Kepuluan Meranti memahami Sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati merupakan unsur lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa indonesia. pentingnya Sumber daya alam secara eksplisit di sebutkan dalam pazsal 33 ayat 3 Undang-undang dasar 1945, bahwa:

"Bumi,Air dan Kekayaan Alam yang Terkandung Di Dalamnya di Pergunakan Untuk Sbesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat"

Pasal ini mengamanatkan bahwa pemenfaatan Sumber daya alam harus di tujukan untuk kepentingan rakyat banyak. Sedangkan bagaimana Sumber daya alam itu seharusnya di kelola termaktub dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN)tahun 1973, telah di amanatkan betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya alam tersebut. Butir 10 menyatakan bahwa:

"dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumer alam indonesia harus di gunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus di usahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan pertimbangan kebutuhan generasi yang akan datang".

Berkali-kali kami sudah menggelar aksi massa damai untuk menyuarakan aspirasi Penolakan HTI tanpa tindakan Anarkis. Tidak hanya melakukan Aksi Massa, sebagai bentuk Komitmen masyarakat dalam mencari jalan yang terbaik untuk menyikapai persoalan HTI tersebut, masyarakat Kepulauan Meranti pada tanggal 15 Desember 2010 kami telah menggelar acara Seminar Terbuka dengan Tema: “Dampak HTI Terhadap Lingkungan Dan Kehidupan Rakyat”, dimana untuk dapat di pahami acara tersebut kami gelar secara mandiri hampir menghabiskan dana sebesar 30 Juta Rupiah yang dana ini kami dapatkan dari sumbangan 20 Ribu per anggota Serikat Tani Riau. Pelaksanaan kegiatan seminar ini juga menggundang seluruh tokoh-tokoh masyarakat, seluruh Pejabat Pemerintah di tingkatan kabupaten, Bupati, DPRD, Partai-partai Politik dan juga pihak PT.RAPP dalam upaya mencari kejelasan solusi bersama untuk menjawab dari segala persoalan yang berhubungan dengan HTI, dan bahkan kami juga telah menghadiri undangan bapak Bupati Drs Irwan MSi dalam dialog multy pihak penyelesaian Konflik antara masyarakat dengan PT.RAPP, namun ketika Tim belum terbentuk, dan bahkan belum di SK kan oleh Bupati yang tentunya secara otomatis belum bekerja, tetapi 2 (Unit) Unit Excavator PT.RAPP di perbolehkan melakukan Operasionalnya.

Persoalan Pulau Padang sudah mencapai titik kritis. Selain aksi stempel darah, sehari sebelumnya ratusan masyarakat Pulau Padang menghadang dua unit escavator dan satu ponton milik RAPP dengan pengamanan lengkap dari kepolisian.

"Ini membuktikan pemerintah setempat memberikan lampu hijau kepada RAPP dan tidak memperdulikan nasib masyarakat setempat," untuk itu Serikat Tani Riau akan mengirim anggota termasuk pengurus-pengurus ke Jakarta untuk melakukan “AKSI JAHIT MULUT”,Aksi yang akan kami gelar memiliki komitment tidak akan selesai dan berhenti dan bahkan bertambah dari hari ke hari sepenajang Operasional PT.RAPP tidak di hentikan di pulau padang. Tuntutan harga mati kami masih belum berubah, PEMERINTAH HARUS MENGHENTIKAN OPERASIONAL PT.RAPP DI TANJUNG PADANG, SERTA PEMERINTAH HARUS MENINJAU ULANG/HINGGA MENCABUT SK 327 Menhut Tahun 2009 dan Mencabut Izin Operasional PT.RAPP, PT.SRL serta PT. LUM di Kabupaten Kepulauan Meranti. Saat ini 8 (Delapan) Unit Excavator PT.RAPP sedang melakukan pembuatan jalan dengan menyusun Kayu-kayu di Tanjung Padang sebagai landasan untuk menaikan 1.025 ( Seribu Dua Puluh Lima) Alat Berat milik mereka diantaranya 244 ( Dua Ratus Empat Puluh Empat) Unit Excavator untuk meluluh lantakkan Pulau ini dengan luasan Garapan 30.087 (Tiga Puluh Ribu Delapan Puluh Tujuh) Ha.

Dengan demikian bukanlah sesuatu yang sangat menakjubkan ketika pengambil kebijakan atau pemerintah di dalam sebuah Negara mendeklarasikan bahwa semua SDA yang ada di Negara tersebut di kuasai oleh Negara. Sebab Negara memiliki kepentingan maha hebat terhadap sumber daya alam tersebut, khususnya menjadikannya sebagai ‘mesin politik’ dan ‘mesin uang’ bagi golongan yang berkuasa. Golongan yang berkuasa yang memerintah biasanya selalu membawa jargon bahwa sumber daya alam (SDA) untuk semua masyarakat, tetapi dalam praktik-praktik bisnis dan pemenfaatan SDA tersebut selalu lebih menguntungkan golongan dan kelompoknya sendiri.

Di sinilah sesungguhnya dasar-dasar ketidakadilan pemenfaatan SDA berupa hutan berakar, dan ekonomi politik kekuasaan negaralah yang sesungguhnya telah memanipulasi semua model-model pengelolaan SDA hutan di dunia, Indonesia adalah bagian dari sekenario global yang mana SDA hutanya telah terekploitasi sejak zaman kolonial (penjajahan) hingga abad melinium ini. Perspektif pemikiran yang melatarbelakangi konsep dan pelaksanaan pengelolaan serta pemanfaatan hutan di Indonesia adalah perspektif Negara, dimana PEMERINTAH MENJADI PEMAIN TUNGGAL DALAM MENETAPKAN dan MENGATUR PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN SUMBER DAYA HUTAN, kepada siapa hutan tersebut di serahkan untuk di manfaatkan sangat di pengaruhi oleh KEPENTINGAN dan TAWAR-MENAWAR POLITIK PENGUASA dan PERAKTISI BISNIS. Kenyataan ini di perparah lagi oleh peta politik yang paling khas pada saat ini adalah terjadinya perpindahan kekuasaan politik dan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, artinya sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat di serahkan kepada pemerintah otonom kabupaten dan kota. Dari sini, beragam penyimpangan pun ditengarai terjadi, hinggalah Pemerintah bersama-sama perusahaan akan memaksakan kehendaknya terhadap Rakyat.

Baru-baru ini Drs Irwan Nasir Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti melakukan konfrensi pers dengan wartawan. konfrensi pers di lakukan di ruang rapat kantor Bupati Meranti di Jalan Dorak, pada Rabu tanggal 4 Mei 2011.

Dalam konfrensi persnya dengan wartawan Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti membantah tudingan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang mengatakan Pulau Padang kosong tidak berpenghuni.

''Saya tidak pernah mengatakan Pulau Padang itu kosong dan tak berpenghuni. Di pulau Padang itu ada 50 ribu jiwa. Di pulau Padang itu ada 14 desa dan satu pemerintan kecamatan. Itu fakta dan tidak mungkin saya menafikan hal tersebut, mereka semua adalah masyarakat Meranti.

Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti mengakui beberapa waktu lalu Pemkab Meranti sempat bertemu dengan Kementerian Kehutanan di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Dirjen Kehutanan memaparkan terjadinya aksi penolakan HTI oleh puluhan petani Pulau Padang.

Di hadapan wartawan Drs Irwan Nasir menyampaikan "Substansi persoalan yang kita sampaikan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin HTI. Persoalan izin HTI adalah kewenangan pusat dan jangan lagi dibolak-balikan fakta menjadi tanggung jawab daerah.

Menurut kami Bantah-bantahan dan saling Tuding antara Bupati dan Menhut seperti di atas hal ini semakin memperkuat anggapan masyarakat bahwa sebenarnya Negeri ini sudah Carut Marut.

Padahal sudah sangat jelas berdasarkan surat pemanggilan Bupati yang di layangkan oleh Kementerian Kehutanan Pada tanggal 25 April 2011 tersebut dapat di pahami bahwa pertemuan akan di laksanakan tanggal 28 April 2011 pada hari Kamis, jam 2 Siang antara pihak Kementerian Kehutanan, Pihak masyarakat dengan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti untuk membahas tuntutan kami.

Sepemahaman kami, pada 28 April 2011 pada hari Kamis, dari jam 2 siang seharusnya pertemuan antara pihak Kementerian Kehutanan, Pihak masyarakat dengan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti untuk membahas tuntutan kami sudah di mulai.
tapi kenyataanya tepat pada jam 4 sore Tujuh orang delegasi Perwakilan Masyarakat Baru di panggil, itupun setelah kami melakukan Aksi Pemblokiran Jalan.

Tujuh orang delegasi diantaranya:
1. Wiwik widyanarko Selaku Sekjend Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Nasional (KPP-STN).
2. Sutarno Selaku Sekretaris Komite Pimpinan Daerah-Serikat Tani Riau (KPD-STR) Kabupaten Kepulauan Meranti.
3. Pairan Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Lukit 4. Zainal Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Mekarsari.
5. Darwis Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Pelantai.
6. Toyip Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Mengkirau.
7. Jumiran Selaku anggota Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Meranti Bunting.

Ke 7 Orang ini dikirim untuk bertemu dengan Menteri Kehutanan dan Bupati. Pertemuan dilangsungkan di sebuah ruangan khusus di lantai 4 sebuah ruangan yang tidak terlalu besar gedung Kementerian Kehutanan para delegasi perwakilan kami disambut oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan jajarannya. Di pertemuan tersebut sama sekali tidak terlihat adanya Bapak Drs Irwan MSi selaku Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti di ruangan tersebut.

Ketidak hadiran Drs Irwan MSi selaku Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti di ruangan tersebut sangatlah jelas-jelas melanggar janji-janji yang ada terhadap masyarakat dalam penyelesaian persoalan Ini, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti juga tidak menghargai upaya yang sedang di lakukan masyarakat Pulau Padang selama ini. Padahal Masyarakat memegang janji Wakil bupati Bapak Masrul Kasmi yang pernah mengajak kami secara bersama-sama untuk mendatangi pusat untuk merinta SK HTI di Meranti dilakukan peninjauan ulang. Sebagaimana termuat di pemberitaan riaupos.com pada 13 Oktober 2010. ‘’Kami akan membentuk tim gabungan untuk kembali menyelesaikan permasalahan itu ke provinsi dan ke pusat. Kalau mau mari kita secara bersama untuk mendatangi pusat dan meminta untuk dilakukan peninjauan ulang,’’

Menurut kami saling bantah antara Menhut dan Bupati ini bisa saja merupakan Sekenario Politik.

Harapan Drs Irwan Nasir bahwa Pihak perusahan juga harus komit untuk tidak masuk dalam areal lahan masyarakat. serta mengharapkan pihak perusahaan mematuhi aturan Undang-Undang, bagi kami Harapan yang di sampaikan oleh Bapak Bupati itu merupakan suatu suatu sikap yang tidak mengakomodir Aspirasi Masyarakat dan meninggalkan Satu aspek yang menjadi persoalan mendasar yaitu Kerusakan Lingkungan.

Kami sangat menyayangkan dan sangat menyesalkan Sikap Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti yang mengatakan di hadapan Wartawan, bahwa pihak perusahaan di anggap sudah terlanjur melakukan aktifitas pengelolaan HTI Seperti PT.SRL di Pulau Rangsang dan PT.RAPP di Pulau Padang.

Di hadapan wartawan Drs Irwan Nasir mengatakan "Kita tidak ingin hasil hutannya diambil, lantas perusahaan pergi. Harus ada realiasi tanggung jawab moral dan sosial pada daerah. Perusahaan HTI yang sudah terlanjur melakukan operasional, harus bertanggung jawab terhadap penyelamatan pulau Padang dan Pulau Ransang. Komitmen ini akan kita tuangkan dan kita kukuhkan dalam perda. Mau tidak mau RAPP dan SRL harus ikut aturan.

Hal yang di ungkapkan Drs Irwan Nasir sangat bertentangan dengan Kenyataan yang terjadi di lapangan, Karena tau 6 (Enam) Unit Excavator PT.RAPP yang tetap di paksakan masuk ke pulau padang dengan pengawalan Pihak Keamanan tersebut untuk melakukan pembuatan jalan dengan menyusun Kayu-kayu di Tanjung Padang sebagai landasan untuk menaikan 1.025 ( Seribu Dua Puluh Lima) Alat Berat milik mereka diantaranya 244 ( Dua Ratus Empat Puluh Empat) Unit Excavator untuk meluluh lantakkan Pulau ini dengan luasan Garapan 30.087 (Tiga Puluh Ribu Delapan Puluh Tujuh) Ha. Melalui keputusan Direktur Utama PT.RAPP Nomor:SK.06/RAPP/III/2011 tentang Pengesahan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemenfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industeri (RKTUPHHK HTI) Tahun 2011 A.N.PT.RAPP Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Jadi sangat jelas ini tidak terlanjur, tetapi di terlanjurkan oleh Pemerintah.

Masih teringat jelas oleh kami di saat kami melakukan unjuk rasa dari dua pulau, yakni Pulau Padang, dan Pulau Rangsang ke Kantor Bupati Kepulauan Meranti untuk menolak Perusahaan Hutan Tanaman Industri, pada Senin tanggal 11 Oktober 2010.

Wakil Bupati Kepulauan Meranti Drs Masrul Kasmy MSi dengan didampingi, Asisten I Setdakab H Fatur Rahman, Kabag Tapem Setdakab H Nuriman juga dari pihak eksekutif yakni, Wakil Ketua DPRD M Tofikurrohman SPd MSi, Dedi Putra SHi, Edy Amin SPdi, Basiran SE MM, Hafizan Abas MPd, dan sejumlah anggota dewan lainya yang menerima perwakilan Kami dari masyarakat sebanyak 10 orang untuk dilakukan diskusi terhadap tuntutan penolakan Perusahaan Hutan Tanaman Industri tersebut.

Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Masrul Kasmy MSi saat menerima kami mengatakan, bahwa pihaknya (eksekutif atau Pemkab) dengan tegas menolak aksi HTI yang dilakukan oleh beberapa perusahaan di Meranti termasuk PT.RAPP di Pulau Padang. Bapak Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Masrul Kasmy MSi juga mengatakan, Bupati Meranti Drs Irwan MSi juga telah melayangkan surat sikap Pemkab Meranti yang menolak HTI pada 3 Oktober 2010 lalu kepada pusat melalui Gubernur.

‘’Sejak Meranti di pimpin oleh penjabat (Pj) Bupati Meranti Drs Samsyuar MSi, sampai sekarang, zamannya Bupati Definitif Drs Irwan Nasir MSi, telah dua kali Pemkab Meranti melayangkan surat pernyataan ketegasan menolak HTI di Meranti’’ tegas Masrul.

Sehingga surat pernyataan ketegasan menolak HTI di Meranti di balas oleh pihak Kementrian Kehutanan Seperti Di bawah ini.
Nomor : 5.1055/VI-BPHT/2010
Lampiran :
Hal : Mohon Ditinjau Ulang Izin Operasi PT. SRL, PT. LUM dan PT. RAPP

Kepada Yth. :
Ketua DPRD Kabupaten Kepualaun Meranti
Selat Panjang

Sehubungan dengan surat saudara Nomor 661/DPRD/VII/2010/42 tanggal 30 Juli 2010 perihal tersebut diatas, bersama ini disampiakan hal-hal sebagai berikut:
1. Kami menghargai usulan saudara untuk menijau kembali IUPHHK-HTI PT. Sumatra Riang Lestari yang sebgian areal kerjanya berada di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, tetapi perlu kami jelaskan bahwa:

1.1. PT. Lestari Unggul Makmur (PT.LUM)
1.1.1. Memperoleh rekomendasi Bupati melalui Surat No. 522.1/PUK/270 tanggal 11 Mei 2006

1.1.2. Persetujuan AMDAL Gubernur Riau No. KPS. 553.a/XI/2006 tanggal 20 November 2006

1.1.3. Memperoleh SK IUPHHK-HTI definitive seluas lebih kurang 10.390 Ha di Provinsi Riau melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 217/Menhut-II/2007 tanggal 31 Mei 2007.

1.2. PT. Sumatra Riang Lestari (PT. SRL)

1.2.1. Memperoleh rekomendasi :

a. Bupati Rokan Hilir No: 522.3/DISHUT/00.46 tanggal 15 Desember 2005;

b. Bupati Bengkalis No: 522.1/Hut/76 tanggal 7 September 2005;

c. Bupati Indra Giri Hilir No: 11/IP/XI/2004 tanggal 24 Agustus 2004

1.2.2. Persetujuan AMDAL Gubernur Riau No. KPTS.566/XII/2005 tanggal 28 Desember 2005

1.2.3. Memperoleh SK IUPHHK-HTI definitif seluas lebih kurang lebih 215.305 Ha di Provinsi Sumatera Utara dan No. SK.262/Menhut-II/2004 tanggal 21 Juli 2004 jis No. SK.99/Menhut-II/2006 tanggal 11 April 2006 dan No. SK.208/Menhut-II/2007 tanggal 25 Mei 2007.

1.3. PT. Riau Andalan Plup And Paper (PT.RAPP)

1.3.1. Memperoleh Rekomendasi :

a. Bupati Pelalawan Nomor 522.1/DISHUT/III/2005/233 tanggal 8 Maret 2005 dan Nomor 522/DISHUT/801

b. Bupati Bengkalis Nomor 522.1/HUT/820 tanggal 11 Oktober 2005

c. Bupati Siak Nomor 523.33/EK/2006/17 tanggal 24 Januari 2006

d. Gubernur Riau Nomor. 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004

1.3.2. Persetujuan AMDAL Gubernur Nomor KPTS 667/XI/2004 tanggal 11 November 2004

1.3.3. Memperoleh SK IUPHHK-HTI definitif seluas lebih kurang 350.165 Ha di

Provinsi Riau melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 130/KPTS-II/1993 tanggal 27 februari 1993 jis Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 137/KPTS-II/1997 tanggal 10 Maret 1997 dan keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.356/MENHUT-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009.

2. Ketiga IUPHHK-HTI tersebut saat ini tercatat sebagai HTI yang sah dan aktif yang memiliki Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) dan Rencana Kerja Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu Pada Huatan Tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) tahun berjalan. Seluruh areal kerja IUPHHK-HTI harus berpedoman pada Peraturan Menteri Kehutanan No. 39/Menhut-II/2008 tanggal tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminstratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan.

3. Dalam rangka mengakomodir aspirasi masyarakat dan peningkatan kesejahtraan masyarakat asli setempat dapat dilaksanakan melalui pola kemitraan dalam pengelolaan tanaman kehidupan.

Ketika Pulau Rangsang dengan PT.SRLnya dan Pulau Padang dengan PT.RAPP Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti mengatakan Perusahaan Telah Terlanjur Namun entah kenapa sikap berbeda diperlihatkan Irwan terhadap perizinan HTI PT. LUM di Kecamatan Tebing Tinggi. Irwan dengan tegas meminta agar Kementerian Kehutanan mencabut rekomendasi izinnya. Selain perusahaan tersebut belum melakukan operasionalnya, dengan alasan Pemkab Meranti tidak ingin seluruh daerah ini disulap menjadi kawasan HTI.

Pembentukan Kabupaten Meranti merupakan pemekaran dari kabupaten Bengkalis dibentuk pada tanggal 19 Desember 2008, Dasar hukum berdirinya kabupaten Kepulauan Meranti adalah Undang-undang nomor 12 tahun 2009, tanggal 16 Januari 2009.

Tuntutan pemekaran kabupaten Kepulauan Meranti sudah diperjuangkan oleh masyarakat Meranti sejak tahun 1957. Seruan pemekaran kembali diembuskan oleh masyarakat pada tahun 1970 dan 1990-an hingga tahun 2008, yang merupakan satu-satunya kawedanan di Riau yang belum dimekarkan saat itu,dengan perjuangan gigih sejumlah tokoh masyarakat Meranti maka pada tanggal 25 Juli 2005 dibentuklah Badan Perjuangan Pembentukan Kabupaten Meranti (BP2KM) sebagai wadah aspirasi masyarakat Meranti untuk memekarkan diri dari kabupaten Bengkalis.

Carut marutnya dinamika Politik yang penuh Intervensi dari Para pemilik modal cukup mempengaruhi bangsa ini untuk tidaklagi mengerti dan memahami cita-cita Kemerdekaan. begitu juga di kabupaten kepulauan meranti yang dulunya merupakan bagian dari kabupaten bengkalis.

Karna pemekaran di gagas adalah untuk kesejahteraan rakyat untuk itu tentunya setiap kebijakan Politik Pemerintah seharusnyalah berdasarkan Persetujuan Rakyat dalam bentuk apapun dan dalam persoalan apapun.

Perjuangan kemerdekaan NKRI adalah awal dari sebuah harapan Kesejahteraan oleh Rakyat di Negeri ini. Wajar dan pantaslah pertumpahan darahpun di relakan oleh bapak bangsa selama beratus-ratus tahun yang pada akhirnya terkubur di pusara,. Mereka memilih Kebenaran dalam Penderitaan untuk merintis jalanya Kemerdekaan ini tentunya hanya dikarnakan satu alasan yaitu Bangsa ini tidak pantas hidup miskin di nergeri yang kaya akan Sumber Daya Alam ini.

Oleh karna itu cita-cita suci bapak bangsa ini haruslah kembali di rintis dan di gagas oleh orang-orang yang memiliki kesadaran politik.

Jangan tambah beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk pada masyarakat ini. Karena beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk yang kemudian menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap pemerintah. Itulah yang menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa kerajaan. Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar