Jumat, 25 November 2011

Bom Waktu Masyarakat Pulau Padang

Oleh drh. Chaidir

MASIH ingat tragedi kapal mewah Titanic? Kapal itu tenggelam dalam pelayaran perdana dari Inggeris ke New York seabad lalu karena menabrak sebuah gunung es di Samudra Atlantik. Sebagian besar dari 1500 selebritis jemputan dalam pelayaran tersebut, ikut tenggelam ke dasar samudra. Gunung es, tampak kecil di permukaan, tapi di bawah permukaan laut tak terkira.

Teori gunung es populer dalam ilmu sosial untuk mempelajari anatomi sebuah permasalahan. Seringkali, apa yang terlihat di permukaan, hanyalah sebagian kecil dari permasalahan. Sebagian besar terbenam di bawah permukaan dan justru di sanalah akar masalahnya, kait mengkait bak benang kusut. Bila yang di bawah permukaan itu gagal dibaca secara seksama, situasi bisa berbahaya.

Aksi unjuk rasa jahit mulut yang
dilakukan oleh lima orang masyarakat Pulau Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti di DPRD Riau awal bulan lalu, boleh jadi puncak dari sebuah gunung es. Sebab, ibarat bisul, dalam sebulan ini satu demi satu meletus. Kasus demi kasus sengketa lahan mencuat ke permukaan. Sengketa lahan di Pulau Padang antara masyarakat dengan pengusaha besar adalah yang pertama memanas setelah beberapa waktu lalu protes masyarakat tidak ditanggapi serius oleh para pembuat kebijakan. Masyarakat protes atas diterbitkannya izin pembukaan lahan di Pulau Padang untuk penanaman hutan tanaman industri sebuah perusahaan besar di Riau. Konflik di Meranti ini sudah pernah meminta korban ketika seorang operator alat berat tewas dalam aksi unjuk rasa.

Yang terbaru, beberapa hari lalu, masyarakat Pulau Rupat, Bengkalis mengamuk dan membakar lima unit ekskavator milik PT Sumatera Riang Lestari. Tidak hanya itu, masyarakat juga membakar sebuah tug boat milik perusahaan yang membawa bahan bakar. Di ujung pekan, masyarakat di Desa Segati Kecamatan Langgam, Pelalawan juga nyaris bentrok massal dengan pihak perusahaan, juga akibat sengketa lahan.

Serupa tapi tak sama, di Indragiri Hulu, Bupati Yopi Arianto dilaporkan ke Polda Riau karena dituduh menampar seorang karyawan perusahaan ketika Sang Bupati mencoba membantu menyelesaikan konflik lahan antara perusahaan dengan masyarakatnya. Sang Bupati berusaha untuk membela masyarakatnya yang berada pada posisi lemah. Dan sebenarnyalah masih panjang catatan sengketa lahan rakyat pada satu sisi dengan pemodal kuat pada sisi lain yang terjadi di Riau. Korban sudah berjatuhan. Sebut saja di Kabupaten Rokan Hulu, di Kecamatan Pinggir Bengkalis, di Kabupaten Kuantan Singingi, di Kabupaten Kampar, dan di Kabupaten Rokan Hilir

Masih di Riau, ada pula pembukaan puluhan ribu hektar lahan untuk perkebunan sawit tanpa ada izin sama sekali. Ajaib! Berarti pemerintah kita, entah pusat, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, mungkin telah lama absen sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi di depan batang hidungnya. Adakah daerah ini sebuah terra incognita, wilayah tak dikenal, dengan demikian berarti juga tak bertuan?

Kita sama sekali tidak anti pemodal besar, mereka diperlukan. Masih banyak lahan kita yang merana tak produktif, mubazir. Kenapa bukan itu saja yang diolah? Bukankah pemodal punya alat berat dan punya teknologi? Di sinilah pemerintah harus hadir, jangan absen. Fasilitasi pemodal, lindungi rakyat. Masalah sengketa lahan ini masalah serius., bagi rakyat ini masalah hidup mati. Hadapi dengan serius. Kalau tidak, bom waktu itu siap meledak bila-bila masa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar