Selasa, 01 Maret 2011

Mafia Tanah Bermodus Kelompok Tani

Kelompok tani secara tidak langsung dapat dipergunakan sebagai salah satu usaha untuk meningkatkan produktivitas usaha tani melalui pengelolaan usaha tani secara bersamaan. Kelompok tani juga digunakan sebagai media belajar organisasi dan kerjasama antar petani. Dengan adanya kelompok tani, para petani dapat bersama – sama memecahkan permasalahan yang antara lain berupa pemenuhan sarana produksi pertanian, teknis produksi dan pemasaran hasil.
Kelompok tani sebagai wadah organisasi dan bekerja sama antar anggota mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat tani, sebab segala kegiatan dan permasalahan dalam berusaha tani dilaksanakan oleh kelompok secara bersamaan. Melihat potensi tersebut, maka kelompok tani perlu dibina dan diberdayakan lebih lanjut agar dapat berkembang secara optimal. Tanah begitu penting artinya bagi seluruh kehidupan di bumi karena ia menyediakan unsur hara dan air yang diperlukan makhluk hidup. Tanah juga berfungsi sebagai penopang akar tumbuhan serta tempat hidupnya berbagai macam mikroorganisme.

Bagi manusia, tanah merupakan lahan yang bisa diolah demi kelangsungan hidupnya. Begitu pula dengan hewan darat, tanah menjadi sarana agar mereka dapat bergerak bebas. Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan tropik ketiga di dunia, dengan ekosistem yang beragam mulai dari hutan tropik dataran rendah dan dataran tinggi sampai dengan hutan rawa gambut, rawa air tawar dan Hutan Bakau (mangrove). Hutan di Indonesia juga dikenal memiliki keanekaragaman hayati yang yang sangat tinggi, sehingga memiliki peranan yang baik ditinjau dari aspek ekonomi, social budaya maupun ekologi. Namun, seiring dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi nasional, tekanan terhadap simber daya hutan semakin meningkat.

Salah satu kesulitan pengelolaan hutan saat ini adalah mengenai luas wilayah hutan yang sebenarnya dimiliki oleh negara kita masih menjadi perdebatan. Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan pengertian hutan adalah sebagai berikut :

”Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya lama hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.”



Berdasarkan pengertian tersebut maka luas hutan di Indonesia menurut penelitian pada tahun 1990-1994 adalah 109 Ha atau 57% dari luas daratan nasional. Tetapi luas ini terus menurun dari tahun ke tahun. Bahkan pada pertengahan tahun ini Indonesia dikatakan mengalami deforestasi terbesar di dunia.

Dalam Agenda 21 Indonesia, Bappenas menyoroti bahwa faktor-faktor yang menekan hutan Indonesia adalah sebagai berikut :

1. Pertumbuhan Penduduk dan penyebarannya yang tidak merata
2. Konversi hutan untuk pertambangan dan pengembangan perkebunan
3. Pengabaian atau ketidak tahuan mengenai pemilikan lahan secara tradisional (adat) dan peranan hak adat dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
4. Program Transmigrasi
5. Pencemaran industri dan pertanian pada hutan lahan basah
6. Degradasi hutan bakau karena dikonversi menjadi tambak
7. Pemungutan spesies hutan secara berlebihan
8. Introduksi spesies eksotik.

Menurut Status Lingkungan Hidup Jawa Barat 2005, penyebab penurunan hutan di daerah Jawa Barat, bermacam-macam mulai dari perambahan hutan yang berkaitan dengan krisis ekonomi, tingginya kebutuhan akan lahan pertanian, masalah-masalah kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya hutan, hingga inkonsistensi antara rencana tata ruang dan implementasinya di tingkat lapangan. Bila dikelompokkan, maka masalah-masalah utama pengelolaan hutan di Jawa Barat terdiri atas :

1. Masalah yang terkait dengan pola pengelolaan sumberdaya hutan (masalah filosofik dan konsep pengelolaan sumberdaya hutan)
2. Masalah meningkatnya penebangan kayu ilegal
3. Masalah perambahan hutan

Pola pengelolaan sumberdaya hutan di Jawa Barat selama ini terlalu berorientasi pada tujuan ekonomi jangka pendek melalui pola pemanfaatan hasil hutan kayu. Hal ini tidak/kurang sesuai dengan karakteristik biofisik dan sosial-budaya Jawa Barat yang lebih tepat menekankan pada pola pengelolaan sumberdaya hutan berbasis ekowisata dan fungsi/hasil hutan bukan kayu (non timber forest products). Penebangan kayu ilegal umumnya terkait dengan masalah besarnya tekanan penduduk (lokal) terhadap lahan termasuk sumberdaya hutan, kapasitas industri yang melebihi pasokan kayu legal, dan masalah konsistensi dan penegakan hukum. Sedangkan masalah perambahan hutan oleh masyarakat lokal yang tinggal di sekitar hutan terjadi karena mereka merasa tidak dilibatkan dalam pengelolaan hutan oleh pemerintah dan/atau pengusaha.

Kerusakan hutan juga disebabkan oleh proses pembuatan kebijakan pengelolaan hutan yang tidak transparan karena diatur oleh wewenang negara, tanpa ada ruang untuk berbeda pendapat. Proses pembuatan keputusan bersifat sentralistik dan hirarkis serta mengabaikan masyarakat lokal dan daerah. Sehingga melihat berbagai persoalan yang telah dijabarkan sebelumnya, keterlibatan masyarakat lokal dan daerah merupakan hal yang sangat penting dalam pengelolaan hutan.





II. Hubungan Masyarakat dengan Hutan

Manusia tidak bisa dipisahkan dengan lingkungannya, bahkan sangat tergantung pada lingkungannya. Untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, manusia memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di lingkungan sekitarnya.

Dalam memanfaatkan sumber daya alam sebagai wujud mata pencaharian, kegiatan manusia mengalami tahap perkembangan, yaitu (a) sebagai pemburu dan peramu (huntering and gathering); (b) peternak, penanam tanaman di ladang secara berpindah-pindah (nomaden), penangkap ikan; dan (c) penanaman tanaman secara menetap dengan memanfaatkan pupuk kimia, pestisida dan irigasi (Iskandar : 2001).

Melalui tahap perkembangan itu manusia belajar mengelola lingkungannya. Tetapi seiring dengan perkembangan manusia terutama sejak revolusi industri, perkembangan manusia telah menyebabkan permasalahan lingkungan yang sangat kompleks disebabkan oleh eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam.

Sebanyak 65 juta Rakyat Indonesia hidupnya bergantung pada hutan. Ini meliputi penduduk asli, transmigran yang sudah lama, trnsmigran resmi dan swakarsa yang baru di luar pulau Jawa serta petani dan masyarakat kesukuan di berbagai pulau. Lahan hutan yang ditempati dan/atau “dimiliki” oleh penduduk setempat diperkirakan antara 10% sampai 60% dari seluruh lahan hutan.

Masyarakat yang hidupnya bergantung dari hutan ini seringkali merupakan kelompok yang paling miskin di Indonesia. Dari 25,9 juta orang yang dikategorikan miskin di Indonesia, 34% hidup di dan di sekitar hutan, Diperkirakan pada tahun 2008, sekitar 40% penduduk pedesaan di Indonesia bergantung pada hutan untuk mata pencahariannyanya. Melihat fakta diatas maka hutan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan sebagian besar masyarakat Indonesia.

Timbulnya konflik terjadi ketika klasifikasi fungsional modern dan pengembangan kehutanan seringkali bertentangan dengan hukum adat dan kepemilikan adat masyarakat. Batas yang tidak jelas antara wilayah konsesi penebangan dan kegiatan kehutanan lainnya dengan hutan masyarakat. Juga tumpang tindih lahan hutan milik pemerintah dengan lahan tempat masyarakat bertani, berburu, memancing dan menghasilkan hasil hutan non-kayu. Seringkali menimbulkan dampak yang serius pada masyarakat setempat.

Di Pulau Jawa, penyebab timbulnya konflik adalah kepemilikan lahan yang tidak jelas serta persaingan atas lahan dan sumberdaya alam. Hal-hal tersebut menyebabkan hilangnya akses ekonomi dan sosial budaya atas sumberdaya hutan, sehingga mengarah pada konflik antar perusahaan-perusahaan kehutanan dengan masyarakat maupun antara pegawai kehutanan dengan masyarakat.

Fakta mengenai kedudukan hutan pada masyarakat Indonesia dan penyebab-penyebab timbulanya konflik maka untuk malaksanakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan peran serta masyarakat diperlukan, sehingga masyarakat tidak lagi sekedar menerima dampak tetapi ikut merasakan keuntungan pengelolaaan hutan yang dapat meningkatkan kesejateraan mereka.



III. Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam

Tantangan terbesar bagi pengelolaan sumber daya alam adalah menciptakan kemudian mempertahankan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan terhadap manusia dan keterlanjutan pemanfaatan dan keberadaan sumberdaya alam (Asdak:2002). Karena yang terjadi pada saat ini adalah pemenuhan kebutuhan manusia yang berlebihan telah menyebabkan semakin berkurangnya sumber daya alam.

Sampai saat ini pengelolaan sumber daya alam masih belum memberikan nilai yang cukup berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Degradasi sumber daya alam sebagian besar disebabkan oleh menguatnya krisis persepsi yang bersumber pada paradigma pengelolaan sumber daya alam yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek dan terlalu memanjakan kepentingan manusia.

Hal ini dapat dibenahi melalui perubahan paradigma sektoral menjadi terpadu. Koordinasi dan kerjasama antar sektor harus berbasis pemberdayaan masyarakat, sehingga partisipasi masyarakat sebagai mitra dalam pembangunan sosial ekonomi menjadi penting dan diawali dengan pemberdayaan masyarakat lokal (Adimihardja dkk : 2004).

Pemanfaatan sumber daya alam harus memperhatikan patokan sebagai berikut :

1. Daya guna dan hasil guna yang dikehendaki harus dilihat dalam batas-batas yang optimal sehubungan dengan kelestarian sumber daya yang mungkin dicapai.

2. Tidak mengurangi kemampuan dan kelestarian sumber alam lain yang berkaitan dalam suatu ekosistem.

3. Memberikan kemungkinan untuk mrngadakan pilihan penggunaan dalam pembangunan di masa depan (Haeruman:1982).

Pemanfaatan hutan menurut Undang-Undang Kehutanan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Maka kata kunci yang menjadi penting bagi pengelolaan hutan adalah konservasi dan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan Hutan harus memberikan manfaat bagai masyarakat yang berada di dan di sekitar hutan itu sendiri. Sehingga keterlibatan masyarakat menjadi hal yang mutlak dilakukan.

Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumber daya sangat berguna karena dapat :

1. Merumuskan persoalan dengan lebih efektif
2. Mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah
3. Merumuskan alternative penyelesaian masalah yang secara sosial dapat diterima
4. Membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan (Mitchell et.al; 2003)

Canter (1997) mendefinisikan peran serta masyarakat sebagai proses komunikasi dua arah yang terus menerus untuk meningkatkan pengertian masyarakat atas suatu proses dimana masalah-masalah dan kebutuhan lingkungan sedang dianalisa oleh badan yang bertanggung jawab. Secara sederhana ia mendefinisikan sebagai feed-forward information (komunikasi dari pemerintah kepada masyarakat tentang suatu kebijakan) dan feedback information (komunikasi dari masyarakat ke pemerintah atas kebijakan itu).

Cormick (1997) membedakan peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdasar sifatnya, yaitu :

1. Bersifat Konsultatif, pada bentuk ini anggota – anggota masyarakat mempunyai hak untuk didengar pendapatnya, dan untuk diberitahu, tetapi keputusan akhir tetap di tangan pejabat pembuat keputusan.

2. Bersifat Kemitraan, pejabat pembuat keputusan dan anggota-anggota masyarakat merupakan mitra yang relatif sejajar kedudukannya. Mereka bersama-sama membahas masalah, mencari alternatif pemecahan masalah dan membuat keputusan.

Dengan melibatkan masyarakat yang potensial terkena dampak dari kebijakan, para pengambil keputusan dapat menangkap pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan menuangkannya ke dalam konsep. Pandangan dan reaksi masyarakat itu akan menolong pengambil keputusan untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah yang positif dari berbagai faktor.

Agar peran serta masyarakat dapat menjadi efektif dan berdaya guna, perlu dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan mengumumkan rencana kegiatannya.
2. Informasi lintas batas, masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah.
3. Informasi tepat waktu, peran serta masyarakat membutuhkan informasi sedini dan seteliti mungkin, sehingga bisa dibuat alternatif-alternatif.
4. Informasi yang lengkap dan menyeluruh.
5. Informasi yang dapat dipahami (Hardjasoemantri : 1990).

Kegunaan peran serta masyarakat menurut Santosa (1990) dalam tesisnya antara lain sebagai berikut :

1. Menuju Masyarakat yang lebih bertanggung jawab.
2. Meningkatkan proses belajar.
3. Mengeliminir perasaan terasing.
4. Menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana pemerintah.
5. Menciptakan kesadaran berpolitik.
6. Keputusan dari hasil peran serta mencerminkan kebutuhan dan keinginan masyarakat.
7. Menjadi sumber dari informasi yang berguna.
8. Merupakan Komitmen sistem demokrasi.



IV. Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan

Banyak cara melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Seperti telah diuraikan sebelumnya, ketergantungan utama masyarakat pada hutan adalah karena hutan menjadi satu-satunya sumber daya bagi mereka. Sehingga sulit untuk mengharapkan mereka turut serta melestarikan hutan tanpa memberikan alternatif sumber daya bagi mereka.

Masyarakat yang tergantung pada hutan ada yang bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti pangan dan energi, adapula yang menjadikan sebagai mata pencaharian. Masyarakat yang menjadikan hutan sebagai mata pencaharianlah yang patut diwaspadai. Mereka memandang hutan sebagai sumber daya yang dapat menghasilkan uang untuk membayar kebutuhan sehari-hari, oleh karena itu harus dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan sangatlah banyak yakni dengan memberi bantuan, mobilisasi atau menggerakkan masyarakat, instruksi, membayar masyarakat sebagai tenaga kerja, bagi hasil, bahkan eksploitasi masyarakat atau benar-benar sebagai mitra yang sejajar dalam setiap pengambilan keputusan, perencanaan dan implementasinya.

Tingkat keterlibatan masyarakat selain ditentukan oleh pihak mana yang dominan, pembagian peran dan kesepakatan atau perjanjian antara pihak yang melibatkan masyarakat dengan masyarakat juga sangat ditentukan oleh status kepemilikan atau penguasaan lahan atau kawasan hutan.

Peran serta masyarakat juga sangat tergantung kesepakatan kedua belah pihak apakah bekerja sebagai buruh atau sebagai mitra untuk bagi hasil yang seimbang dengan sumbangan atau modal yang ditanamkan oleh masing-masing pihak. Jika lahan milik perorangan atau masyarakat maka di situ bisa muncul PHBM murni karena semua perencanaan, pengambilan keputusan dan pelaksanaan dan pengambilan hasil dilakukan sendiri oleh masyarakat (Djogo:2004).

Ada berbagai model dan nama pengelolaan hutan berbasis atau berorientasi pada masyarakat di Indonesia tergantung pada cara pandang berbagai pihak. Nama/model itu antara lain:

1. HPH Bina Desa
2. Hutan Adat
3. Hutan Desa
4. Hutan Kampung
5. Hutan Keluarga
6. Hutan Kemasyarakatan
7. Hutan Rakyat
8. Kehutanan Masyarakat
9. Pembinaan Masyarakat Desa Hutan (PMDH)
10. Pengelolaan Hutan Oleh Masyarakat (PHOM)
11. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM)
12. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM)
13. Pengelolaan Hutan Bersama secara Adaptif (PHBA)
14. Pengelolaan Hutan dalam Kemitraan
15. Perhutanan Sosial
16. Sistem Hutan Kerakyatan

Sedangkan menurut Pasal 68 Undang-Undang No. 41 tahuan 1999 tentang Kehutanan, peran serta masyarakat berupa :

1. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan.

2. Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masyarakat dapat:

a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil htan, dan informasi kehutanan;

c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

3. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundanga-undangan yang berlaku. Pentingnya pembinaan petani dengan pendekatan kelompok tani juga dikemukakan oleh Mosher (1968) dalam Djiwandi (1994) bahwa salah satu syarat pelancar pembangunan pertanian adalah adanya kegiatan petani yang tergabung dalam kelompok tani. Mengembangkan kelompok tani menurut Jomo (1968) dalam Djiwandi (1994) adalah berarti membangun kemauan, dan kepercayaan pada diri sendiri agar dapat terlibat secara aktif dalam pembangunan. Disamping itu agar mereka dapat bergerak secara metodis, berdayaguna, dan teroganisir. Suatu gerakan kelompok tani yang tidak teroganisir dan tidak mengikuti kerjasama menurut pola-pola yang maju, tidak akan memecahkan problem-problem yang dihadapi petani.
Kelompok tani, menurut Deptan RI (1980) dalam Mardikanto (1996) diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada dilingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani.
Beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani itu, antara lain diungkapkan oleh Torres (Wong, 1997) dalam Mardikanto (1996) sebagai berikut:
a. Semakin eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok.
b. Semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerjasama antar petani.
c. Semakin cepatnya proses difusi penerapan inovasi atau teknologi baru.
d. Semakin naiknya kemampuan rata-rata pengembalian hutang petani.
e. Semakin meningkatnya orientasi pasar, baik yang berkaitan dengan masukan (input) atau produk yang dihasilkannya.
f. Semakin dapat membantu efesiensi pembagian air irigasi serta pengawasannya oleh petani sendiri.
Sedangkan alasan utama dibentuknya kelompok tani adalah :
a. Untuk memanfaatkan secara lebih baik (optimal) semua sumber daya yang tersedia.
b. Dikembangkan oleh pemerintah sebagai alat pembangunan.
c. Adanya alasan ideologis yang “mewajibkan” para petani untuk terikat oleh suatu amanat suci yang harus mereka amalkan melalui kelompok taninya (Sajogyo, 1978 dalam Mardikanto, 1996). berbeda kenyataannya dengan di kabupaten kepulauan meranti, Kelompok Tani cendrung di jadikan alat untuk mendapatkan legitimasi untuk di terimanya sebuah Prusahaan HTI melakukan operasionalnya di sebuah areal yang hari ini di tentang oleh RAKYAT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar