Minggu, 19 Februari 2012

GANTI RUGI LAHAN BUKAN SOLUSI

Benar bahwa beberapa hal yang menjadi catatan sejarah hitam kaum tani di Kabupaten-kabupaten Propinsi Riau, yang mengalami konflik agraria berdampak dengan perampasan tanah rakyat yang hingga saat ini belum terselesaikan terjadi sabagai dampak dari tidak adanya Tapal Batas yang jelas serta banyaknya Tanah garapan Rakyat secara terpaksa harus di akui telah di tindih oleh HPH/HTI perusahaan-perusahaan pensuply kayu ke perusahaan bubur kertas. Namun akan menjadi salah jika dalam penyelesaian Konflik di Pulau Padang pemerintah menyelesaikanya dengan cara MEMBERI SAGU HATI Atau GANTI RUGI. Sebab Kami masyarakat Pulau Padang memahami Pentingnya Sumber Daya Alam secara eksplisit di sebutkan dalam pazsal 33 ayat 3 Undang-undang dasar 1945, bahwa:
"bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"
Pasal ini mengamanatkan bahwa pemenfaatan Sumber daya alam harus di tujukan untuk kepentingan rakyat banyak. Sedangkan bagaimana Sumber daya alam itu seharusnya di kelola termaktub dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN)tahun 1973, telah di amanatkan betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya alam tersebut. Butir 10 menyatakan bahwa:

"dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumer alam indonesia harus di gunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus di usahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan pertimbangan kebutuhan generasi yang akan datang".

Menyadari keberadaan kawasan konsesi HTI di Pulau-pulau yang ada di kabupaten kepulauan Meranti seperti Pulau Padang, rangsang dan Tebing Tinggi bukan hanya mengancam keberlangsungan lingkungan hidup tapi juga mengancam eksistensi pulau terdepan Indonesia yang sangat strategis dalam aspek pertahanan dan keamanan nasional NKRI seperti pulau rangsang yang merupakan salah satu pulau kecil yang berbatasan langsung dengan Negara malaisia. Abrasi pantai akibat gelombang Laut semakin luas yang mengakibatkan luas pulau semakin kecil juga tidak terlepas dari pantauan masyarakat apalagi lahan konsesi memiliki radius yang terlalu dekat dengan biir pantai, yang mana dapat di pahami abrasi pantai pertahun sekitar 30 sampai 40 meter. selain itu Pulau-pulau terseut merupakan hutan rawa gambut yang apabila di tebang secara besar-besran akan sangat rentan terhadap subsistensi. kondisi struktur tanah umumnya di kawasan pesisir pantai adalah lahan gambut sehingga alih fungsi hutan alam telah mengakibatkan Intrusi (peningkatan kadar garam) yang sangat tinggi pada sumber-sumber mata air masyarakat.

Amanat GBHN itu telah mengandung jiwa " berkelanjutan " dengan menekankan perlunya memperhatikan kepentingan antargenerasi dan perlunya pengaturan penggunaan Sumber daya alam. pemenfaatan sumber daya alam yang tidak bijaksana akan menyebabkan kerusakan lingkungan. kerusakan lingkungan akan menggangggu keberlanjutan usaha pembangunan dan bahkan mengancam ekosistem dan peradaban manusia.

KEMENTIRAN KEHUTANAN HARUS SEGERA MENGELUARKAN SURAT KEPUTUSAN REVISI TERHADAP SK Menhut No 327/Menhut-II/2009, Mengeluarkan Seluruh Blog Pulau Padang Dengan Luas Hamparan 41.205 Ha Dari Area Konsesi seperti yang di harapkan pada waktu itu kamis dimana Masyarakat Pulau Padang sebanyak 20 orang didampingi oleh anggota DPD RI provinsi Riau Intsiawati Ayus telah menandatangani kesepakatan bersama Dirjen Plannologi Bambang Supiyanto di kantor Kemenhut. Kesepakan tersebut sangat jelas menekankan bahwa: “Persoalan masyarakat pulau padang akan segera di tindaklanjuti apabila Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti mengeluarkan Surat Recomendasi Revisi terhadap SK Menhut No 327/Menhut-II/2009.

Dalam surat itu (No.100/Tapem/II/2012/18), Pemerentah Daerah telah menegaskan dukungannya terhadap perjuangan rakyat untuk mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang dari lahan konsesi PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) yang seluas 41.205 Ha. Pun, pihak legislative (DPRD) Kepulauan Meranti juga telah menyatakan sikap persetujuannya menentang keberadaan PT. RAPP di pulau itu. Sikap inilah yang dibutuhkan oleh rakyat, agar pemerintah menjadi penyambung lidah rakyat.

Kesamaan sikap antara rakyat dan pemerintah di Kepulauan Meranti adalah “modal politik” untuk mencabut kebijakan politik yang tidak disetujui oleh rakyat. Sebab, kebijakan pemerintah yang dibuat secara sepihak ini membuahkan konflik agraria.
Konflik agrarian yang sudah berlangsung selama dua tahun itu, mengindikasikan “pemerintah gagal” memenuhi harapan rakyat. Pemerintah lebih memilih cara-cara represifitas dan pecah belah ketimbang jalan penyelesaian dengan proses yang dialogis (demokratis).

Inilah yang dialami oleh rakyat di Pulau Padang. Pemerintah bukannya menerima pendapat mayoritas rakyat, sebaliknya mengorganisir dan memaksa pemerintah-pemerintah desa untuk bersetuju dengan konsesi PT. RAPP.

Selain itu, pemerintah juga memaksakan solusi yang tidak populis, misalnya, scenario penanaman sagu hati dengan pola kemitraan. Dan pemerintah juga “mengkambing-hitamkan” perjuangan rakyat sebagai penyebab situasi tidak aman, padahal, akar persoalnnya bersumber dari kebijakan pemerintah itu sendiri.
Kami menggangap bahwa cara pemaksaan kehedak oleh pemerintah hanya akan memicu timbulnya konflik baru seperti konflik agrarian di daerah lain, dimana pemerintah telah kehilangan kepercayaan dari rakyat.

Disisi lain, maksud baik pemerintah untuk untuk mengundang investasi asing atau juga modal swasta agar ada tambahan income dan lapangan kerja hanyalah “mimpi disiang bolong”. Pemerintah hanya mengejar “recehan uang saku” dan pajak, dan bukannya mengoptimalkan sumberdaya alam untuk kepentingan nasional, tetapi juga masuknya investasi justru mengancam dan merampas sumber kehidupan rakyat.

Senada dengan sejarah, banyak tercatat bahwa peperangan antar suku dalam negara dan peperangan antar negara di dunia ini umumnya dikarenakan perebutan kekuasaan atas Sumber Daya Alam ( Hutan, Tambang, Air dan Lahan). Karena sumber daya alam (SDA) tersebut merupakan sumber daya alam yang di perebutkan, maka sejarah mencatat penguasa dan pemerintah sangat berkepentingan dengan SDA yang di miliki oleh sebuah negara. Dengan demikian bukanlah sesuatu yang sangat menakjubkan ketika pengambil kebijakan atau pemerintah di dalam sebuah Negara mendeklarasikan bahwa semua SDA yang ada di Negara tersebut di kuasai oleh Negara. Sebab Negara memiliki kepentingan maha hebat terhadap sumber daya alam tersebut, khususnya menjadikannya sebagai ‘mesin politik’ dan ‘mesin uang’ bagi golongan yang berkuasa. Golongan yang berkuasa yang memerintah biasanya selalu membawa jargon bahwa sumber daya alam (SDA) untuk semua masyarakat, tetapi dalam praktik-praktik bisnis dan pemenfaatan SDA tersebut selalu lebih menguntungkan golongan dan kelompoknya sendiri.
Untuk itu atas pernyataan Kementrian Kehutanan Zulkifli Hasan di Detik. Com yang mengatakan KONFLIK PULAU PADANG di anggap telah selesai dengan dilakukanya Inclaving melalui pemetaan ulang dan guna menetapkan tata batas agar tanah-tanah masyarakat dan perkampungan warga di keluarkan dari area konsesi.

Pemerintah nampak begitu sigap ketika menghadapi pujian dengan menyambut peluang investasi. Sementara itu, ketika menghadapi kasus-kasus konflik agraria dan protes rakyat, pemerintah malah mengambil langkah seribu alias kabur. Ini juga yang sempat dialami oleh rakyat Pulau Padang ketika mendatangi kantor Kemeterian Kehutanan, rakyat diperhadapkan dengan kekerasan pegawai dan aparat.

Jadi, konflik agraria yang terjadi saat ini disebabkan karena kebijakan yang pemerintah yang begitu liberal. Pemerintah salah urus. Pengelolaan sektor agraria justru menghilangkan hak mayoritas rakyat terhadap akses tanahnya dan mengorbankan masa depan rakyat. Akibatnya, pemerintah seperti pembeo “mulut pengusaha”.
Semua ini tidak perlu terjadi bila saja pemerintah menjalankan amanat konstitusi dengan benar. Kembali menjalankan cita-cita konstitusi dengan benar, khususnya pasal 33 UUD 1945 dan UU Pokok Agraria tahun 1960.

Olehnya itu, tidak ada alasan bagi pihak pemerintah untuk menghindar dan menyetujui tuntutan rakyat. Apalagi ketika rakyat dan Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti sudah bersepakat untuk merevisi SK Menhut 327/2009 tentang HTI PT. RAPP.

Maka dari itu, kami yang tergabung dalam Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamatan Pulau Padang (FKM-PPP) Kepulauan Meranti, Riau menuntut: Kepada Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, untuk segera mengeluarkan seluruh blok Pulau Padang yang seluas 41.205 Hektar dari areal konsesi PT. RAPP dengan merevisi SK Nomor 327/Menhut-II/2009.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar