Senin, 18 Juli 2011

Serikat Tani Riau mengkhawatirkan kondisi pulau padang akan bertambah memburuk,

Media Relations RAPP, Salomo Sitohang, dalam rilis pers mengatakan insiden terhadap operasional RAPP kerap terjadi di Pulau Padang, menurut dia, telah terjadi tiga insiden dalam dua bulan terakhir yang telah mengakibatkan kerusakan peralatan milik kontraktor RAPP di Pulau Padang.

Sebelumnya, pembakaran dua alat berat juga telah terjadi di Sungai Hiu, Pulau Padang pada tanggal 30 mei 2011. Impormasi yang kami himpun di daerah pulau padang dari pihak kepolisian di daerah Sungai Kuat juga terjadi hal yang sama seperti di sungai Hiu yaitu pembakaran alat berat milik perusahaan milik Taipan Sukanto Tanoto dibawah bendera Asia Pacific Resource International Limited (APRIL). selain dua kejadian diatas, pembakaran alat berat dan tewasnya seorang operator alat berat dengan nama Chaidir berusia 32 tahun pada Rabu tanggal 13 juli 2011 merupakan kejadian yang sangat tragis. Chaidir adalah pegawai PT Sarindo, kontraktor dari RAPP yang bekerja di konsesi hutan tanaman industri (HTI) di area perusahaan bubur kertas PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di daerah Sei Kuat, Pulau Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

Menurut Serikat Tani Riau insiden yang terjadi dalam beberapa waktu belakangan ini adalah sebagai sebuah akibat dari gerak anarki modal yang tidak memperdulikan beberapa hal penting dari aspirasi rakyat. Kosekuensi yang berdampak kepada penderitaan rakyat yang akan berkepanjangan nantinya, besar kemungkinan menjadi pemicu dari insiden-insiden yang terjadi di pulau padang saat ini, apalagi tindakan-tindakan seperti ini juga menjadi gembaran bahwa tingkat krisis kepercayaan rakyat terhadap para pengambil kebijakan di tingkat kepemerintahan sudah semakn meninggi sehingga tidak adalagi ketergantungan harapan rakyat terhadap pejabat tinggi Negara dalam menyelesaikan persoalan mereka. Kami dari Serikat Tani Riau sebagai organisasi politik tani yang melakukan pendampingan harus mengakui, bahwa telah hampir seluruh tahapan sudah kami lalui dalam mencarikan jalan penyelesaian secara persuasiv bahkan masyarakat sudah mendapatkan recomendasi Komnas Ham.

Sebelum terjadinya tindakan anarkis yang di lakukan sekelompok orang tak di kenal, masyarakat Pulau Padang yang bergabung dengan Serikat Tani Riau sudah hampir 12 kali melakukan Aksi Massa dan semuanya berlangsung secara damai sehingga melakukan Aksi ke Jakarta dan mendatangi Kementerian Kehutanan pada kamis tanggal 21 april 2011, mendatangi Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) di Jalan Latuhari, Jakarta pada tanggal 25 April 2011, mendatangi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta pada tanggal 27 April 2011, mendatangi Kementiran Lingkungan Hidup (KLH), dan bahkan juga masyarakat Pulau Padang mendatangi Kedutaan Besar Nerwegia di Jakarta dalam mencari penyelesaian persoalan secara baik dan persuasif sehingga Komnas Ham pada tanggal 29 April 2011 telah melayangkan surat kepada Menteri Kehutanan RI di Gd. Manggala Wanabakti, Jl. Jendral Gatot Subroto, Senayan, Jakarta dengan Surat Nomor: 1.072/K/PMT/IV/2011.

Di dalam surat yang telah di kirimkan Komnas Ham ke Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan , Johny Nelson Simanjuntak, SH meminta kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan Untuk Meninjau Ulang Surat Keputusan No. 327/Menhut-II/2009 dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti. Bahkan Komnasham mendesak Menhut untuk menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk menghentikan operasional PT.RAPP di lapangan Sementara peroses peninjauan ulang belangsung.

Pada tanggal yang sama yaitu tanggal 29 April 2011, selain melayangkan surat ke Zulkifli Hasan Kementerian Kehutanan , pihak Komnasham juga melayangkan surat kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper Di Pangkalan Kerinci Kematan. Langgam Kabupaten Pelalawan. Provinsi Riau dengan Surat Nomor: 1.071/K/PMT/IV/2011.

Di dalam surat yang telah di kirimkan Komnasham kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper , Johny Nelson Simanjuntak, SH Mendesak kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper untuk Menghentikan Kegiatan Operasional perusahaan PT.RAPP di lapangan hingga ada keputusan penyelesaian masalah yang di adukan oleh pihak masyarakat dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti.

Sama seperti surat yang di layangkan Komnasham ke Menhut. Komnasham juga memberikan alasan kenapa tindakan ini mereka lakukan ke PT.RAPP setelah menerima pengaduan dari masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Prov. Riau prihal Keberatan Atas Terbitnya SK Menhut No.327/ Menhut-II/2009.

Recomendasi penghentian kegiatan operasional perusahaan PT.RAPP di lapangan hingga ada keputusan penyelesaian masalah yang di adukan oleh masyarakat Pulau Padang oleh Komnas Ham sangatlah merupakan solusi yang sangat baik, tindakan ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti bahwa hak atas kesejahteraan di jamin dalam Pasal 36 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kami dari Serikat Tani Riau memandang bahwa terbitnya SP 3 14 perusahaan pelaku Illog sehingga Terbitnya SK Menhut No. 327/2009 menjadi akar permasalahan mendasar dari konflik agraria dan pengrusakan lingkungan yang terjadi di Riau termasuk Pulau Padang. Dikarenakan tidak adanya keberanian pemerintah baik ditingkat nasional sampai pada tingkat daerah untuk mengambil kebijakan politik guna menyelesaikannya sehingga akan menimbulkan kembali hal-hal yang tidak kita ingini, sebagaimana yang telah terjadi dalam dua bulan terakhir di pulau padang ini.

Mengenai konflik Agraria di Indonesia diketahui bahwa, Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya, Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Ketidakjelasan tersebut didukung dengan buramnya sistem administrasi pertanahan sehingga sebidang tanah pun bisa dimiliki oleh 2 hingga 3 orang. Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria, mereka merekam sekitar 1.753 kasus konflik agraria struktural, yaitu kasus-kasus konflik yang melibatkan penduduk berhadapan dengan kekuatan modal dan/atau instrumen negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektor bisnis dan/atau negara.

Sejak 1970 hingga 2001, seluruh kasus yang direkam KPA tersebar di 2.834 desa/kelurahan dan 1.355 kecamatan di 286 daerah (Kabupaten/Kota). Luas tanah yang disengketakan tidak kurang dari 10.892.203 hektar dan mengorbankan setidaknya 1.189.482 KK.

Kasus sengketa dan/atau konflik disebabkan kebijakan publik. Konflik yang paling tinggi intensitasnya terjadi di sektor perkebunan besar (344 kasus), disusul pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), perumahan dan kota baru (232 kasus), kawasan kehutanan produksi (141 kasus), kawasan industri dan pabrik (115 kasus), bendungan dan sarana pengairan (77 kasus), sarana wisata (73 kasus), pertambangan besar (59 kasus) dan sarana militer (47 kasus). Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan, terdapat 2.810 kasus skala besar (nasional), 1.065 di antaranya masih ditangani pengadilan dan 1.432 kasus masih berstatus sengketa. Sekitar 322 kasus berpotensi memicu konflik kekerasan. Menurut Sri Hartati Samhadi dalam fokus Kompas 30 Juni 2007, Di perkotaan, sengketa tanah umumnya dipicu oleh meningkatnya arus urbanisasi, pembangunan proyek-proyek infrastruktur skala besar, politik pertanahan (seperti menggusur warga miskin perkotaan dari tanah berlokasi strategis untuk kepentingan pembangunan proyek- proyek komersial) banyak berakhir pada penggusuran paksa masyarakat miskin perkotaan. Di daerah kaya mineral, konflik terus terjadi antara masyarakat adat dan pemerintah atau perusahaan swasta pemegang konsesi, contohnya yang terjadi di Freeport (Papua) dan Caltex (Riau). Di wilayah transmigrasi, antara transmigran dan masyarakat lokal. Di kawasan kehutanan, antara BUMN atau perusahaan perkebunan besar dan masyarakat adat. Di pedesaan, alih fungsi lahan untuk proyek-proyek seperti waduk dan tempat latihan militer.

Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau
Secara kepemilikan tanah di Indonesia,


Menurut Serikat Tani Nasional (STN) mengatakan bahwa, peruntukan lahan bagi perkebunan skala besar jelas-jelas menumbuhkan penindasan struktural serta menjauhkan kaum tani dari kesejahteraan. Kita bisa melihat, betapa luasnya pemerintahan memberikan tanah-tanah yang mereka sebut dengan Hutan/Perkebunan Negara kepada perusahaan-perusahaan seperti; PT Freeport Indonesia yang mendapatkan jatah 202.380 ha areal hutan lindung di Papua, PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan, PT Aneka Tambang seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara, PT Indominco Mandiri seluas 25,121 ha di Kalimantan Timur, PT Natarang Mining seluas 12.790 di Lampung, PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha, PT Pelsart Tambang Kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan, PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara, PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha, dan PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara, dan lain-lain.

Sementara itu di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI). Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain.

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini terus berlanjut, karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung.

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya.

Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.

Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.

Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.

Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 2003 , kasus kec. Pinggir (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990. Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampung, pekuburan, dan lain sebagainya.
Tidak ada alasan sebenarnya perusahan untuk tidak melakukan enclave terhadap lahan yang dimiliki masyarakat dan atau mengeluarkan areal desa, tegalan, perkampungan. Misalnya kasus di Desa Tasik Serai dalam Peta Pembagian Kerja PT. Arara Abadi Distrik Duri – Resort Sebanga (tahun 1992) telah tercantum lahan batas HPHTI PT. Arara Abadi, ladang Masyarakat namun realitas dilapangan adalah PT. Arara Abadi tetap melakukan proses penanaman pohon akasia sehingga menengarai sengketa agraria dengan masyarakat desa Tasik Serai yang hingga kini juga belum terselesaikan hingga saat ini. Begitu juga yang terjadi di Desa Tasik Serai Timur dalam Peta Penyelesaian Masalah Perluasan Desa Tasik Serai tertanggal 7 Maret 1994 yang setelah pemekaran masuk dalam areal desa Tasik Serai Timur pun hingga kini tetap menjadi areal operasi perusahan. Inilah kemudian upaya penyelesaian sengketa agraria antara masyarakat dengan PT. Arara Abadi tak kunjung selesai. Perladangan masyarakat Desa Melibur yang telah sejak dulu menjadi sumber mata pencaharian (baca : alat produksi) masyarakat menjadi sasaran perusahan. Tanah ulayat masyarakat yang telah menjadi sumber pendapatan yang diperoleh melalui warisan masyarakat pendahulu menjadi tak berharga. Inilah yang harus dirasakan oleh masyarakat pulau padang jika PT. RAPP tetap beroperasi.

Penyelesaian sengketa agrarian ini mestilah dilakukan secara komprehensif. Yang menjadi penyebab rumitnya penyelesaian sengketa tanah ini adalah tidak ditangani secara sistematik antara aturan dan kelembagaan serta belum adanya kebijakan politik pemerintah terkait hal ini.

Dalam rilis persnya juga Media Relations RAPP, Salomo Sitohang mengatakan insiden diduga akibat penolakan sekelompok warga yang tak setuju dilakukannya pembukaan kebun akasia di daerah itu.

Untuk itu Serikat Tani Riau kembali menegaskan beberapa hal yang kami anggap penting.

1: Insiden-insiden yang terjadi di atas tidak bisa di nafikan adalah merupakan dampak dari tidak adanya keberanian pemerintah baik ditingkat Daerah hingga sampai pada tingkat Nasional untuk mengambil kebijakan dalam menanggapi persoalan masyarakat Pulau Padang yang tak pernah terselesaikan perihal penolakan HTI PT. RAPP ini.

2: Bahwa saat ini bukan hanya masyarakat Pulau Padang saja yang berkonflik dengan operasional PT.RAPP di pulau padang. Konflik juga terjadi anatara PT.RAPP dengan masyarakat desa Lalang, Desa Kayu Ara, dan Sungai Apit Kabupaten Siak yang memiliki lahan di daerah operasional perusahaan bubur kertas itu.

3: Pembodohan massal para Mafia Tanah yang telah mengkapling-kapling hutan dengan modus membuat Kelompok Tani lalu menjualnya ke masyarakat dengan harga beragam dari Rp 750.000-Rp2000.000 perkapling selain menjadi taktik pecah belah bagi persatuan rakyat untuk menolak operasional PT.RAPP, cara ini juga di menfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengutip pundi-pundi uang. Propaganda mendapatkan Ganti Rugi dari PT.RAPP cukup menjadi daya tarik kuat sebelum PT.RAPP melaksanakan operasionalnya, sehingga banyak masyarakat awam menjadi korbanya mulai dari masyarakat pulau padang itu sendiri, hinggalah termasuk masyarakat desa Lalang, Desa Kayu Ara, dan Sungai Apit Kabupaten Siak dan masyarakat Kabupaten Bengkalis. Konflik baru, muncul di pulau padang. Karena propaganda mendapatkan uang besar tidak terbukti bagi para anggota kelompok tani yang berharap akan ganti rugi.

4: Saat ini beberapa kebun rumbia atau kebun sagu masyarakat sudah tergusur di daerah Desa Lukit. Yang sangat mengerikan adalah status lahanya masih dalam Tahapan Penyelesaian/Sengketa, kenyataanya PT.RAPP tetap bekerja dan tidak memperdulikan permasalahan tersebut. Info yang juga kami terima di Pulau Padang hal seperti ini juga terjadi di Tanjung Padang. Kenyataan ini cukup menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat lainya yang juga memiliki lahan tentunya sebagai alat produksi kaum tani.

Beberapa hal yang menjadi catatan sejarah hitam kaum tani di Kabupaten-kabupaten lain di Propinsi Riau, yang mengalami konflik agraria berdampak dengan perampasan tanah rakyat yang hingga saat ini belum terselesaikan akhirnya sudah mulai terjadi di pulau padang. Konflik ini terjadi sabagai dampak dari tidak adanya Tapal Batas yang jelas serta banyaknya Tanah garapan Rakyat secara terpaksa harus di akui telah di tindih oleh HPH/HTI PT.RAPP

Serikat Tani Riau telah mengintruksikan secara tegas kepada seluruh anggota untuk melakukan PELANGNISASI pada tanggal 08-11-2010 yang lalu secara serentak di masing-masing tanah yang mereka miliki. Jauh sebelu operasional PT.RAPP memaksakan masuk ke pulau padang. Arahan kerja ini di keluarkan sebagai tahapan awal untuk meminimalisir terjadinya sengketa tanah antara masyarakat penggarap dengan pihak perusahaan PT.RAPP.

5: Terkait dengan dugaan Media Relations RAPP, bahwa insiden terjadi diduga akibat penolakan sekelompok warga yang tak setuju dilakukannya pembukaan kebun akasia di daerah itu. Dalam hal dugaan Salomo Sitohang ini, Serikat Tani Riau menegaskan bahwa sangat benar jika selama ini organisasi Serikat Tani Riau bersama masyarakat pulau padang melakukan penolakan keras terkait operasional PT.RAPP di Pulau Padang. Tetapi bukan berarti semua pihak bisa mengarahkan logika berpikirnya bahwa Serikat Tani Riau lah yang melakukan tindakan-tindakan anarkis tersebut.

Dari itu, upaya penangan konflik agraria yang kami usulkan adalah :


1. Sesuai pemberitaan detikcom - Jakarta, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim dan para komisioner Komnas HAM bertemu Presiden SBY di Kantor Presiden. Dalam audiensi dengan Komnas HAM, SBY komitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM terkait dengan agraria.

"Terkait dengan penyelesaian konflik agraria yang belakangan ini sering terjadi, Presiden punya komitmen yang cukup jelas untuk menyelesaikan berbagai konflik ini," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim saat jumpa pers di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Jumat (13/5/2011).

Serikat Tani Riau mendesak Presiden SBY untuk segera menyelesaikan sengketa agraria di Pulau Padang kabupaten Kepulauan Meranti Riau antara masyarakat dengan PT.RAPP dengan menekankan kepada:

• Penghentian kegiatan operasional perusahaan PT.RAPP di lapangan hingga ada keputusan penyelesaian masalah sesuai dengan Recomendasi Komnas Ham melalui Jhony Nelson Simanjuntak, SH yang juga telah melayangkan surat kepada Menteri Kehutanan RI di Gd. Manggala Wanabakti, Jl. Jendral Gatot Subroto, Senayan, Jakarta dengan Surat Nomor: 1.072/K/PMT/IV/2011 pada tanggal 29 April 2011

Di dalam suratnya yang telah di kirimkan Komnas Ham ke Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan , Johny Nelson Simanjuntak, SH meminta kepada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan Untuk Meninjau Ulang Surat Keputusan No. 327/Menhut-II/2009 dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti. Bahkan Komnasham mendesak Menhut untuk menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk menghentikan operasional PT.RAPP di lapangan Sementara peroses peninjauan ulang belangsung.

Pada tanggal yang sama yaitu tanggal 29 April 2011, selain melayangkan surat ke Zulkifli Hasan Kementerian Kehutanan , pihak Komnasham juga melayangkan surat kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper Di Pangkalan Kerinci Kematan. Langgam Kabupaten Pelalawan. Provinsi Riau dengan Surat Nomor: 1.071/K/PMT/IV/2011.

Di dalam surat yang telah di kirimkan Komnasham kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper , Johny Nelson Simanjuntak, SH Mendesak kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper untuk Menghentikan Kegiatan Operasional perusahaan PT.RAPP di lapangan hingga ada keputusan penyelesaian masalah yang di adukan oleh pihak masyarakat dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti.

• Cabut – minimal tinjau ulang SK 327 Menhut Tahun 2009 – Izin HPH/TI, PT.RAPP. Karena ditengarai, hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Misalnya saja, PT. Arara Abdi menurut SK Menhut 743/kpts-II/1996 diberikan waktu untuk melakuakan penyelesaian inclaving 2 tahun setelah SK dikeluarkan. Namun hingga sekarang masih diindikasikan banyak wilayah yang belum mereka inclav, sehinga menyebabkan terjadinya sengketa agraria. Apalagi di Kabupaten Kepulauan Meranti dampak lingkungan yang merupakan efek dari operasional PT.RAPP di lahan gambut menjadi pertimbangan serius masyarakat Pulau Padang.

2. Insiden terhadap operasional RAPP yang kerap terjadi di Pulau Padang dalam dua bulan terakhir ini dan telah mengakibatkan kerusakan peralatan milik kontraktor RAPP di Pulau Padang serta menimbulkan korban jiwa merupakan buntut dari .kelalaian Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.

Komite Pimpinan Daerah-Serikat Tani Riau (KPD-STR) Kabupaten Kepulauan Meranti berpendapat, mencekamnya situasi di daerah tanah gambut ini tidak terlepas dari Konflik kelompok masyarakat sipil "melawan" dua kekuatan lain di masyarakat, yakni: sektor bisnis (PT.RAPP) dan/atau Negara ini lah yang sedang terjadi di Pulau Padang.
Menurut Serikat Tani Riau, jauh sebelum Insiden-insiden terhadap operasional RAPP kerap terjadi di Pulau Padang, sebelumnya masyarakat di pulau padang ini hidup dalam keadaan rukun damai dan tentram. Namun, dalam dua bulan terakhir telah terjadi tiga insiden yang telah mengakibatkan kerusakan peralatan milik kontraktor RAPP di Pulau Padang dan bahkan menimbulkan korban jiwa.

Dalam mengutip pemberitaan Dumai Pos, tentang Anggota DPD RI asal pemilihan Riau, Instiawati Ayus telah mengatakan bahwa Permasalahan izin hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten Kepulauan Meranti, setakat ini sudah masuk dalam agenda rapat Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Dalam waktu dekat akan dibahas dalam persidangan di Senayan, Jakarta menurut Instiawati.

Sebagaimana yang telah dituturkan Anggota DPD RI asal pemilihan Riau, Instiawati Ayus, pada Selasa tanggal 2 Februari 2011 mengatakan, permasalahan HTI PT SRL dan PT LUM, serta HTI PT RAPP di Pulau Rangsang setelah ditinjau langsung ke lapangan, ternyata memang tidak layak, dan harus di hentikan dengan cepat. Untuk itu bagi kami di Serikat Tani Riau apa yang di sampaikan oleh Instiawati Ayus tersebut merupakan Akar dan Pokok permasalahan yang sampai detik ini tidak terselesaikan dan membawa dampak besar hingga terjadilah hal-hal yang tidak kita ingini seperti Insiden pembakaran alat berat dan tewasnya seorang operator alat berat dengan nama Chaidir berusia 32 tahun pada Rabu tanggal 13 juli 2011.

Serikat Tani Riau mendesak Anggota DPD RI asal pemilihan Riau, Instiawati Ayus untuk segera mempercepat pembahasan terkait dengan, HTI PT.RAPP yang ternyata memang tidak layak, dan harus di hentikan dengan cepat melalui " Data- data yang telah di peroleh di lapangan ketika reses, serta data yang diperoleh melalui laporan masyarakat, untuk segera digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam persidangan di Senayan.

Karena lamban dan kurang tegasnya Menteri Kehutanan dalam menyikapi tuntutan masyarakat yang mendesak instasi tersebut agar segera mencabut minimal meninjau ulang SK 327 Menhut tiga perizinan pengelolaan hutan termasuk di Pulau Padang, Kecamatan Merbau telah menimbulkan dampak besar.

Serikat Tani Riau memandang Pemerintah pusat maupun Dirjen Kehutanan RI adalah lembaga yang paling harus bertanggung jawab atas memanasnya situasi di pulau padang. Karena selama ini tidak adanya respon nyata dari pemerintah pusat atas keresahan masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti terkait telah beroperasinya perusahaan PT RAPP.



4 Faktor penyebab Pulau Padang Rawan Konflik Saat Ini

1. Sangat lambat dan kurang mengakomodir keinginan masyarakat di pulau padang prihal penghentian operasional PT.RAPP di lapangan oleh pihak Pemerintah, meski sudah di Recomendasikan oleh Komnas Ham ke Menhut dan PT.RAPP itu sendiri,

2. Pembodohan massal para Mafia Tanah yang telah mengkapling-kapling hutan dengan modus membuat Kelompok Tani lalu menjualnya ke masyarakat dengan harga beragam dari Rp 750.000-Rp2000.000 perkapling selain menjadi taktik pecah belah bagi persatuan rakyat untuk menolak operasional PT.RAPP, cara ini juga di menfaatkan oleh oknum tertentu untuk mengutip pundi-pundi uang sebelum PT.RAPP melakukan operasionalnya.

Propaganda mendapatkan Ganti Rugi dari PT.RAPP cukup menjadi daya tarik kuat sebelum PT.RAPP melaksanakan operasionalnya, sehingga banyak masyarakat awam menjadi korbanya mulai dari masyarakat pulau padang itu sendiri, hinggalah termasuk warga selatpanjang, masyarakat desa Lalang, Desa Kayu Ara, dan Sungai Apit Kabupaten Siak dan masyarakat Kabupaten Bengkalis.

Konflik baru, muncul di pulau padang. Karena propaganda mendapatkan uang besar tidak terbukti bagi para anggota kelompok tani yang berharap akan ganti rugi.
Info yang kami terima dari beberapa sumber di lapangan, beberapa hari sebelum terjadinya Insiden yang menyebabkan tewasnya Chaidir operator PT.RAPP, banyak sengketa tanah yang di adukan masyrakat ke Kapolsek Merbau termasuk Areal operasional PT.RAPP di Tanjung Gambar. Sementara di Sungai Kuat sendiri tempat terjadinya Insiden yang menewaskan Chaidir sempat beberapa kali terjadi unjuk rasa dari masyarakat desa Kayu ara dan Sungai Apit yang memiliki lahan di daerah itu, terlepas apakah mereka korban dari mafia tanah yang kami maksud di atas.

3. Saat ini beberapa kebun rumbia atau kebun sagu masyarakat sudah tergusur di daerah Desa Lukit. Yang sangat mengerikan adalah status lahanya masih dalam Tahapan Penyelesaian/Sengketa, kenyataanya PT.RAPP tetap bekerja dan tidak memperdulikan permasalahan tersebut. Info yang juga kami terima di Pulau Padang hal seperti ini juga terjadi di Tanjung Padang. Kenyataan ini cukup menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan bagi masyarakat lainya yang juga memiliki lahan tentunya sebagai alat produksi kaum tani.

Beberapa hal yang menjadi catatan sejarah hitam kaum tani di Kabupaten-kabupaten lain di Propinsi Riau, yang mengalami konflik agraria berdampak dengan perampasan tanah rakyat yang hingga saat ini belum terselesaikan akhirnya sudah mulai terjadi di pulau padang. Konflik ini terjadi sabagai dampak dari tidak adanya Tapal Batas yang jelas serta banyaknya Tanah Garapan Rakyat secara terpaksa harus di akui telah di tindih oleh HPH/HTI PT.RAPP.

4. Pasca Insiden pembakaran alat berat dan tewasnya seorang operator alat berat PT.RAPP dengan nama Chaidir yang terjadi pada Rabu tanggal 13 juli 2011 seluruh anggota Serikat Tani Riau dalam kondisi siaga satu penuh.

Tindakan ini di ambil oleh organisasi di karenakan kita berkaca pada kejadian tanggal Pada tanggal 9 juni 2011 sebagaimana yang dikabarkan oleh media masa cetak, penangkapan – penangkapan petani pulau padang yang sudah tidak melalui procedural. Meskipun Terhadap kejadian tanggal 9 juni 2011, pada Jum’at 24 Juni 2011 yang lalu telah di lakukan Rapat Dengar Pendapat di ruangan Rapat Komisi A DPRD Provinsi Riau tepatnya dalam Kelarifikasi Polres Bengkalis terhadap Proses Penangkapan Warga Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Riau di Selatpanjang yang juga di hadiri oleh Kapolda Riau Brigjen Pol Suedi Husein.

Serikat Tani Riau mengkhawatirkan kondisi pulau padang akan bertambah memburuk, apabila pihak kepolisian tidak lebih mendahulukan prosudural dalam kerja-kerjanya. Sebab kondisi masyarakat Pulau Padang pasca Insiden tanggal 30 mei 2011 yang lalu belum begitu kondusif dan masih dalam kondisi Trauma.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar