Minggu, 19 Februari 2012

KEMENHUT “SEPERTI MIMPI DI SIANG BOLONG”

ZULKIFLI HASAN “SEPERTI MIMPI DI SIANG BOLONG”

Perjuangan rakyat Indonesia dalam merebut kedaulatan politik dan kemandirian ekonomi sejak pra kemerdekaan sampai saat ini masih menghadapi musuh yang sama yakni penjajahan modal oleh kaum Imperialisme-Neoliberalisme yang bersekutu dengan pemerintahan didalam negeri. Meskipun Kapitalisme telah terbukti gagal mensejahterakan mayoritas rakyat serta menuliskan sejarah suram dalam lembar sejarah peradaban masyarakat manusia, namun pemerintahan kaki tangannya didalam negeri tetap setia mengabdi untuk kepentingan tuan modalnya sehingga kenyataan sama harus di terima oleh masyarakat Pulau Padang sebagaimana Kementrian Kehutanan tetap mempertahankan PT.RAPP untuk tetap melaksanakan operasionalnya di wilayah Tanah Gambut ini.

Perlu kami tegaskan Sejak tanggal 16 Desember 2011 hingga detik ini telah terhitung hampir 3 (Tiga) bulan masyarakat Pulau Padang memilih bertahan di Jakarta. Banyak hal yang telah dialami oleh masyarakat Pulau Padang selama bertahan tersebut, SULATRA umur 37 tahun masyarakat desa Pelantai yang juga merupakan peserta AKSI JAHIT MULUT secara terpaksa harus kami larikan ke Rumah Sakit Jiwa Grogol. Masyarakat Pulau Padang telah berusaha mengikuti kemauan Pemerintah Pusat sesuai kesepakatan 5 Januari 2012, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti Riau telah mengeluarkan SURAT REKOMENDASI REVISI terhadap SK 327 Menhut Tahun 2009 Pada 8 Februari 2012.

1 (Satu) Hari menjelang tanggal 9 Februari 2012 dimana akhirnya petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dibantu petugas kepolisian Sektor Tanah Abang membongkar paksa tenda yang didirikan masyarakat Pulau Padang di depan gerbang Gedung DPR/MPR,Jl. Gatot Subroto, Jakarta Pusat ini. Sejarah tidak bisa di bungkam, baahwa sejak 10 Desember 2009 melalui Forum Masyarakat Peduli Lingkungan Kabupaten Kepuluan Meranti (FMPL-KM) hingga detik ini melalui Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKM-PPP) Perjuangan dalam upaya Penolakan HTI PT.RAPP Guna Penyelamatan Pulau Padang masih tetap berlanjut.

Kami masih mengingat jelas kejadian 6 Februari 2012. Pada saat itu ratusan karyawan kantor Kementrian Kehutanan di gedung Manggala Wanabhakti telah mengepung 16 orang masyarakat Pulau Padang yang berupaya mendirikan tenda di halaman kantor Kementrian Kehutanan. Dan kejadian itu terulang untuk yang ke dua kalinya pada tanggal 14 Februari 2012 disaat 46 orang masyarakat Pulau Padang menyerahkan SURAT REKOMENDASI REVISI terhadap SK 327 Menhut Tahun 2009 tersebut. Bahkan tidak hanya mengerahkan pegawai, Kemenhut juga mengerahkan milisi Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI).

Pulau Padang KIBARKAN BENDERA PERANG


KEMENTIRAN KEHUTANAN HARUS SEGERA MENGELUARKAN SURAT KEPUTUSAN REVISI TERHADAP SK Menhut No 327/Menhut-II/2009, Mengeluarkan Seluruh Blog Pulau Padang Dengan Luas Hamparan 41.205 Ha Dari Area Konsesi seperti yang di harapkan pada waktu itu kamis dimana Masyarakat Pulau Padang sebanyak 20 orang didampingi oleh anggota DPD RI provinsi Riau Intsiawati Ayus telah menandatangani kesepakatan bersama Dirjen Plannologi Bambang Supiyanto di kantor Kemenhut. Kesepakan tersebut sangat jelas menekankan bahwa: “Persoalan masyarakat pulau padang akan segera di tindaklanjuti apabila Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti mengeluarkan Surat Recomendasi Revisi terhadap SK Menhut No 327/Menhut-II/2009.

Dalam surat itu (No.100/Tapem/II/2012/18), Pemerentah Daerah telah menegaskan dukungannya terhadap perjuangan rakyat untuk mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari lahan konsesi PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang seluas 41.205 Ha. Pun, pihak legislative (DPRD) Kepulauan Meranti juga telah menyatakan sikap persetujuannya menentang keberadaan PT. RAPP di pulau itu. Sikap inilah yang dibutuhkan oleh rakyat, agar pemerintah menjadi penyambung lidah rakyat.
Kesamaan sikap antara rakyat dan pemerintah di Kepulauan Meranti adalah “modal politik” untuk mencabut kebijakan politik yang tidak disetujui oleh rakyat. Sebab, kebijakan pemerintah yang dibuat secara sepihak ini membuahkan konflik agraria.
Konflik agrarian yang sudah berlangsung selama dua tahun itu, mengindikasikan “pemerintah gagal” memenuhi harapan rakyat. Pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis).

Inilah yang dialami oleh rakyat di Pulau Padang. Pemerintah bukannya menerima pendapat mayoritas rakyat, sebaliknya mengorganisir dan memaksa pemerintah-pemerintah desa untuk bersetuju dengan konsesi PT. RAPP.

Selain itu, pemerintah juga memaksakan solusi yang tidak populis, misalnya, scenario penanaman sagu hati dengan pola kemitraan. Dan pemerintah juga “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.
Kami menggangap bahwa cara pemaksaan kehedak oleh pemerintah hanya akan memicu timbulnya konflik baru seperti konflik agrarian di daerah lain, dimana pemerintah telah kehilangan kepercayaan dari rakyat.

Disisi lain, maksud baik pemerintah untuk untuk mengundang investasi asing atau juga modal swasta agar ada tambahan income dan lapangan kerja hanyalah “mimpi disiang bolong”. Pemerintah hanya mengejar “recehan uang saku” dan pajak, dan bukannya mengoptimalkan sumberdaya alam untuk kepentingan nasional, tetapi juga masuknya investasi justru mengancam dan merampas sumber kehidupan rakyat. Hal ini tentunya senada dengan sejarah, banyak tercatat bahwa peperangan antar suku dalam negara dan peperangan antar negara di dunia ini umumnya dikarenakan perebutan kekuasaan atas Sumber Daya Alam ( Hutan, Tambang, Air dan Lahan). Karena sumber daya alam (SDA) tersebut merupakan sumber daya alam yang di perebutkan, maka sejarah mencatat penguasa dan pemerintah sangat berkepentingan dengan SDA yang di miliki oleh sebuah negara. Dengan demikian bukanlah sesuatu yang sangat menakjubkan ketika pengambil kebijakan atau pemerintah di dalam sebuah Negara mendeklarasikan bahwa semua SDA yang ada di Negara tersebut di kuasai oleh Negara. Sebab Negara memiliki kepentingan maha hebat terhadap sumber daya alam tersebut, khususnya menjadikannya sebagai ‘mesin politik’ dan ‘mesin uang’ bagi golongan yang berkuasa. Golongan yang berkuasa yang memerintah biasanya selalu membawa jargon bahwa sumber daya alam (SDA) untuk semua masyarakat, tetapi dalam praktik-praktik bisnis dan pemenfaatan SDA tersebut selalu lebih menguntungkan golongan dan kelompoknya sendiri.

Dalam menyikapi persoalan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Kabupaten Kepulauan Meranti, FKM-PPP memandang keberadaan HTI jelas-jelas di tentang oleh Rakyat. Penolakan masyarakat terhadap HTI di kabupaten kepualuan meranti bukan tidak beralasan, ini dikarenakan HTI tidak terlepas dari sejarah konflik Agraria di Indonesia, khususnya di Riau.

Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khusunya Pulau Padang. Ketidakjelasan tersebut didukung dengan buramnya sistem administrasi pertanahan sehingga sebidang tanah pun bisa dimiliki oleh 2 hingga 3 orang. Bukan hanya itu Di Kabupaten Kepulauan Meranti dampak terhadap lingkungan yang juga menjadi PERTIMBANGAN MASYARAKAT TETAP TIDAK PERNAH Di PERDULIKAN.




Lagi-lagi rakyat harus mengakui bahwa Bangsa ini belum Merdeka secara politik dan ekonomi. Di usia yang masih muda, 2 Tahun Kabupaten Kabupaten Kepulauan Meranti, harapan untuk hidup yang lebih baik di masa yang akan datang telah musnah!!. Kementrian Kehutanan telah mengangkangi kesepakatan 5 Januari 2012, Untuk itu atas pernyataan Kementrian Kehutanan Zulkifli Hasan di Detik. Com yang mengatakan KONFLIK PULAU PADANG di anggap telah selesai dengan dilakukanya Inclaving melalui pemetaan ulang dan guna menetapkan tata batas agar tanah-tanah masyarakat dan perkampungan warga di keluarkan dari area konsesi.

Pemerintah nampak begitu sigap ketika menghadapi pujian dengan menyambut peluang investasi. Sementara itu, ketika menghadapi kasus-kasus konflik agraria dan protes rakyat, pemerintah malah mengambil langkah seribu alias kabur. Ini juga yang sempat dialami oleh rakyat Pulau Padang ketika mendatangi kantor Kemeterian Kehutanan, rakyat diperhadapkan dengan kekerasan pegawai dan aparat.

Jadi, konflik agraria yang terjadi saat ini disebabkan karena kebijakan yang pemerintah yang begitu liberal. Pemerintah salah urus. Pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat. Akibatnya, pemerintah seperti pembeo “mulut pengusaha”.

Semua ini tidak perlu terjadi bila saja pemerintah menjalankan amanat konstitusi dengan benar. Kembali menjalankan cita-cita konstitusi dengan benar, khususnya pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria tahun 1960.

Olehnya itu, tidak ada alasan bagi pihak pemerintah untuk menghindar dan menyetujui tuntutan rakyat. Apalagi ketika rakyat dan Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti sudah bersepakat untuk merevisi SK Menhut 327/2009 tentang HTI PT. RAPP.

Masyarakat Pulau Padang telah mempersiapkan Posko-posko perjuangan RAKYAT untuk menanti kedatangan Tim yang katanya Independent tersebut. Tidak ada pilihan lain bagi MENHUT kecuali merevisi SK Nomor 327/Menhut-II/2009untuk segera mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang yang seluas 41.205 Hektar dari areal konsesi PT. RAPP








Tidak ada komentar:

Posting Komentar