Selasa, 31 Mei 2011

KPP STN: Pembakaran Dua Eskavator PT.RAPP Adalah Amuk Massa



Selasa, 31 Mei 2011 | 21:08 WIB

Perjuangan Petani Pulau Padang
Oleh : Ulfa Ilyas

Komite Pimpinan Pusat Serikat Tani Nasional (KPP-STN) membantah pernyataan Kapolsek Merbau Iptu Sawaludin Pane dan pemberitaan di Riau Terkini.com, yang mencoba menghubungkan aksi massa damai STR Kepulauan Meranti dengan kejadian pembakaran dua eskavator dan dua camp karyawan milik PT.RAPP.

STN merupakan organisasi yang menaungi Serikat Tani Riau (STR). Selama perjuangan petani pulau padang di Jakarta, STN juga yang melakukan pendampingan terhadap para petani.

Yudi Budi Wibowo, Ketua Umum STN, mengatakan KPP STN maupun STR tidak bertanggung-jawab dengan kejadian pembakaran itu karena diluar koordinasi organisasinya. “Pembakaran itu terjadi setelah STR selesai menggelar aksinya. Dan, massa STR sudah kembali ke desa masing-masing,” kata Yudi Wibowo.

Menurutnya, STR menggelar aksinya dari pukul 15.00 WIB hingga pukul 17.00 WIB, dan para petani langsung kembali ke desa masing-masing. Sedangkan kejadian pembakaran terjadi pada malam hari.

Selain itu, menurut Yudi Wibowo, setelah menggelar aksi, para pengurus STR berangkat ke kota Pekanbaru untuk mempersiapkan kongres STR. “Jadi, tidak ada pengurus STR lagi di lokasi setelah pukul 17.00 WIB,” katanya.

Ketua STR Kepulauan Meranti, Muhamad Riduan, juga langsung berangkat ke kota Pekanbaru untuk persiapan kongres. Selain Riduan, pengurus-pengurus STR di tingkat desa juga berangkat ke Pekanbaru.

Yudi Wibowo menganggap komentar Kapolsek Merbau dan pemberitaan Riau Terkini sangat menyudutkan petani pulau padang yang menggelar aksi pada hari Senin sore (30/5). “Pernyataan ini sepertinya diarahkan sesuai kepentingan PT.RAPP,” katanya.

STN berkesimpulan bahwa kejadian di Sungai Hiu, Desa Tanjung Padang, sebagai “amuk massa”. Pihak STN juga menyesalkan pernyatan kepolisian dan pemberitaan Riau Terkini yang terkesan mencari “kambing hitam” atas kejadian itu.

Menteri Kehutanan Dan Pemda Meranti Bertanggung Jawab

KPP STN juga menganggap kejadian “amuk massa” di Sungai Hiu, Desa Tanjung Padang, sebagai akumulasi kemarahan warga terkait penolakan mereka terhadap beroperasinya PT.RAPP di pulau kecil tersebut.

Akumulasi kemarahan itu, kata pengurus KPP STN, semakin memuncak tatkala Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan Pemerintah Daerah Kepulauan Meranti mengabaikan aspirasi dan tuntutan rakyat Pulau Padang.

Sejak awal, kata pengurus KPP STN dalam pernyataan persnya, warga pulau Padang sudah memprotes SK Menhut nomor 327 tahun 2009, bahkan penolakan ini sudah disampaikan secara damai kepada pemerintah setempat dan pusat, tetapi sama sekali tidak direspon dengan baik.

Selain itu, pihak Komnas HAM sendiri sudah mengeluarkan surat rekomendasi agar Menhut Zulkifli Hasan meninjau kembali SK tersebut. Akan tetapi, dalam perjalanannya kemudian, Menteri asal PAN tersebut sama sekali tidak menggubris rekomendasi Komnas HAM dan malah memberikan lampu hijau kepada PT.RAPP. Selengkapnya...

KOMITE PIMPINAN PUSAT SERIKAT TANI NASIONAL



KPP-STN
Sekretariat : Jalan Tebet Dalam 2G No.1 Jakarta Selatan. Phone :
0817877279,0818296353 Faks: 021-8354513. Email : pusatdesa@gmail.com



PERNYATAAN SIKAP
No: 010/KPP-STN/B/IV/2011


Hentikan Kriminalisasi Warga Pulau Padang;
Menteri Kehutanan Harus Bertanggungjawab

Atas peristiwa terbakarnya dua mobil eskavator dan dua camp karyawan milik PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) di Sungai Hiu, Desa Tanjung Padang, Kecamatan Merbau, Kabupaten Kepulauan Meranti, pada Senin (30/5/2011), menjadikan alasan bagi aparat Kepolisian Resort (Polres) Bengkalis melakukan tindakapan represif.

Saat ini, kondisi di Pulau Padang sedang terisolir. Rakyat Pulau Padang tidak dapat keluar dari pulau tersebut, sebab dua akses pintu masuk dan keluar pulau melalui Pelabuhan Buton dan Pelabuhan Surao telah ditutup Polres Bengkalis untuk mencegah warga keluar dari pulau tersebut. Selain itu, seorang warga bernama Heri (25 tahun) telah pula ditangkap, dan sedangkan Nazlan (20 tahun) dan Mazlin (18 tahun) belum diketahui keberadannya, serta beberapa warga lainnya dalam proses pemeriksaan dan pengejaran kepolisian.

Pihak PT. RAPP menuding bahwa 600 massa dan aktivis dari Serikat Tani Riau (STR) yang melakukan aksi di perusahaan pada hari itu, terlibat dengan aksi pembakaran, sebagaimana berita yang dilansir disebagian media-media lokal di Provinsi Riau, bahwa kasus pembakaran tersebut berkaitan dengan aksi massa.

Dari kronologi yang disampaikan ke sejumlah media massa, terkesan ada upaya kuat dari pihak perusahaan, kepolisian, serta koramil setempat untuk mengkriminalisasi massa aksi.

Lebih lanjut, PT.RAPP mengklaim aksi massa yang dilakukan oleh warga Pulau Padang telah mengakibatkan kerugian perusahaan dan invetasi bagi daerah serta meresahkan warga. Warga juga dianggap "melawan hukum", sebab berdasarkan Surat Keputusan No.327/Menhut-II/2009 tentang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK HTI), pihak perusahaan merasa berhak mengambil lahan-lahan perkebunan rakyat.

Berdasarkan situasi tersebut, Serikat Tani Riau (STR) menilai adanya persekongkolan diantara pihak perusahaan dan aparat negara dalam merekayasa fakta peristiwa yang sebenarnya, sebab tindakan kriminalisasi merupakan cara lazim yang selalu digunakan dalam meredam perjuangan rakyat dimanapun.

Karena aksi massa yang dilakukan oleh Rakyat Pulau Padang sejak siang, pukul 13.00 WIB di kantor perusahaan merupakan aksi damai. Pertama, sebelumnya organisasi STR telah meminta kerjasama dan bantuan keamanan melalui surat pemberitahuan secara resmi kepada pihak kepolisian terkait dengan rencana aksi yang akan dilakukan warga. Namun, keamanan yang diharapkan untuk membantu jalannya proses aksi tidak dengan personil yang maksimal. Pihak kepolisian justru lalai mengamankan kegiatan aksi.

Kedua, dialog antara massa STR dengan perwakilan PT. RAPP, Pendi, selaku Humas, berjalan buntu. Pihak perusahaan menolak mematuhi surat Komnas HAM untuk menghentikan operasional perusahaan, yang dinilai mengantongi perijin yang cacat administrasi (inprosedural) dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Perjuangkan warga sejak tahun 2009 hingga sekarang ini tidak kunjung selesai. Warga Pulau Padang tidak menghendaki perusahaan bubur kertas itu menghancurkan hutan gambut dan tanaman produksi warga. Sebanyak 33 ribu jiwa penduduk di Kecamatan Merbau terancam kehilangan sumber kehidupan dan tempat tinggal, disebabkan Pulau Padang yang seluas 1.109 km² atau 110.000 Ha terancam tenggelam akibat perambahan hutan gambut seluas 40 % atau 41.205 Ha oleh PT Riau Andalan Pulp and Paper (PT RAPP).

Ketiga, berdasarkan laporan kronologis STR, aksi yang berakhir pada sore, pukul 17.00 WIB berjalan damai. Sesudah aksi, pimpinan-pimpinan aksi STR menuju Kota Pekanbaru untuk menghadiri kegiatan Kongres STR. Demikian pula dengan massa aksi lainnya, kembali menuju desa masing-masing dengan menggunakan lima buah pompong (kapal motor).

Keempat, pihak STR baru mengetahui adanya kebakaran dilokasi aksi pada Selasa pagi. Berdasarkan informasi yang diterima oleh pihak STR, terjadi “amuk massa” di lokasi hutan milik PT. RAPP pada malam hari, sehingga, tidak diketahui kejadian yang sesungguhnya.

Akan tetapi, peristiwa yang terjadi di Pulau Padang bersumber dari SK Menhut No.327 tahun 2009 tentang ijin HTI yang menambahkan luas areal PT. RAPP dari semula 235.140 Ha di tahun 2004, bertambah menjadi 350.167 Ha di tahun 2009. Kebijakan Menhut yang mengijinkan perambahan hutan gambut merupakan hasil "main mata" dengan pelaku pencemaran lingkungan, illegal logging, suap, dll, yang dikenal sebagai pengusaha hitam Sukanto Tanoto, pemilik PT. RAPP yang bernaung dibawah Asia Pacific Resource International Limited (APRIL).

Dengan begitu, Menteri Kehutanan menjadi pihak yang paling bertanggungjawab atas penerbitan ijin perambahan hutan gambut dan perampasan lahan warga. Terlibih lagi, Rakyat Pulau Padang bahkan telah melakukan aksi di Kantor Kementerian Kehutanan, di Jakarta. Akan tetapi, Menhut Zulkifli Hasan bersikap “tuli” terhadap aspirasi Petani Pulau Padang.

Maka, kami dari Serikat Tani Nasional (STN) mendukung sepenuhnya perjuangan rakyat Pulau Padang untuk segera:

1. Menghentikan Operasional PT.RAPP di Pulau Padang Secepat-cepatnya.
2. Mencabut Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.327/Menhut-II/2009.
3. Menghentikan Penagkapan Warga dan Kriminalisi Para Aktifis Kerakyatan.
4. Membebaskan Penahanan Warga Tanpa Syarat.
Demikian Pernyataan Sikap ini kami buat sebagai sikap solidaritas perjuangan pada kaum tani.

KEMBALIKAN TANAH RAKYAT SEKARANG JUGA !
SELAMATKAN RAKYAT MERANTI !

TANAH, MODAL DAN TEKNOLOGI MURAH MODERN UNTUK KAUM TANI !

Jakarta, 31 Mei 2011

SerikatTani Nasional
(STN)



Yudi Budi Wibowo
(Ketua Umum) Selengkapnya...

Kamis, 19 Mei 2011

Surat Untuk HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET KEDUTAAN BESAR NORWEGIA

No : Istimewa
Lampiran : -
Hal : Permohonan Dukungan Penyelamatan
Pulau Padang Riau Indonesia.


Kepada Yth:
HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET KEDUTAAN BESAR NORWEGIA
Di-
Jakarta

Salam Sejahtera!
Salam Pembebasan!

Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu daerah termuda di Provinsi Riau. Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang, Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau Paning, Pulau Dedap dan Pulau Tebing Tinggi.

Untuk di ketahui, Secara Topografi Bentang alam kabupaten Kepulauan Meranti sebagian besar terdiri dari daratan rendah. Pada umumnya struktur tanah terdiri tanah alluvial dan grey humus dalam bentuk rawa-rawa atau tanah basah dan berhutan bakau (mangrove). Lahan semacam ini subur untuk mengembangkan pertanian,perkebunan dan perikanan. Daerah ini beriklim tropis dengan suhu udara antara 25° - 32° Celcius, dengan kelembaban dan curah hujan cukup tinggi. Musim hujan terjadi sekitar bulan September-Januari, dan musim kemarau terjadi sekitar bulan Februari hingga Agustus.

Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri dari dataran-dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 m di atas permukaan laut. Di daerah ini juga terdapat beberapa sungai dan tasik (danau) seperti sungai Suir di pulau Tebingtinggi, sungai Merbau, sungai Selat Akar di pulau Padang serta tasik Putri Pepuyu di Pulau Padang, tasik Nembus di pulau Tebingtinggi), tasik Air Putih dan tasik Penyagun di pulau Rangsang. Gugusan daerah kepulauan ini terdapat beberapa pulau besar seperti pulau Tebingtinggi (1.438,83 km²), pulau Rangsang (922,10 km²), pulau Padang dan Merbau (1.348,91 km²).

Permukaan laut yang di dukung oleh daerah tanah gambut yang kedalamanya mencapai 6-12 meter, tentunya dampak Abrasi tidak bisa di nafikan telah terjadi. Selama ini tiga titik pulau di Meranti, masing-masing Pulau Rangsang, Pulau Merbau dan Pulau Padang, mengalami abrasi sepanjang tahun. Akibatnya, tidak saja ribuan hektar kebun dan ratusan rumah penduduk musnah terjun ke laut.

Saat ini, sudah ribuan hektar kebun milik masyarakat yang terjun ke laut di terjang abrasi. Bahkan abrasi juga mengancam kawasan pemukiman masyarakat. Akibatnya, tidak hanya luas daratan yang menyusut. Masyarakat di sejumlah desa di pulau-pulau harus menderita kerugian. Ribuan hektar kebun kelapa dan karet yang runtuh kelaut dan ratusan rumah ikut hancur. Titik kordinat terluar wilayah NKRI di Kabupaten Kepulaun Meranti turut bergeser.

Kepada saudari HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET yang kami muliakan, melalui surat ini dapat kami kabarkan berdasarkan Rekapitulasi Data Kependudukan Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti pada tanggal 03 April 2011, tercatat jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Padang adalah sebanyak 35224 (Tiga puluh lima ribu dua ratus dua puluh empat ) Jiwa yang hidup di pulau tanah gambut dengan Luas 101000 (Seratus sepuluh ribu) Ha di Kabupaten Kepulauan Meranti Propinsi Riau, Indonesia ini.
Kami masyarakat, saat ini sedang berjuang untuk menyelamatkan Pulau Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti Propinsi Riau, Indonesia.

Perjuangan penyelamatan Pulau Padang yang sedang kami lakukan saat ini, di lakukan bukan hanya berakibat dari kenyataan sangat mencemaskan di atas, seperti Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri dari dataran-dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 m di atas permukaan laut yang di dukung oleh daerah tanah gambut kedalamanya mencapai 6-12 meter, yang pada akhirnya menimbulkan dampak Abrasi dan akan merugkan posisi NKRI secara politik dan keamanan berbatasan lansung dengan perairan Selat Melaka yang menjadi pembatas dengan negara Malaysia. Karena jelas ancaman Abrasi yang lambat laun akan menghilangkan Pulau-pulau seperti Pulau Padang karena Pulau Padang ini sangat nyata.

Tetapi perjuangan ini juga di lakukan oleh masyarakat Pulau Padang karena Pemerintah Pusat Indonesia yang seharusnya segera mengalokasikan anggaran untuk penyelamatan pulau-pulau terluar di Kabupaten Kepulauan Meranti tersebut dari Ancaman Abrasi yang lambat laun akan menghilangkan Pulau-pulau seperti Pulau Padang pada kenyataanya fenomena yang terjadi terhadap pulau-pulau di kabupaten kepulauan meranti sebagaimana yang telah kami sampaikan diatas tidak mampu mengetuk hati Pemerintah Indonesia untuk Tanggap dan Peduli. Namun Pemerintah Indonesia malah sebaliknya mengeluarkan izin untuk melakukan Pembabatan Hutan Alam di kawasan gambut pulau-pulau tersebut kepada PT.Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) melalui SK 327 Menhut Tahun 2009 Tanggal 12 Juni 2009. Terbitnya SK 327 Menhut inilah yang menjadi petaka bagi masyarakat di Pulau Padang kabupaten kepulauan meranti.

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung.

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam.

Kami masyarakat Pulau Padang sangat memahami bahwa SK 327 MENHUT Tahun 2009 tersebut merupakan perubahan ketiga atas keputusan menteri Nomor 130/KPTS-II/1993 Tanggal 27 Februari 1993 tentang pemberian Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. RAPP yang sebenarnya terletak di 5 kabupaten provinsi Riau diantarnya adalah Kabupaten Bengkalis dulunya yang sekarang wilayahnya menjadi wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti termasuk di dalamnya Pulau Padang.

Tentunya kami masyarakat Pulau Padang tidak tinggal diam dalam melihat sikap Pemerintah Indonesia ini, perlawanan rakyat terhadap Operasional Perusahaan HTI di kabupaten kepulauan Meranti hingga detik ini masih tetap di lakukan.
SK 327 MENHUT Tahun 2009 tanggal 12 juni yang saat ini menjadi Landasan Kekuatan Hukum Pemilik modal besar tersebut untuk melakukan Operasionalnya di tentang Keras oleh Rakyat di karenakan Masyarakat Peka dan Tanggap terhadap Rasiko yang akan di terima di beberapa waktu kedepan dan Sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati merupakan unsur lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa indonesia.

Kami masyarakat Pulau Padang memahami Pentingnya Sumber Daya Alam secara eksplisit di sebutkan dalam pazsal 33 ayat 3 Undang-undang dasar 1945, bahwa:
"bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat"

Pasal ini mengamanatkan bahwa pemenfaatan Sumber daya alam harus di tujukan untuk kepentingan rakyat banyak. Sedangkan bagaimana Sumber daya alam itu seharusnya di kelola termaktub dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN)tahun 1973, telah di amanatkan betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya alam tersebut. Butir 10 menyatakan bahwa:

"dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumer alam indonesia harus di gunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus di usahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan pertimbangan kebutuhan generasi yang akan datang".

Menyadari keberadaan kawasan konsesi HTI di Pulau-pulau yang ada di kabupaten kepulauan Meranti seperti Pulau Padang, rangsang dan Tebing Tinggi bukan hanya mengancam keberlangsungan lingkungan hidup tapi juga mengancam eksistensi pulau terdepan Indonesia yang sangat strategis dalam aspek pertahanan dan keamanan nasional NKRI seperti pulau rangsang yang merupakan salah satu pulau kecil yang berbatasan langsung dengan Negara malaisia.

Abrasi pantai akibat gelombang Laut semakin luas yang mengakibatkan luas pulau semakin kecil juga tidak terlepas dari pantauan masyarakat apalagi lahan konsesi memiliki radius yang terlalu dekat dengan biir pantai, yang mana dapat di pahami abrasi pantai pertahun sekitar 30 sampai 40 meter. selain itu Pulau-pulau terseut merupakan hutan rawa gambut yang apabila di tebang secara besar-besran akan sangat rentan terhadap subsistensi. kondisi struktur tanah umumnya di kawasan pesisir pantai adalah lahan gambut sehingga alih fungsi hutan alam telah mengakibatkan Intrusi (peningkatan kadar garam) yang sangat tinggi pada sumber-sumber mata air masyarakat.

Amanat GBHN itu telah mengandung jiwa " berkelanjutan " dengan menekankan perlunya memperhatikan kepentingan antargenerasi dan perlunya pengaturan penggunaan Sumber daya alam. pemenfaatan sumber daya alam yang tidak bijaksana akan menyebabkan kerusakan lingkungan. kerusakan lingkungan akan menggangggu keberlanjutan usaha pembangunan dan bahkan mengancam ekosistem dan peradaban manusia.

Kepada saudari HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET yang kami muliakan. Setelah memasuki hampir 1 Tahun Perjuangan mayarakat Pulau Padang yang bergabung dengan Serikat Tani Riau Kabupaten Kepulauan Meranti, tuntutan kami masih belum berubah, PEMERINTAH HARUS MENINJAU ULANG/HINGGA MENCABUT SK 327 Menhut Tahun 2009 dan Mencabut Izin Operasional PT.RAPP di Pulau Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti.

Untuk di ketahui oleh saudari HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET. Senada dengan sejarah, banyak tercatat bahwa peperangan antar suku dalam negara dan peperangan antar negara di dunia ini umumnya dikarenakan perebutan kekuasaan atas Sumber Daya Alam ( Hutan, Tambang, Air dan Lahan). Karena sumber daya alam (SDA) tersebut merupakan sumber daya alam yang di perebutkan, maka sejarah mencatat penguasa dan pemerintah sangat berkepentingan dengan SDA yang di miliki oleh sebuah negara.

Dengan demikian bukanlah sesuatu yang sangat menakjubkan ketika pengambil kebijakan atau pemerintah di dalam sebuah Negara mendeklarasikan bahwa semua SDA yang ada di Negara tersebut di kuasai oleh Negara. Sebab Negara memiliki kepentingan maha hebat terhadap sumber daya alam tersebut, khususnya menjadikannya sebagai ‘mesin politik’ dan ‘mesin uang’ bagi golongan yang berkuasa. Golongan yang berkuasa yang memerintah biasanya selalu membawa jargon bahwa sumber daya alam (SDA) untuk semua masyarakat, tetapi dalam praktik-praktik bisnis dan pemenfaatan SDA tersebut selalu lebih menguntungkan golongan dan kelompoknya sendiri. Mungkin inilah yang sedang di hadapi oleh Masyarakat Pulau Padang.

Pada hari minggu tanggal 27 Maret 2011 2 Unit Escavator PT.RAPP tetap memaksakan kehendaknya untuk beroperasi di Pulau Padang, dan akhirnya kami terpaksa melakukan Aksi Penghadangan. Namun kenyataanya 2 Unit Escavator tersebut mendapat pengawalan dari pihak Kepolisian dan beberapa sukerity pihak perusahaan. Sesuai harapan Pihak Kepolisian pada waktu itu, kami di arahkan untuk tetap menciptakan suasana Kondusif dan kami masyarakat Pulau Padang juga memahami hal tersebut, tentulah kami tidak mau terlibat dengan urusan Pidana yang pada akhirnya akan merugikan perjuangan ini.

Saat ini Excavator PT.RAPP bertambah menjadi 8 (Delapan) Unit dan sedang melakukan pembuatan jalan dengan menyusun Kayu-kayu di Tanjung Padang sebagai landasan untuk menaikan 1.025 ( Seribu Dua Puluh Lima) Alat Berat milik mereka diantaranya 244 ( Dua Ratus Empat Puluh Empat) Unit Excavator untuk meluluh lantakkan Pulau ini dengan luasan Garapan 30.087 (Tiga Puluh Ribu Delapan Puluh Tujuh) Ha.

Melalui keputusan Direktur Utama PT.RAPP Nomor:SK.06/RAPP/III/2011 tentang Pengesahan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemenfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industeri (RKTUPHHK HTI) Tahun 2011 A.N.PT.RAPP Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau telah di sebutkan peralatan berat untuk areal PT.RAPP Blok Pulau Padang, Estate Pulau Padang di rencanakan akan masuk sejumlah 1.025 (Seribu dua puluh lima) unit alat berat yang terdiri dari:

1. Excavator : 246 Unit
2. Harvester : 5 Unit
3. Skidder : 2 Unit
4. Logging Truck : 382 Unit
5. Sampan Besi : 313 Unit
6. Kapal Penarik : 35 Unit
7. Buldozer : 5 Unit
8. Motor Grader : 5 Unit
9. Compaktor : 10 Unit
10. Backhoe Loader : 10 Unit
11. Dumtruck : 10 Unit

Memasuki 11 (Sebelas) kali kami melakukan Aksi Mobilisasi Massa Menuntut Ke Bupati, DPRD Kepulauan Meranti dan Bahkan Mendatangi Kantor Camat Merbau hingga kami menyerahkan Petisi Penolakan Rakyat Terhadap Rencana Operasional PT.RAPP pada tanggal 2 Februari 2011 melalui Koalisi Anti Penghancuran Hutan Riau (KAPHuR) Bersama Partai Rakyat Demokratik (PRD), Serikat Tani Nasional (STN) yang langsung di terima oleh Bapak Drs Ikhwani, Asisten I Setdakab Meranti. Dan hari ini kami kembali harus turun ke jalan, menyuarakan tuntutan kami.

Jauh sebelum Minggu tanggal 27 Maret 2011, 2 Unit Escavator PT.RAPP tetap memaksakan kehendak masuk ke Pulau Padang. Serikat Tani Riau Kabupaten Kepulauan Meranti yang merupakan Organisasi Politik Sektor Tani pada tanggal 15 Desember 2010 bersama Masyarakat Pulau Padang telah menggelar acara Seminar Terbuka dengan Tema: “Dampak Hutan Tanaman Industeri Terhadap Lingkungan Dan Kehidupan Rakyat”, dimana untuk dapat di pahami acara tersebut kami gelar secara mandiri hampir menghabiskan dana sebesar 30 Juta Rupiah yang dana ini kami dapatkan dari sumbangan anggota Serikat Tani Riau yang juga merupakan masyarakat Pulau Padang sebesar Rp20.000 (Dua puluh ribu rupiah) Per anggota Serikat Tani Riau.

Pelaksanaan kegiatan seminar ini juga menggundang seluruh tokoh-tokoh masyarakat, seluruh Pejabat Pemerintah di tingkatan kabupaten, Bupati, DPRD, Partai-partai Politik dan juga pihak PT.RAPP dalam upaya mencari kejelasan solusi bersama untuk menjawab dari segala persoalan yang berhubungan dengan HTI. Namun rakyat tetaplah jelata!!

Persoalan Pulau Padang sudah mencapai titik kritis, Pemerintah Indonesia memberikan lampu hijau kepada PT.RAPP dan tidak memperdulikan nasib masyarakat setempat. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya kami beberapa orang perwakilan masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti yang bergabung dengan Komite Pimpinan Daerah Serikat Tani Riau (KPD-STR) Kabupaten Kepulauan Meranti berangkat ke Jakarta, dengan di dampingi oleh organisasi induk Serikat Tani Nasional (STN) berbekal dengan sejumlah data-data dan fakta.

Di jakarta kami telah mendatangi Kantor Kementerian Kehutanan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada kamis tanggal 21 april 2011, selanjutnya kami mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), di Jalan Latuhari, Jakarta pada 25 April 2011. Rabu tanggal 27 April 2011 kami juga mendatangi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di jakarta untuk melaporkan Adanya Indikasi Korupsi terkait penerbitan SK 327 Menhut 2009 Tanggal 12 Juni dimana kita paham bahwa SK 327 Menhut di terbitkan tiga bulan menjelang berakhirnya jabatan MS Kaban sebagai Menteri Kehutanan,.dan Dan Kami masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti telah menyerahkan AMDAL PT.RAPP yang kadalruasa tersebut ke Kementiran Lingkungan Hidup (KLH).

Perlu kami sampaikan bahwa Penolakan KPD-STR Kabupaten Kepulauan Meranti terhadap Hutan Tanaman Industeri (HTI) di Kabupaten Kepualuan Meranti ini kami lakukan bukan tanpa alasan, ini dikarenakan HTI tidak terlepas dari sejarah konflik Agraria di Indonesia, khususnya di Riau. Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya Pulau- Pulau Tanah Gambut yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti. Ketidakjelasan tersebut didukung dengan buramnya sistem administrasi pertanahan. Bukan hanya itu, di Kabupaten tercinta kita ini dampak terhadap lingkungan juga menjadi pertimbangan bagi kami.

Kami masyarakat Pulau Padang, tetap bersikukuh mendesak agar pemerintah meninjau ulang SK Menhut Nomor 327/Menhut-II/2009 tertanggal 12 Juni 2009. Karena SK Menhut ini merupakan sebuah eksekusi terhadap keleluasaan masyarakat dalam mengelola hutan di Pulau Padang.

Selain mendesak meninjau ulang SK menhut tersebut, Kami juga mendesak agar pemerintah segera menurunkan tim terpadu dari berbagai elemen untuk melakukan Meeping. Langkah ini dilakukan sebagai upaya melakukan pemetaan ulang terhadap pengeloalan hutan alam di Pulau Padang.

Anak PT.RAPP yaitu PT. Sumatra Riang Lestari (SRL) yang sudah beroperasi di Pulau Rangsang kabupaten kepulauan meranti selam 2 (dua) tahun, menurut pemberitaan yang kami kutip dari pemberitaan Berita Terkini pada hari Kamis, tanggal 31 Maret 2011 Masih belum memiliki Tapal Batas yang jelas.

Tidak adanya tapal batas yang jelas antara Tanah Garapan masyarakat dengan Areal Konsesi Pihak perusahaan dan tidak di berlakukanya Pemetaan Ulang (MAPING) menjadi sbuah ketakutan Besar masyarakat akan terjadinya PERAMPASAN TANAH RAKYAT. sebab Maraknya sengketa tanah di provinsi Riau antara masyarakat penggarap dengan pihak perusahaan tidak lagi merupakan rahasia umum. pengosongan Paksa, penggusuran terhadap masyarakat untuk meninggalkan Rumah dan Kebun, sawah, ladang yang menjadi Alat Peroduksi mereka bahkan tertangkap atau tertembaknya Kaum Tani sudah menjadi bagian dari kosumsi publik. PT. Arara Abadi misalnya di Kampar, bengkalis, siak dan pelalawan serta beberapa kabupaten lainnya dan bahkan di Provinsi laniya juga di Indonesia ini Bentrok Fisik antara Masyarakat dengan pihak kepolisian sebagai pihak keamananpun Terkadang tidak bisa terhindarkan. Memahami Pihak perusaahan mengantongi izin dari pemerintah melalui Hak Pengusaan Hutan (HPH) atau apalah namanya tentunya Pengusaha memiliki Legitimasi Hukum Yang pada akhirnya suka atau tidak suka, rela atau tidak rela berbicara HUKUM tentunya INVESTOR akan di Jamin Keamananya oleh negara sehingga sejarah mengungkap terlalu sering penyelesaian dari sebuah Konflik agraria berakhir dengan menjadikan kaum Tani sebagai Tersangkanya dengan Tuduhan Kasus Penyerobotan Lahan Pihak Perusahaan lalu kalah di persidangan.

Pemberian izin konsensi lahan HTI kepada RAPP dan dikeluarkannya izin amdal tanpa melibatkan masyarakat, jelas-jelas sudah meninggalkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus bergerak dan berjuang sendiri mempertahankan hak-hak mereka untuk tetap bisa mengolah tanahnya sebagai sumber kehidupan dan menjaga kelestarian Hutan yang akan menyelamatkan Pulau Padang dari ancaman Abrasi yang sangat mengerikan itu.

Yang terhormat dan yang kami muliakan saudari HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET. Setelah menempuh berbagai cara dan upaya untuk menyelamatkan Pulau Padang ini. Saat ini kami masyarakat Pulau Padang memiliki harapan baru. Harapan baru ini muncul ketika kami mendengar ada berita bahwa Pada tanggal 26 Mei 2010, Norwegia dan Indonesia menandatangani Latter Of Intent sehubungan dengan kerjasama untuk mengurangi emisi dari penggundulan dan degradasi hutan serta konversi lahan gambut.

Hal yang dapat kami pahami di perjanjian ini adalah bahwa Pemerintahan Norwegia telah berjanji akan memberikan bantuan kepada Pemerintahan Indonesia sejumlah 1 Milyar Dolar Amerika .

Bukan karena 1 Milyar Dolar Amerika bantuan Norwegia ke Indonesia yang membuat kami masyarakat Pulau Padang gembira dan bahagia, tetapi perjanjian dengan keondisi bahwa Indonesia harus memberikan hasil nyata dalam mengurangi emisi gas rumah kaca dan mengembangkan kebijakan hutan yang lebih berkesinambungan yang membuat kami punya harapan baru. Dari perjanjian ini satu hal yang sangat Luar biasa adalah Norwegia dan Indonesia akan bekerja sama memfasilitasi agar kesepakatan dalam hal perhutanan di sertakan dalam perjanjian iklim internasional di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim.

Kami masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Propinsi Riau Indonesia sangat merasa bangga terhadap sikap Pemerintah Norwegia yang memiliki Inisiatif ambisius sehubungan dengan Hutan dan Iklim untuk mengurangi Emisi dari Deforestasi dan Degredasi hutan.

Kami juga merasa bangga ketika Indonesia merupakan penghasil ges emisi rumah kaca ketiga terbesar di dunia, kami juga sangat merasa bangga ketika Indonesia memiliki daerah hutan terluas ketiga di dunia. Hutan dan tanah Gambut berkontribusi 78% emisi Negara sehingga Indonesia berpotensi untuk menyumbang kontribusi 8% emisi sebagaimana di haruskan untuk mencapai target dua drajat yang di stujui saat Konfrensi Perubahan Iklim PBB di Copenhogen pada tahun 2009.

Tetapi meskipun Indonesia merupakan Negara percontohan penting untuk program PBB dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (UN-REDD), serta untuk Forest Carbon Partnership Facility and the Forest Investment Program, yang keduanya di kelola oleh Bank Dunia. Namun kebanggaan kami masyaraktat Pulau Padang kabupaten Kepulauan Meranti Riau terhadap prestasi Indonesia yang memiliki daerah hutan terluas ketiga di dunia ini sebaliknya menjadi Petaka bagi kami.

Pemerintah Pusat Indonesia yang seharusnya segera mengalokasikan Anggaran untuk penyelamatan pulau-pulau terluar di Kabupaten Kepulauan Meranti seperti Pulau Padang dari Ancaman Abrasi yang lambat laun akan menenggelamkan Pulau yang hidup diatasnya sebanyak hampir 35000 Jiwa ini ternyata dengan Fenomena tersebut tidaklah mampu mengetuk hati Pemerintah Indonesia untuk Tanggap dan Peduli meskipun sejak tahun 2008 sebelum Izin Hutan Tanaman Industeri itu di terbitkan masyarakat sudah menentangnya hingga detik ini.

Sebagaimana yang telah kami sampaikan di atas pemerintah Indonesia memberikan Izin pembabatan hutan alam kepada PT.Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) terhadap daerah yang terdiri dari dataran-dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 m di atas permukaan laut yang di dukung oleh daerah tanah gambut kedalamanya mencapai 6-12 meter di Kabupaten Kepulauan Meranti Riau Indonesia melalui SK 327 Menhut Tahun 2009 Tanggal 12 Juni 2009 walau sudah sangat jelas Kepala Dinas Kehutan Provinsi Riau pada Tahun 2009 Bapak Zulkifli Yusuf yang juga telah menegaskan, izin HTI terbaru yang diperoleh PT RAPP melalui SK 327 Menhut Tahun 2009 Tanggal 12 Juni 2009 “Bermasalah”.

Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau sudah mengirim surat resmi ke Menteri Kehutanan pada Tanggal 2 September Tahun 2009 lalu supaya izin tersebut ditinjau karena ditemukan sejumlah masalah.

Kepala Dinas Kehutanan Riau Zulkifli Yusuf menegaskan, surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.327/Menhut- II/2009 seluruh prosesnya merupakan andil dari Menhut. Termasuk proses Rencana Kerja Tahunan (RKT) dan Rencana Kerja Usaha (RKU) untuk PT RAPP juga dikeluarkan Menhut, tanpa adanya rekomendasi dari Dinas Kehutanan Propinsi Riau.

Berdasarkan surat Menhut tersebut terjadi perubahan luas areal izin RAPP dari 235.140 ha menjadi 350.165 ha di Kampar, Siak, Pelalawan, Kuansing dan Meranti," kata Kadishut kepada wartawan, Senin (21/12), seusai hearing dengan Komisi A prihal simpang siur rekomendasi Pemprov terhadap SK Menhut untuk RAPP. Dishut Riau, kata Zulkifli, hanya mengeluarkan pemberitahuan kepada Menhut pada surat resmi tanggal 2 September 2009 tersebut Isinya, memberitahukan kepada Menhut bahwa SK tentang perubahan ketiga atas Keputusan Menteri tentang pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT RAPP terdapat areal tumpang tindih dengan Kawasan Suaka Alam (KSA) seluas 5.019 Ha, terdapat Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 23.411 Ha.
Bahkan dalam suratnya, Dishut mengusulkan kepada Menhut untuk meninjau ulang dan merevisi keputusan tersebut, mengacau dan mengakomodir Surat Gubernur No.522/EKBANG/ 33.10 tanggal 2 Juli 2004 tentang perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan Hutan Produksi Tetap. Penegasan itu pernah dikatakan Zulkifli dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi A DPRD Riau, Areal Izin Usahan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) PT RAPP yang semula 235.140 hektare menjadi 350.165 hektare. Tapi hasil telaah Dishut Riau, luas areal tersebut 357.518, 77 hektare atau terdapat perbedaan 7.353,77 hektare.
Selain itu, lokasi izin yang diberikan Menhut melalui SK 327/Menhut-II/ 2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang areal IUPHHK-HTI PT RAPP hanya berada di 4 kabupaten yakni Siak, Pelalawan, Kuansing, Bengkalis. Sementara hasil kajian Dishut, areal RAPP juga terdapat di Kabupaten Indragiri Hulu seluas 1.090,80 hektare. Izin tersebut juga tumpang tindih dengan kawasan Suaka Alam seluas 5.019,09 hektare. "Jadi jauh sebelum persoalan ini muncul, kami sudah menyurati Departemen Kehutanan supaya meninjau izin yang dikeluarkan pada Juni 2009,
Perizinan yang diperoleh PT RAPP, kata Zulkifli, tak sesuai peruntukannya.

Izin yang diterbitkan Menhut pada 12 Juni 2009 lalu merupakan perubahan ketiga dari izin sebelumnya. Izin pertama diperoleh pada 1993 lahan HTI untuk dua anak perusahaan PT RAPP. Kemudian diperbaharui pada izin perubahan kedua pada 1997. Izin yang diterbitkan melalui SK Menhut itu juga tak mengakomodir rekomendasi Gubernur Riau Rusli Zainal yang menyatakan tak mendukung terjadinya perubahan ketiga izin HTI PT RAPP. Tapi pada kenyataannya, Menhut tak memperhatikan rekomendasi gubernur dan bupati. Dalam petikan izin perubahan justru yang ditampilkan nomor surat rekomendasi kepala daerah itu. "Substansi dari rekomendasi gubernur diabaikan. Padahal substansi itu penting,"

Dijelaskan Kadishut, rekomendasi Gubernur pernah keluar yaitu pada tahun 2004 sebelum terbitnya SK perubahan kedua perluasan areal HTI RAPP menjadi seluas 235.140 H dari Menhut Nomo SK356/Menhut- II/2004). Kendati demikian rekomendasi gubernur saat itu memilliki catatan persyaratan antara lain sebelum Menhut memberi surat Izin kepada RAPP, harus terlebih dahulu mengadenddum SK HPH yang tumpang tindih dengan areal yang dicadangkan kepda PT RAPP. Melaksanakan perubahan status dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan produksi tetap, dan PT RAPP diwajibkan menyelesaikan hak-hak masyarakat.

Menurut Dinas Kehutan Provinsi Riau Tahun 2009 Zulkifli Yusuf kenapa beliau mengirim surat resmi ke Menteri Kehutanan pada Tanggal 2 September Tahun 2009 lalu supaya izin tersebut ditinjau karena ditemukan sejumlah masalah yang bisa di Simpulkan sebagai berikut:

Dari uraian diatas tersebut diatas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Nomenklatur Rekomendasi dari Gubernur dan Bupati serta surat Menteri memakai istilah penabahan/perluasan, akan tetapi surat Keputusan Menteri memakai istilah perubahan dan istilah tersebut tidak ada dasarnya dalam ketentuan dan peraturan bidang kehutanan.

2. Norma dan standar yang diatur oleh PP 6/2007 jo PP 3/2003 bertentangan dengan yang diatur oleh undang-undang nomor 41 tahun 1999.

3. Permohonan Direktur Utama PT. RAPP Nomor 02/RAPP-DU/I/04 tanggal 19 Januari 2004, digunakan oleh Departemen Kehutanan untuk 2 (dua) keputusan, yaitu:
a. Surat Menteri Kehutanan Nomor : S.143/MENHUT-VI/2004 tanggal 29 April 2004 tentang penambahan/perluasan areal kerja IUPHHK pada Hutan Tanaman An. PT. Riau Andalan Plup And Paper.

b.Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang perubahan ketiga atas Keutusan Menteri Kehutanan Nomor 130/Kpts/II/1993 tanggal 27 Februari 1993 tentang pemberian hak penguasahaan Hutan Tanaman Industri kepada PT. RAPP.

4. Keputusan Menteri Kehutana tersebut tidak mengakomodir pada rekomendasi Bupati dan Gubernur Riau.

5. Analisis mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai dasar penerbitan Keputusan Menteri Kehutanan diambil dari keputusan Gubernur Riau yang telah dicabut.

6. Masih ada areal tersebut yang belum di alih fungsikan sehingga tidak memenuhi syarat diberikan izin perluasan / penambahan areal Hutan Tanaman Industri (Areal HTI seharusnya pada kawasan hutan produksi).

7. Surat Keputusan perluasan pada areal Kabupaten tertentu terdapat penambahan dan pengurangan tanpa adanya dasar pertimbangan Bupati dan Gubernur.

8. Terdapat areal yang masuk dalam wilayah Kabupaten Indra Giri Hulu seluas lebih kurang 1.090,80 Ha tanpa adanya rekomendasi dari Bupati setempat.

9. Rekomendasi Bupati didasarkan pada PP 34/2002 sedangkan surat Keputusan Menteri Kehutanan didasarkan pada PP 6/2007 jo PP 3/2008.

10. PP 34/2002 proses izin HTI melalui pelelangan, sedangkan PP 6/2007 jo PP 3/2008 berdasarkan permohonan dan PP 34/2002 telah dicabut oleh PP 6/2007 jo PP 3/2008.

11. Areal perluasan PT. RAPP yang semula masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkalis, sekarang masuk dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti berdasrakan undang-undang pembentukan Kabupaten Kepulauan Meranti Nomor 12 tahun 2009 tanggal 19 Desember 2008 dan telah diresmikan pada tanggal 16 Januari 2009, sedangkan Keputusan Menteri Kehutanan masih mengacu pada Rekomendasi Bupati Bengkalis.

12. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) Hutan Tanaman Industri PT. RAPP telah melanggar ketentuan Luas Maksimum penguasaan hutan dan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan, yaitu Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 728/Kpts-II/1998 tanggal 9 November 1998 pasal 4 huruf a.

Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa: Luas Maksimum dari Penguasahaan Hutan atau Hasil Penguashaan Hutan tanaman Industri baik unutk tujuan Plup maupun untuk tujuan nonplup dalam 1 (satu) Provinsi 100.000 (seratus ribu) hekter dan untuk seluruh Indonesia 400.000 (empat ratus ribu) hektar, sdngkan luas areal PT. RAPP sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : Sk.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 adalah 350.165 Ha.

Zulkifli Yusuf selaku Kepala Dinas Kehutanan sudah merekomendasi berdasarkan fakta dan uraian tersebut diatas kepada Menhut bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 adalah cacat administrasi dan perlu ditinjau ulang dan direvisi agar tidak menimbulkan permasalhan dikemudian hari dalam pelaksanaanya.

Sesuai dengan pemberitaan detikcom, Selasa, 17 / 11 / 2009 di pekanbaru . Jakarta – SK Menhut atas di keluarkanya izin perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) masih bermasalah. Lokasi izin perluasan itu masih banyak kejanggalan serta tumpang tindih dengan kawasan konversi. Hal itu di sampaikan kepala dinas kehutanan Riau, Zulkifli Yusuf, dalam perbincangan dengan dengan detikcom, Selasa, 17 / 11 / 2009 di pekanbaru.

Menurut Zulkifli, SK Menhut MS kaban No 327 memberikan perluasan dari 235 ribu Hektar menjadi 350 ribu di wilayah kawasan gambut Semenajung Kampar. SK Menhut MS Kababn itu di keluarkan pada 12 Juni 2009. “Izin perluasan itu memang bermasalah. Sejak awal kita sudah menyampaikan ke Menhut pada 2 September 2009 lalu agar tidak melanjutkan perluasan HTI tersebut. Kita minta agar Dephut dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi di lapangan. Dephut kita minta untuk tidak mengeluarkan Rencana Tata Kerja Tahunan untuk menebang kayu. Banyak persoalan yang harus di selesaikan di lapangan tidak lain kawasan yang ada dalam perizinan tersebut tumpang tindih dengan kawasan konversi .

Dinas Kehutanan Riau mencatat perluasan izin HTI PT.RAPP itu tumpang tindih dengan lima kawasan konservasi Hutan Marga Satwa yaitu Margasatwa Rimbang Baling, Tasik Pulau Padang, Danau Pulau Besar, Tasik Belat dan Taman Nasional Tesso Nilo. Selain itu masalah juga muncul ketika dilakukan pengukuran di lapangan ternyata total luas malah bertambah menjadi 357 Ribu Hektar, atau kelebihan sekitar 7000 hektar.
“ ini belum lagi dari perluasan yang di berikan tersebut sekitar 20 Ribu Hektar status kawasan Hutan Produksi Konservasi. Sesuai aturan yang ada tidak boleh dijadikan HTI sebelum ada di keluarkan surat perubahan peruntukan. Jadi memang banyak masalah atas izin tersebut,” kata Zulkifli.

Jika saat ini izin tersebut, kata Zulkifli, mendapat protes keras dari kalangan aktivis, maka hal itu menjadi tanggung jawab Depertemen Kehutanan Republik Indonesia. Menurutnya kehutanan Riau sejak awal sudah menolak rencana perluasan tersebut. Dari beberapa hal di atas Zulkifli Yusuf kepala dinas kehutanan Provinsi Riau tahun 2009 telah membuat KESIMPULAN dan mengajukan Recomendasi untuk ditinjau ulang dan direvisi Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :SK.327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 berdasarkan fakta pada Januari 2010 agar tidak menimbulkan permasalhan dikemudian hari dalam pelaksanaanya.

Tidak hanya Zulkifli Yusuf Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Riau yang mengajukan Permohonan untuk di tinjau ulang SK 327 tersebut. Hal yang sama juga di lakukan oleh pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Pada tanggal 26 Agustus 2009, Pejabat Sementara. Bupati Kepulauan Meranti juga sudah mengajukan surat kepada Direktur Jendaral Bina Produksi Kehutanan Nomor 100/Tapem/189 tentang peninjauan ulang terhadap IUPHHK-HTI Di Kabupaten Kepulauan Meranti, Pada tanggal 30 Juli 2010 DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Kementerian Kehutanan RI Nomor 661/DPRD/VII/2010 tentang permohonan peninjauan ulang izin operasional PT.SRL, PT.LUM, dan PT.RAPP. selanjutnya Pada tanggal 3 September 2010 Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti mengajukan surat kepada Kementerian Kehutanan RI di Jakarta Nomor 100/TAPEM/IX/2010/70 Perihal Peninjauan Ulang IUPHHK-HTI PT.SRL, PT.LUM, dan PT.RAPP tersebut.

Masih teringat jelas oleh kami masyarakat Pulau Padang di saat kami melakukan unjuk rasa ke Kantor Bupati Kepulauan Meranti untuk menolak Perusahaan Hutan Tanaman Industri, pada Senin tanggal 11 Oktober 2010.

Wakil Bupati Kepulauan Meranti Drs Masrul Kasmy MSi dengan didampingi, Asisten I Setdakab H Fatur Rahman, Kabag Tapem Setdakab H Nurman juga dari pihak eksekutif yakni, Wakil Ketua DPRD M Tofikurrohman SPd MSi, Dedi Putra SHi, Edy Amin SPdi, Basiran SE MM, Hafizan Abas MPd, dan sejumlah Anggota Dewan lainya yang menerima perwakilan Kami dari masyarakat sebanyak 10 orang untuk dilakukan diskusi terhadap tuntutan penolakan Perusahaan Hutan Tanaman Industri tersebut.

Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Masrul Kasmy MSi saat menerima kami mengatakan, bahwa pihaknya (eksekutif atau Pemkab) dengan tegas menolak aksi HTI yang dilakukan oleh beberapa perusahaan di Meranti termasuk PT.RAPP di Pulau Padang. Bapak Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Masrul Kasmy MSi juga mengatakan, Bupati Meranti Drs Irwan MSi juga telah melayangkan surat sikap Pemkab Meranti yang menolak HTI pada 3 Oktober 2010 lalu kepada pusat melalui Gubernur.

‘’Sejak Meranti di pimpin oleh penjabat (Pj) Bupati Meranti Drs Samsyuar MSi, sampai sekarang, zamannya Bupati Definitif Drs Irwan Nasir MSi, telah dua kali Pemkab Meranti melayangkan surat pernyataan ketegasan menolak HTI di Meranti’’ .

Sehingga surat pernyataan ketegasan menolak Hutan Tanaman Industeri di Meranti di balas oleh pihak Kementrian Kehutanan dengan Surat Nomor : 5.1055/VI-BPHT/2010
yang mana pada intinya Pihak Kementerian Kehutanan mengatakan Ketiga IUPHHK-HTI tersebut saat ini tercatat sebagai Hutan Tanaman Industeri yang sah dan aktif yang memiliki Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) dan Rencana Kerja Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu Pada Huatan Tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) tahun berjalan.

Selanjutnya Pihak Kementerian Kehutanan Republik Indonesia mengatakan Dalam rangka mengakomodir aspirasi masyarakat dan peningkatan kesejahtraan masyarakat asli setempat dapat dilaksanakan melalui pola kemitraan dalam pengelolaan tanaman kehidupan.

Dalam surat balasan Pihak Kementerian Kehutanan terhadap surat permohonan Peninjauan Ulang IUPHHK-HTI PT.SRL, PT.LUM, dan PT.RAPP tersebut yang telah di sampaikan berdasarkan Aspirasi masyarakat dan Kondisi Objektif di lapangan oleh Pemerintah di Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti, Pihak Kementerian Kehutanan dalam balasanya sama sekali tidak mempertimbangkan Persoalan Kerusakan Lingkungan padahal jelas dan nyata bahwa Kepulauan Meranti merupakan daerah yang terdiri dari dataran-dataran rendah, dengan ketinggian rata-rata sekitar 1-6,4 m di atas permukaan laut dan merupakan daerah tanah gambut yang kedalamanya mencapai 6-12 meter.

Puji Tuhan, kami masyarakat Pulau Padang dalam keadaan yang masih tetap konsisten melanjutkan perjuangan ini. Berlahan namun pasti, kami yakin semuanya akan terkuak dan kemenangan pasti berada di tangan Rakyat. Keyakinan ini muncul karena apa yang kami lakukan saat ini juga sejalan dengan pemahaman Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti dan Di Dukung oleh data dan Fakta di Lapangan serta pemahaman Pakar lingkungan yaitu kepala dinas kehutanan Propinsi Riau Bapak Zulkifli Yusuf pada tahun 2009 yang sudah tegas mengatakan Bahwa Izin HTI tersebut Bermasalah, apalagi Setelah kami membaca majalah “Norway and Indonesia: a strategic partnership” sejenak kami merasa sangat Takjub dan Bangga.

Karena sungguh merupakan Kebaikan dan Kemulian ini sangat terlihat ketika Norwegia mendukung semua program ini, dan menekankan pada kerja sama dengan masyarakat sipil dan koordinasi dengan donor bilateral lainya sehingga kami mengerti dan dapat memahami tujuan Norwegia adalah adalah untuk membantu Melestarikan keragaman biologi, Memerangi kemiskinan, Memperkuat hak penduduk asli dan masyarakat setempat, serta Memajukan dan memberdayakan wanita. Elemen penting lainya adalah Pembangunan ekonomi, Sosial, dan menjaga Ekologi yang memenuhi standar Internasional, dan Tata pemerintahan yang baik termasuk upaya Anti-korupsi. Hal ini juga bertujuan untuk meningkatkan kerjasama penelitian sehubungan dengan kemitraan di bidang Iklim dan Hutan yang pada kesimpulanya adalah demi Misi Kemanusiaan.

Oleh karena itu, dalam hubungan kerjasama Indonesia dan Norwegia yang sangat strategis ini kami berharap kepada saudari HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET melalui beberapa Kondisi yang telah kami sampaikan di atas. Kami masyarakat Pulau Padang berharap kepada Pemerintahan Norwegia untuk bisa mendesak Pemerintahan Indonesia agar mengeluarkan kebijakan penghentian konversi di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Riau guna menghindari terjadinya peningkatan pelepasan karbon (CO2) yang mengakibatkan perubahan iklim global serta kerusakan lingkungan yang dahsyat. Secara umum masyarakat di Pulau Padang masih mempertahankan sumber daya alam seperti hasil hutan bukan kayu, ikan, sumber air dan sebagainya. Sumber daya yang ada di hutan gambut dimanfaatkan dengan cara-cara tradisional yang lebih arif dan kurang eksploitatif dibandingkan dengan usaha perkebunan skala besar dan HTI.

Sementara ancaman subsidensi diakibatkan drainase berupa kanal buatan perusahaan pemegang izin perkebunan akasia yang menjadi bahaya bagi ekosistem secara keseluruhan. Begitupun, pembuatan jalan penebangan (koridor) akan memicu maraknya illegal logging, perambahan dan kebakaran hutan/lahan. Menurut penelitian, lahan gambut (peatlands) memiliki fungsi yang lebih besar sebagai pengendali perubahan iklim global karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia (1). Selain itu, lahan gambut dikenal luas dalam menjaga kestabilan tata air serta menyerap dan melepas air secara horizontal.

Setiap konversi dan eksploitasi lahan gambut akan menyebabkan terlepasnya emisi karbon (CO2) yang mencemari lingkungan global karena terganggunya sistem water table (sistem hidrologis secara keseluruhan). Apabila emisi dari lahan gambut diperhitungkan, maka Indonesia tercatat sebagai negara urutan tiga penghasil emisi karbon (CO2) terbesar di dunia. Riau merupakan provinsi yang memiliki lahan gambut terluas dengan 4,044 juta ha atau 56,1 % dari luas total lahan gambut di Sumatera (7,2 juta ha). Pulau Padang memiliki satu kubah gambut.

Konversi hutan rawa gambut di Pulau Padang seharusnya dihentikan, Adanya pola pemanfaatan hutan seperti HPH dan HTI di lahan gambut disebabkan dari sejak awal keberadaan gambut tidak pernah dipertimbangkan pemerintah dalam penentuan kawasan hutan dan pengelolaannya perusahaan yang beroperasi di Pulau Padang merusak lahan gambut dengan membuat kanal-kanal guna mengalirkan kayu tebangan ke sungai. " karena perusakan hutan dan ekosistem Pulau Padang jelas memicu eskalasi perubahan iklim. Terlebih lagi bencana ekologis lainnya seperti turunnya permukaan gambut dan banjir besar terlebih dulu akan menghantam penduduk Pulau Padang.

Sudah saatnya semua pihak terkait memberikan perhatian serius kepada ancaman global yang tengah dihadapi Pulau Padang saat ini. Jika tidak ada kebijakan pro-konservasi yang diambil, maka bukan masyarakat Pulau Padang Indonesia saja yang akan menanggung akibatnya, namun masyarakat regional maupun global akibat perubahan iklim yang dipicu kerusakan Pulau Padang.

Ancaman deforestasi dan perusakan ekosistem berasal dari praktek konversi yang dilakukan perusahaan pemegang HPH, HTI maupun perkebunan lainya. Data-data tepercaya menyebutkan ada beberapa perusahaan kehutanan yang sudah menebangi hutan alam di sini maupun yang sedang dan berencana melakukan konversi. Umumnya mereka bermitra dan tergabung dalam dua raksasa industri pulp dan kertas, Asia Pulp & Paper (APP), serta Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL).

Demikianlah surat ini kami sampaikan kepada saudari HEGE KARSTI RAGNHILDSTEVIET dan kami berharap agar ada upaya yang di lakukan oleh Pemerintah Norwegia terkait dengan Penyelamatan Pulau Padang ini.

Tanah, Modal, Teknologi Modern, Murah, Massal Untuk Pertanian Kolektif
di Bawah Kontrol Dewan Tani

Hentikan Neoliberalisme! Rebut (kembali) Kedaulatan Nasional!

Salam Sejahtera!
Teluk Belitung, 17 Mei 2011

Hormat Kami
Ketua KPD-STR


Muhamad. Riduan


Sekretaris KPD-STR


SUTARNO, S.Fil.I











Selengkapnya...

Selasa, 17 Mei 2011

Jumat, 13 Mei 2011

Ir Mamun Murod MM, Persisnya Sebagai Humas PT.RAPP

Di hadapan sejumlah wartawan usai menemui masyarakat Pulau Padang yang melakukan Unjuk Rasa untuk yang ke 11 (sebelas) kalinya perihal penolakan izin HTI PT.RAPP blok Pulau Padang, pada Rabu, 11 Mei 2011, di depan Kantor Bupati Kepulauan Meranti Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti, Ir Mamun Murod MM mengatakan,

" bahwa yang berhak untuk mencabut izin HTI itu hanyalah pihak yang telah mengeluarkan izin tersebut".

Ir Mamun Murod MM juga menegaskan, .untuk menyikapi tuntutan pencabutan izin HTI di Pulau Padang Kecamatan Merbau, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti tetap berpegang kepada ketetapan hukum yang berlaku. Pihak-pihak yang kontra akan kehadiran HTI PT RAPP dipersilahkan untuk menempuh jalur hukum.

Menurut masyarakat, apa yang di sampaikan oleh Makmun murod itu merupakan suatu sikap yang tidak mengakomodir Aspirasi Masyarakat selama ini yang jelas-jelas menentang masuknya HTI di kabupaten Kepulauan Meranti. Selain itu ia meninggalkan Satu aspek yang menjadi persoalan mendasar kenapa masyarakat menolak operasional perusahaan HTI itu di kabupaten Kepulauan Meranti yaitu "Kerusakan Lingkungan".

"Pada dasarnya kami memiliki komitmen dan bertanggungjawab untuk melindungi hak-hak warga masyarakat, terutama mereka yang berada di sekitar areal HTI perusahaan ungkap Mamun Murod, namun perlu dimengerti bahwa kami tidak memiliki wewenang untuk melakukan pencabutan terhadap izin HTI yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah, yang berhak dalam hal ini adalah pihak Kementerian Kehutanan,"kata Mamun Murod.

Ketidak pahaman seorang Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Meranti terhadap tujuan Aksi yang di lakukan pada 11 mei 2011 tersebut merupakan sikap yang sungguh sangat di sayangkan telah terjadi.

Dalam konteks ini, kata Murod, untuk menyikapi tuntutan pencabutan izin HTI di Pulau Padang Kecamatan Merbau Pemerintah Daerah hanya berkewajiban mengawal keputusan hukum yang berlaku, disamping berbagai langkah untuk mengakomodir aspirasi masyarakat terhadap penolakan izin HTI itu telah pula dilakukan. Sedangkan menyangkut penolakan izin yang dikeluarkan Kemenhut, pihak yang kontra dipersilahkan untuk menempuh jalur hukum, seperti menggugatnya melalui PTUN.

Padahal kedatangan masyarakat Pulau Padang adalah untuk mempertegas sikap dan mendesak kepada Pemda Kabupaten Kepulauan Meranti untuk menggunakan Wewenangnya berdasarkan surat yang di kirimkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM) Indonesia Jl. Latuhary No. 4B Menteng Jakarta Pusat kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper dan Pihak Kementerian Kehutanan.



Di dalam surat yang telah di kirimkan Komnasham kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper , Johny Nelson Simanjuntak, SH sebagai Komisioner Subkomisi Pemantauan Dan Penyelidikan Komnasham mendesak kepada Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper untuk Menghentikan Kegiatan Operasional perusahaan PT.RAPP di lapangan hingga ada keputusan penyelesaian masalah yang di adukan oleh pihak masyarakat dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat di Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti. Komnasham juga memerintahkan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan , Untuk Meninjau Ulang Surat Keputusan No. 327/Menhut-II/2009 dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti. Bahkan Komnasham mendesak Menhut untuk menggunakan kewenangan yang ada padanya untuk menghentikan operasional PT.RAPP di lapangan Sementara peroses peninjauan ulang belangsung.

Menurut Johny Nelson Simanjuntak, SH sebagai Komisioner Subkomisi Pemantauan Dan Penyelidikan Komnasham yang menerima langsung pengaduan masyarakat. berdasarkan pengaduan Muhamad Riduan dan masyarakat Pulau Padang tersebut ada 5 (Lima) Hal pokok yang menjadi dasar keberatan masyarakat Pulau Padang prihal Atas Terbitnya SK Menhut No.327/ Menhut-II/2009 dan Beroperasinya PT.RAPP di pulau padang Kabupaten Kepulauan Meranti. Lima Hal pokok tersebut adalah:

1. Warga menolak beroperasinya PT.RAPP di pulau padang Kabupaten Kepulauan Meranti oleh karena pemberian izin yang bermasalah di sebabkan warga tidak pernah di libatkan dalam peroses perijinan maupun dalam kegiatan perusahaan yang tidak pernah di sosialisasikan kepada warga. Selain itu juga telah ada penolakan dari DPRD dan BUPATI Kabupaten Kepulauan Meranti dan Dinas Kehutanan Provinsi Riau pada tahun 2009 oleh Zulkifli Yusuf.

2. Terjadinya pelanggaran administrasi dalam penerbitan Izin Usaha Pemenfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)Hatan Tanaman Industeri PT.RAPP, dimana dalam Surat Keputusan No. 327/Menhut-II/2009 Tentang penambahan luas pemenfaatan hutan yang di ijinkan Menhut di 5 (Lima) Kabupaten telah mengabaikan batas maksimal penguasaan hutan untuk tujuan Pulp atau non Pulp di tiap provinsi yang hanya seluas 100 ribu hektar.

3. Adanya dampak besar yang di timbulkan yaitu adanya ancaman terhadap penghancuran Ekonomi produktif warga, dimana 70% petani yang bekerja di areal hutan akan tergusur oleh penguasaan hutan oleh PT.RAPP. Selain itu adanya ancaman tenggelamnya Pulau Padang akibat pembabatan hutan di lahan gambut. Oleh karena di daerah Pulau Padang lahan gambut memiliki kedalaman mencapai 6 (enam) meter.

4. Adanya Surat Keputusan No. 327/Menhut-II/2009 menjadi pemicu konflik sosial masyarakat Pulau padang oleh karena adanya ancaman perampasan lahan dan tenggelamnya pulau. dimana sekitar 20.000 ha kebun dan pemukiman warga terancam oleh aktivitas perusahaan.

5. Munculnya ancaman tapal batas teritorial Indonesia oleh karena Kabupaten Kepulauan Meranti masuk dalam Segi Tiga Pertumbuhan Ekonomi Indonesia-Malaisia-Singapura, sehingga di khawatirkan dapat membahayakan batas wilayah negara akibat hilangnya pulau secara fisik yang di sebabkan abrasi dan tenggelam.

Komnasham juga memberikan alasan kenapa tindakan ini mereka lakukan ke PT.RAPP setelah menerima pengaduan dari masyarakat Pulau Padang Kabupaten Kepulauan Meranti Prov. Riau prihal Keberatan Atas Terbitnya SK Menhut No.327/ Menhut-II/2009.

Karena menurut Komnasham tindakan ini telah sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dengan memperhatikan Hak Asasi warga masyarakat di Kabupaten Kepulauan Meranti bahwa hak atas kesejahteraan di jamin dalam Pasal 36 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Selain itu Komnasham menyatakan bahwa Hak Pengadu di jamin di dalam Pasal 36 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. "Tidak Seorangpun Boleh Dirampas Miliknya dengan Sewenang-wenang dan secara melawan hukum." jo. Pasal 37 ayat (1) bahwa pencabutan hak milik atas suatu benda demi kepentingan umum, hanya di perbolehkan dengan mengganti kerugian yang wajar dan segera serta pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Surat yang di kirim Komnasham ke Menhut dan Pimpinan PT. Riau Andalan Pulp And Paper Di Pangkalan Kerinci Kematan. Langgam Kabupaten Pelalawan. Provinsi Riau ini juga di tembuskan ke: Ketua Komnas Ham , Gubernur Riau Di Pekanbaru, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau di Pekanbaru, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti,dan DPRD Kabupaten Kepulauan Meranti.

Jadi, lagi-lagi di sini Mamun Murot sekali lagi coba mengarahkan masyarakat ke arah yang salah, dengan sengaja atau tidak. seakan-akan tidak tau tentang menghargai Niat baik masyarakat. Padahal Pemberian izin konsensi lahan HTI kepada RAPP dan dikeluarkannya izin amdal tanpa melibatkan masyarakat, jelas-jelas sudah meninggalkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus bergerak dan berjuang sendiri mempertahankan hak-hak mereka untuk tetap bisa mengolah tanahnya sebagai sumber kehidupan.

Menurut kami, Ir Mamun Murod MM bukanlah orang yang pantas untuk di utus Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Meranti bertemu dengan masyarakat. Ini karena, beliau berbicara di hadapan masyarakat tidak dengan kapasitasnya sebagai Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti, tetapi persisnya sebagai Humas PT.RAPP.

Kenapa kami masyarakat Pulau padang menganggap Ir Mamun Murod MM kapasitasnya hampir persis sebagai Humas PT.RAPP. Karena hanya seorang Humaslah sebuah perusahaanlah yang berbicara mati-matian untuk membela Kepentingan perusahaanya. Sebagaimana yang di lakukan oleh Ir Mamun Murod MM pada waktu itu saat menerima masyarakat Pulau Padang.

Ungkapan Mamun Murod ini jelas-jelas seperti Orang yang baru lahir ke dunia ini yang tentunya di gariskan tidak memahami sejarah. Sehingga Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Kepulauan Meranti ini lebih cendrung berkhayal. Sehingga Mamun Murod mengungkap dan mengatakan.

"Rasanya tidak mungkin pihak perusahaan akan melakukan tindakan yang sia-sia atau mubazir kedepannya, karena mereka telah mengeluarkan investasi yang cukup besar untuk merealisasikan izin HTI tersebut,".

Ketika Ditanya soal sistem kanalisasi yang menjadi alasan kecemasan masyarakat akan mengakibatkan tenggelamnya Pulau Padang, Kadis Kehutanan Meranti ini mengatakan bahwa dari penjelasan pihak perusahaan, bahwa pola kanalisasi yang mereka terapkan telah dikaji oleh ahli lingkungan hidup. lagi-lagi menurut Pihak perusahaan.

Karena selama ini sudah sangat jelas, selain masyarakat mendesak untuk di tinjau ulang SK menhut tersebut, masyarkat juga mendesak agar pemerintah segera menurunkan tim terpadu dari berbagai elemen untuk melakukan Meeping. Langkah ini dilakukan sebagai upaya melakukan pemetaan ulang terhadap pengeloalan hutan alam di Pulau Padang agar ada kejelasan Tapal Batas sehingga Pihak perusahan bisa komit nantinya untuk tidak masuk dalam areal lahan masyarakat. "Dua tuntutan ini menjadi harga mati yang harus segera diakomdir oleh pemerintah. Kalau dua tuntutan ini gagal dan tidak diakomodir, maka segala bentuk operasional PT RAPP di blok Pulau Padang tidak boleh dilakukan. Jika tetap di paksakan untuk di dilakukan, konsekuensinya Pasti akan terjadi perampasan Tanah.

Di kabupaten Kampar, bengkalis, siak dan pelalawan serta beberapa kabupaten lainnya dan bahkan di Provinsi-provinsi lain di wilayah sumatera dalam NKRI ini Bentrok Fisik antara Masyarakat dengan pihak kepolisian sebagai pihak keamananpun Terkadang tidak bisa terhindarkan, sepert yang terjadi di Jambi dan Lampung. Memahami Pihak perusaahan mengantongi izin dari pemerintah melalui Hak Pengusaan Hutan (HPH) atau apalah namanya tentunya Pengusaha memiliki Legitimasi Hukum Yang pada akhirnya suka atau tidak suka, rela atau tidak rela berbicara HUKUM tentunya INVESTOR akan di Jamin Keamananya oleh negara sehingga sejarah mengungkap terlalu sering penyelesaian dari sebuah Konflik agraria berakhir dengan menjadikan kaum Tani sebagai Tersangkanya dengan Tuduhan Kasus Penyerobotan Lahan Pihak Perusahaan lalu kalah di persidangan dan ini adalah Sejarah.

"Namun pihak Kementerian Kehutanan RI juga telah menegaskan bahwa mereka tidak akan mencabut izin HTI itu, sepanjang pihak perusahaan tidak melakukan pelanggaran. Sementara hingga saat ini pihak perusahaan dinilai belum melakukan pelanggaran terhadap ketentuan izin tersebut," ungkap Mamun Murod.

Tidak adanya tapal batas yang jelas antara Tanah Garapan masyarakat dengan Areal Konsesi Pihak perusahaan dan tidak di berlakukanya Pemetaan Ulang (MAPING) menjadi sbuah ketakutan Besar masyarakat akan terjadinya PERAMPASAN TANAH RAKYAT. Sebab Maraknya sengketa tanah di provinsi Riau antara masyarakat penggarap dengan pihak perusahaan tidak lagi merupakan rahasia umum. Pengosongan Paksa, Penggusuran terhadap masyarakat untuk meninggalkan Rumah dan Kebun, sawah, ladang yang menjadi Alat Peroduksi kaum tani. Bahkan tertangkap atau tertembaknya Kaum Tani sudah menjadi bagian dari kosumsi publik.

Sedangkan anak perusahaan PT.RAPP saja sudah dua tahun beroperasi di Pulau Rangsang yaitu PT Sumatera Riang Lestari masih belum menetapkan tapal batas, hal ini tentunya sangat jelas akan memicu terjadinya konflik dengan masyarakat. Ini membuktikan bahwa PT SRL sudah melalaikan tugasnya sebagaimana yang diamanatkan UU.

Kadishutbun Kabupaten Kepulauan Meranti M. Murod juga mengatakan.

"sesuai dengan ketentuan UU PT SRL seharusnya menetapkan dulu tapal batas sebelum melakukan operasional". Namun aktivitas di lapangan berbeda. "Sampai hari ini pihak PT SRL tidak pernah berkoordinasi dengan Pemkab Meranti tapi sudah melakukan operasional. Bahkan, tapal batas areal konsesi belum ditetapkan pihak PT SRL sudah melakukan eksploitasi hasil hutan dan sudah menikmati," kata Murod

Kadishutbun menerangkan bahwa tindakan ini sudah merupakan satu pelanggaran UU yang dilakukan oleh PT Sumatera Riang Lestari di Pulau Rangsang. sebagaiman termuat di pemberitaan beritaterkini.com Kamis, tanggal 31 Maret 2011

Tindakan apa yang di ambil oleh Drs Irwan Nasir Msi selaku Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti terhadap PT.SRL saat itu? Tetap tidak ada!!!. Padahal bukankan secara UU Kadishutbun M. Murod telah menerangkan bahwa tindakan PT Sumatera Riang Lestari di Pulau Rangsang ini sudah merupakan satu pelanggaran UU Selengkapnya...

Selasa, 10 Mei 2011

Pandangan STR Terhadap Kondisi Agraria dan Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau


Pandangan STR Terhadap Kondisi Agraria di Riau

Serikat Tani Riau memandang bahwa kenyataan-kenyataan ekonomi negara kita masih terbelenggu oleh ketergantungan yang sangat besar dari pemodal asing. Secara kasat mata bisa kita lihat bersama penguasaan seluruh aset kekayaan alam negara kita – terutama di sektor tambang - oleh perusahaan-perusahaan asing yang berkepentingan mengeruk keuntungan dari kekayaan alam INDONESIA.
Lahan Luas untuk Pemilik Modal dan Konflik Agraria di Riau

Di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia.

Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya.

Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI).

Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain

Kendati Kondisi Hutan Alam Riau sudah dalam keadaan kritis tahun 2004, namun ternyata eksploitasi hutan alam tetap berlangsung pesat sepanjang tahun 2005, baik yang dilakukan oleh Penebang liar (Illegal Logging) maupun oleh pemegang izin konsesi (Legal Logging). Keduanya sama-sama memberikan andil besar terhadap hilangnya tutupan hutan alam di Riau yang mengakibatkan Bencana Banjir dan Kabut Asap terjadi secara rutin pada tahun 2005. Pada akhir Tahun 2004 JIKALAHARI mencatat tutupan hutan alam Riau hanya tersisa seluas 3,21 juta hektar atau 35 % dari 8,98 juta hektar total luas daratan Provinsi Riau. Penurunan Luas Hutan Alam di Riau terjadi secara Drastis dari tahun 1984 ke tahun 2005 yaitu seluas 3 juta hektar, penurunan tertinggi terjadi antara tahun 1999 ke tahun 2000 yaitu seluas 840 ribu hektar. Berarti jika dirata-ratakan per tahun hutan alam Riau hilang seluas 150 ribu hektar.

Aktifitas Eksploitasi ini dipastikan akan terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam. APRIL misalnya, saat ini masih terus giat melobby Pemerintah untuk dapat menguasai Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan Pulau Padang seluas 215.790 ha untuk dieksploitasi Kayu Alamnya.

Menurut JIKALAHARI pada tahun 2001-2003 APP dan APRIL juga memanfaatkan secara maksimal kewenangan Kepala Daerah dalam mengeluarkan izin HTI atau IUPHHK-HT dengan menggunakan mitra-mitranya untuk mendapatkan izin eksploitasi Hutan Alam. Bahkan hingga dicabutnya kewenangan Kepala Daerah pada awal 2002 melalui Kepmenhut 541/KPTS-II/2002 tanggal 21 Februari dan diperkuat dengan PP 34 tahun 2002 tanggal 8 juni 2002, mitra-mitra APP dan APRIL tetap mendapatkan izin-izin baru di atas Hutan Alam. JIKALAHARI mencatat ada 34 IUPHHK-HT yang masih dikeluarkan 4 bupati (Inhil, Inhu, Siak dan Pelalawan) dan Gubernur Riau sampai awal 2003. Izin ini jelas telah cacat Hukum, namun baik APP dan APRIL yang menerima kayunya maupun Kepala Daerah yang mengeluarkan Izin seolah-olah tutup mata, penebangan kayu alam terus berlanjut. Hingga pada tanggal 15 Januari 2005 Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-II/2005 dan diteruskan dengan surat edaran ke Gubernur se Indonesia tanggal 25 Februari 2005 yang pada intinya menegaskan bahwa semua IPHHK-HT yang pernah dikeluarkan Kepala Daerah akan dilakukan Verifikasi mengingat kewenangan Kepala Daerah telah dicabut. Menjelang akhir tahun 2005 tim verifikasi bentukan Menteri Kehutanan ini dikabarkan telah turun ke kabupaten Pelalawan, namun apakah hasil verifikasinya menyatakan 21 IUPHHK-HT cacat hukum atau tidak hingga kini belum jelas.
Secara logis, sempitnya lahan produksi, yang mengakibatkan rakyat tidak sanggup lagi mempertahankan hidup secara layak. Rakyat Sialang Rimbun misalnya, hanya mampu mengonsumsi Ubi untuk makanan sehari-harinya, dan sedikit saja dari mereka yang sanggup membeli beras. Inilah hasil dari istilah Pembangunanisme kapitalisme-neoliberal yang dikoar-koarkan pemerintahan SBY-Kalla serta ditindaklanjuti oleh Rusli Zainal. Program-program palsu, lips servis, entah apalagi namanya. Pembangunan yang bisa dikatakan tidak mampu mengaliri sebagian desa di kecamatan Pinggir dengan listrik.

Sempitnya lahan pertanian yang mengakibatkan rendahnya pendapatan rakyat, seperti yang sudah kami tegaskan diatas, adalah hasil perasan dari kebijakan pemberian izin pengelolaan hutan/perkebunan secara besar-besaran, seperti PT. Arara Abadi, yang dalam catatan Human Rigth Wacth sudah banyak memakan korban. Mulai di kabupaten Pelalawan, Kampar, Siak, hingga Bengkalis.

Inilah kemudian yang melahirkan bentuk-bentuk perlawanan rakyat petani berbagai tempat di Riau. Untuk kasus PT. Arara abadi misalnya, sudah banyak korban yang berjatuhan seperti bentrokan antara rakyat angkasa, Balam Merah di Kabupaten Pelalawan dengan perusahaan yang merupakan bagian dari Sinar Mas Group (SMG) itu tahun 2001, kasus Mandiangin (Kab. Siak) tahun 2003, kasus kec. Pinggir (kab. Bengkalis) tahun 2005-2006, kasus Tapung (kab. Kampar) 2006, terbaru adalah kasus di Pinang Sebatang dan sei. Mandau (Akhir tahun 2006). Hal yang paling memiriskan dari kesimpulan pemerintahan di propinsi Riau adalah, selalu mengambil kebijakan stanvas bagi setiap kasus yang ada, bukan malah mengumpulkan data-data tersebut bagi alasan pencabutan SK Gubernur yang pernah dikeluarkan pada 9 Februari 1990.

Dan kemudian, tahun 1996 Menteri Kehutanan pada tanggal 25 November 1996 mengeluarkan surat Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri seluas 299.975 ha di Riau kepada PT. Arara Abadi. Surat tersebut bernomor 743/kpts-II/1996 - di Jakarta, isinya menyebutkan bahwa, surat tersebut merupakan surat balasan perusahaan tersebut mengenai permohonan penyediaan lahan untuk perkebunan yang dikirimkan kepada Gubernur Riau pada 7 Oktober 1989 bernomor 57/AIP/UM/-DL/X/89. Hal inilah kemudian yang menjadi dasar konflik agraria antara rakyat dengan perusahaan. Konflik yang memakan tanah adat, ulayat, perkebunan rakyat, bahkan hingga kepada samarnya batas desa, kampong, pekuburan, dan lain sebagainya.

Konflik Antara Masyarakat Riau di beberapa Kabupaten dengan PT. Arara Abadi; Sebuah Catatan Penting

Menurut data yang disampaikan oleh Human Rigth Watch pada 20 Februari 2001 lalu, bahwa Asia Pulp & Paper dari Sinar Mas Group telah memimpin pertumbuhan yang luar biasa ini sebagai produsen terbesar di Indonesia, menghasilkan setengah dari seluruh produksi pulp dan seperempat dari kertas di negara ini. Dengan total kapasitas pulp saat ini sebesar 2,3 juta metrik ton dan kapasitas pengemasan sebesar 5,7 juta metrik ton, Indonesia menempati urutan pertama di antara negara-negara Asia selain Jepang, dan urutan kesepuluh dalam produksi dunia, setelah raksasa-raksasa seperti International Paper, Enso, Georgia Pacific dan UPM Kymmene. Berkantor pusat di Singapura, saat ini APP memiliki 16 fasilitas pabrik di Indonesia dan Cina dan memasarkan produknya di lebih dari 65 negara di enam benua. Pabrik APP Indah Kiat di Perawang, Riau, adalah salah satu dari dua pabrik kertas terbesar di dunia. Indah Kiat sendiri memiliki kapasitas produksi sebesar 2 juta ton pulp dan 1,5 juta ton kertas per tahun, yang telah meningkat pesat dari hanya 120.000 ton pada tahun 1989.

Serat kayu untuk pabrik Indah Kiat dipasok oleh Arara Abadi, yang adalah anak perusahaan Sinar Mas Group, konglomerat yang memiliki APP. Arara Abadi adalah salah satu perkebunan kayu pulp terbesar di Indonesia, yang menguasai konsesi 300.000 hektar di Riau. Peralihan hak atas lahan masyarakat tanpa proses seharusnya atau tanpa ganti rugi yang adil dan tepat waktu merupakan faktor utama yang mendorong perselisihan dan kekerasan antara Arara Abadi dan masyarakat sekitarnya.

Peraturan pemerintah provinsi yang dibuat bahkan pada saat awal pengembangan konsesi perkebunan mengharuskan lahan yang digunakan untuk usahatani masyarakat dan produksi karet dikeluarkan dari areal kerja HTI. Tahun lalu, sebuah survei telah dilaksanakan di kecamatan Bunut (Kabupaten Pelalawan, di mana desa Betung, Angkasa dan Belam Merah berada. Lihat Peta B) oleh tim gabungan yang terdiri dari berbagai pihak yang berkepentingan, termasuk perwakilan dari pemerintah lokal, berbagai LSM, para pemimpin masyarakat lokal, dan Arara Abadi, untuk menentukan luas lahan di dalam kawasan HTI yang diklaim oleh masyarakat lokal. Meskipun areal yang diteliti hanya sebagian kecil saja dari kawasan milik Arara Abadi, survei tersebut menemukan kira-kira 20.000 hektar lahan yang diklaim oleh masyarakat. Fakta bahwa survei kepemilikan lahan secara sistematis dan menyeluruh belum pernah dilakukan merupakan indikasi kegagalan pemerintah dalam menegakkan hak-hak asasi: hukum Indonesia mengharuskan lahan yang diklaim pihak ketiga dikeluarkan dari konsesi hutan.

Catatan Arara Abadi menunjukkan bahwa 113.595 hektar lahan konsesinya telah dikalim oleh masyarakat lokal. Walaupun perusahaan ini menegaskan bahwa setengah dari kasus-kasus ini telah diselesaikan, mereka mengakui bahwa 57.000 hektar masih dalam sengketa. Akan tetapi, perusahaan ini tidak memberi rincian yang terkait dengan penyelesaian yang dilakukan atau lokasi lahan yang dituntut, sehingga tidak mungkin melakukan pemeriksaan silang tentang kemungkinan klaim-klaim ini saling tumpang tindih dengan yang ditemukan oleh tim gabungan tersebut.

Seperti polisi provinsi, para pejabat APP bersikeras bahwa Arara Abadi telah menerima konsesi yang sah dari pemerintah Indonesia. Selain itu karena penduduk lokal tidak memiliki surat kepemilikan resmi atas lahan tersebut, maka mereka tidak mempunyai hak yang sah. Direktur Arara Abadi mengakui bahwa hampir semua masalah keamanan mereka bukan bersumber dari "penebangan liar" seperti yang berulang-ulang ditegaskan oleh berbagai perwakilan, tetapi dari berbagai tuntutan hak atas lahan tradisional oleh masyarakat lokal.

Sebenarnya, hampir semua masalah keamanan kami berasal dari masyarakat lokal. Mereka memiliki hak ulayat. Reformasi telah membangkitkan rasa kepemilikan dan keberanian masyarakat dalam mengajukan tuntutan meskipun mereka tidak mempunyai dokumen resmi. Kadang-kadang pemerintah mengirim seorang penengah (mediator), tetapi ganti ruginya sering terlalu mahal.

Komentar ini mengungkapkan beberapa hal. Pertama, mereka menjelaskan bahwa istilah "penebangan liar" yang tidak tepat sering digunakan untuk mengaburkan tuntutan hak atas lahan masyarakat dan membuat keluhan-keluhan sah dan perlu dinegoisasikan menjadi seperti kegiatan kriminal. Hal ini merupakan faktor yang mendorong konflik-konflik di Angkasa/Belam Merah dan Mandiangin yang diuraikan di bawa. Kedua, pengamatan bahwa reformasi telah membuat masyarakat menjadi "lebih berani" dalam mendesakkan tuntutan mereka merupakan tanda betapa besarnya rasa takut masyarakat akibat diintimidasi di masa lampau. Ketiga, komentar pejabat tersebut menegaskan status kelas dua hak masyarakat asli, meskipun diakui oleh undang-undang. Pejabat Arara Abadi tersebut jelas menyadari bahwa masyarakat mempunyai hak ulayat, tetapi secara tidak langsung menyatakan bahwa akhirnya biaya ganti rugilah yang menentukan apakah hak-hak ini akan diakui atau tidak.

Walaupun Indonesia mengakui hak ulayat dalam undang-undangnya, proses resmi bagi masyarakat lokal untuk mengajukan tuntutan atas lahan belum ada. Berhadapan dengan staf perusahaan dan pegawai pemerintahan lokal yang tidak responsif dan tidak dapat diminta pertanggung gugatannya, masyarakat mungkin mencoba mengajukan kasusnya ke pengadilan. Namuan praktik korupsi dan penyuapan yang harus dilakukan menyebabkan cara ini menjadi tidak praktis bagi masyarakat lokal yang miskin dalam usaha mencari keadilan. Bahkan, perusahaan-perusahaan mengeluh bahwa pengadilan yang korup kadang-kadang meminta mereka memberi ganti rugi kepada penuntut yang tidak sah. Dalam ulasannya pada bulan Juni tahun 2002 mengenai sistem pengadilan di Indonesia, seorang Utusan Khusus tentang Kemandirian Hakim dan Pengacara (Special Rapporteur on the Independence of Judges and Lawyers) dengan terkejut menyimpulkan bahwa ia "tidak menyadari betapa korupsi sudah sedemikian merasuk ke semua sendi." Penilaian ini dikuatkan oleh laporan penelitian yang rinci tentang sistem pengadilan yang disusun oleh Indonesian Corruption Watch. LSM independen ini mendokumentasikan korupsi dan penerimaan suap di semua tingkat proses pengadilan

Karena tidak memperoleh surat kepemilikan dan sistem peradilan yang ada tidak menolong mereka, masyarakat lokal mempunyai beberapa cara untuk membuat pengaduan mereka didengar, dan pengaduan secara informal yang disampaikan ke para pejabat lokal sering dibubarkan oleh pihak yang berwajib, sehingga masyarakat lokal menjadi lebih tersingkir. Seperti yang dikatakan secara terbuka oleh pejabat polisi provinsi,

Ya, mungkin kadang-kadang lahan disita tanpa diberi ganti rugi. Tetapi jika mereka tidak mempunyai surat-surat bukti kepemilikan, maka mereka tidak mempunyai hak sama sekali. Kebanyakan mereka tidak mempunyai surat bukti kepemilikan. Apa bukti tuntutan mereka? Jadi mereka tidak berhak atas apapun.

Lahan Arara Abadi yang luas tidak saja dirampas dari penguasaan lokal. Hutan alamnya juga dibabat habis, yang sebelumnya digunakan secara tradisional oleh masyarakat sekitar untuk usahatani lokal dan pengumpulan hasil hutan, termasuk pohon madu yang berharga secara ekonomi dan budaya yang terdapat di hutan alam, yang kepemilikannya diwariskan dari generasi ke generasi. Kebun buah-buahan dan pohon karet masyarakat juga dibabat. Lahan luas yang dikuasai untuk HTI pulp, digabung dengan konsesi-konsesi yang luas milik perkebunan pulp terbesar kedua di Indonesia, ditambah dengan konsesi-konsesi penebangan dan perkebunan kelapa sawit-menyisakan sedikit lahan yang dapat digunakan untuk memperoleh sumber penghidupan tradisional yang bergantung pada hutan (Peta B menunjukkan seluruh wilayah konsesi).

Peraturan pemerintah mengharuskan semua lokasi dan ladang desa dihilangkan dari wilayah kerja HTI, dan penanaman tidak diizinkan dalam jarak 1,5 km dari desa-desa atau jalan. Namun demikian, pohon-pohon akasia sudah biasa ditanam hingga ke pinggir jalan, dan di beberapa desa, hingga ke pintu dapur rumah-rumah penduduk desa. Seorang pria mengeluh, "Kalau kami ingin membangun kakus, kami harus menebang pohon akasia."

Kenyataannya, perluasan APP/Sinar Mas Group yang dibiayai dari hutang telah menghasilkan pasokan serat kayu yang melampaui pasokan kayu dari perkebunan akasia dan hutan alam yang tersedia dalam konsesi Arara Abadi. Akibatnya APP/SMG harus membeli dari hutan alam tebang habis di luar wilayah konsesinya yang sudah sangat luas. APP/SMG mengakui ketergantungannya pada pembukaan hutan alam untuk memenuhi kebutuhan pabrik: angka-angka yang dilaporkan APP/SMG kepada Human Rights Watch menunjukkan bahwa saat ini pabrik APP, PT Indah Kiat, di Perawang mengunakan kayu seperti itu untuk memenuhi 65 persen dari kebutuhan kayunya-dari total 9,8 juta ton per tahun-saat ini, dari jumlah itu, 25 persen berasal dari luar wilayah konsesinya (meskipun kritikus menyatakan angka itu mendekati 50 persen).

Saat ini, konsesi Arara Abadi meliputi 6 kabupaten. Pada saat dikeluarkan di akhir tahun 1980-an, HTI ini merupakan salah satu yang terbesar di Indonesia. Akan tetapi, pada bulan Oktober tahun 2001, Arara Abadi mengumumkan keinginannya untuk memperluas areal operasinya sebesar dua-pertiga, yang berarti tambahan penebangan seluas 190.000 hektar hutan alam dalam lima tahun berikutnya untuk memasok kapasitas pabrik Indah Kiat Riau yang diperbesar. Perluasan ini akan dilaksanakan melalui "usaha bersama" dengan rekan-rekan yang tidak ditentukan dan di bawah persyaratan yang tidak ditentukan. Lagipula, untuk memenuhi peningkatan kebutuhan akibat peningkatan kapasitas produksi, APP/Sinar Mas Group berencana untuk melipatduakan luas hutan alam yang akan dibabat dalam lima tahun mendatang.

Sekarang ini, insentif ekonomi menjadi tidak layak bagi APP dan pabrik-pabrik pulp di seluruh Indonesia untuk melanjutkan perluasan kapasitas yang berlebihan dan ketergantungan terhadap pembabatan hutan alam, dan tekanan keuangan yang kuat akibat biaya pabrik yang sangat besar dan hutang yang berasal dari kelompok kreditor (saat ini sebagian di antaranya menuntut APP untuk membayar kembali melalui proses litigasi) untuk melanjutkan penghematan dan meningkatkan produksi, tanpa memperhatikan konsekuensi terhadap hak-hak asasi dan lingkungan. Insentif seperti ini, terutama di saat peraturan yang efektif masih tetap tidak ada, akan tetap mengancam hak-hak asasi anggota masyarakat lokal. (untuk lebih jelas mengenai data-data sementara sengketa agraria antara rakyat dengan PT. Arara Abadi, silahkan melihat bundle yang telah kami siapkan. Bahan ini terdapat pada daerah Siak, Bengkalis, dan Kampar).

Dari itu, upaya penangan konflik agrarian yang Serikat Tani Riau mendesak perjuangan untuk :

1. Ukur ulang seluruh areal HPH/TI, HGU milik perusahaan swasta/pemerintah yang berkonflik dengan rakyat. Pengukuran ulang ini mesti melibatkan masyarakat korban konflik. Untuk Riau, pada tanggal 1 Mei 2007 lalu, Pemerintahan Riau melalui asistennya – Nasrun Efendi – telah mengatakan menganggarkan dana 9 Milyar Rupiah untuk pelaksanaan pengukuran ulang tersebut dan berjanji akan menyeleaikannya hingga akhir tahun 2007.
2. Cabut – minimal tinjau ulang – Izin HPH/TI, HGU bagi perusahaan yang melakkan pelanggaran (seperti illegal loging, tidak menepati batas waktu inclaving, dl). Karena ditengarai, hal inilah yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Misalnya saja, PT. Arara Abdi menurut SK Menhut 743/kpts-II/1996 diberikan waktu untuk melakuakan penyelesaian inclaving 2 tahun setelah SK dikeluarkan. Namun hingga sekarang masih diindikasikan banyak wilayah yang belum mereka inclav, sehinga menyebabkan terjadinya sengketa agraria.
3. Pemerintah Daerah segera membuat Perda tentang Hak Ulayat dan Adat di Riau. Hal ini dikarekan masyarakat Riau mengakui Lembaga Adat Melayu Riau sebagai sandaran adat di Bumi Lancang Kuning ini.
4. Tunda Revisi RTRWP Riau sebelum konflik agraria diselesaikan di Riau.

Sebagai manifestasi dari kebijakan politik-ekonomi pemerintah baik nasional maupun daerah telah memperlihatkan kepada kita dampak yang tak teratasi. Secara kepemilikan tanah di Indonesia, Menurut Serikat Tani Riau (STR) bahwa, peruntukan lahan bagi perkebunan skala besar jelas-jelas menumbuhkan penindasan struktural serta menjauhkan kaum tani dari kesejahteraan. Kita bisa melihat, betapa luasnya pemerintahan memberikan tanah-tanah yang mereka sebut dengan Hutan/Perkebunan Negara kepada perusahaan-perusahaan seperti; PT Freeport Indonesia yang mendapatkan jatah 202.380 ha areal hutan lindung di Papua, PT Inco Tbk menguasai 218.828 ha di Sulawesi Tengah, Tenggara dan Selatan, PT Aneka Tambang seluas 39.040 ha di Maluku dan 14.570 ha di Sulawesi Utara, PT Indominco Mandiri seluas 25,121 ha di Kalimantan Timur, PT Natarang Mining seluas 12.790 di Lampung, PT Nusa Halmahera Minerals di Maluku Utara seluas 29.622 ha, PT Pelsart Tambang Kencana seluas 201.000 ha di Kalimantan Selatan, PT Interex Sacra Raya seluas 13.650 ha di Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, PT Weda Bay Nickel seluas 76.280 ha di Maluku Utara, PT Gag Nickel di Papua seluas 12.138 ha, dan PT Sorikmas Mining seluas 66.200 ha di Sumatera Utara, dan lain-lain.

Sementara itu di Riau, rezim Orde Baru membangun jaringan kekuasaan ekonominya di bawah kangkangan kapitalisme global dengan memberikan + 580.000 ha (Separuhnya diperuntukkan bagi HPH/TI PT. Arara Abadi, seluas hampir 300.000 ha) perkebunan pulp kepada 2 perusahaan dan diperkirakan memboyong 20 juta meter kubik kayu per tahunnya, atau setara dengan 91% dari total penebangan semua industri berbasis kayu di Indonesia. Sementara itu, menurut laporan Human Rigth Wacth tahun 2003 lalu, untuk PT. Caltex Pasifix Indonesia (CPI) atau PT. Chevron Pasific Indonesia (CPI) saja mendapatkan jatah seluas + 3,2 juta ha atau sekitar 32.000 KM. Lalu, 6 juta ha HPH di Riau merupakan milik kaum elit di luar Riau. Jika ditotalkan keseluruhannya, maka peruntukan lahan bagi perkebunan/industri kehutanan skala besar di Riau seluas 9,5 juta ha.

Kebijakan inilah kemudian yang ditengarai menyebabkan bencana dimana-mana, mulai dari bencana asap, banjir, konflik tanah, kemiskinan, dan lain sebagainya. Bencana asap misalnya, menurut Walhi Riau bersama LSM lingkungan lainnya bahwa periode Juli-Agustus 2006 telah teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Produksi (HPH), dan perkebunan Sawit di seluruh Riau, dengan rincian luasan terbakar HTI 47.186 ha, perkebunan Sawit 42.094 ha, HPH 39.055 ha, kawasan Gambut 91.198 ha, dan kawasan non-Gambut 82.503 ha. Inilah kemudian yang menjadi indikasi penyebab 12.000 orang terkena ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan), 3.000 orang terkena iritasi mata, 10.000 orang terkena diare dan mencret (Catatan Akhir Tahun 2006 JIKALAHARI). Ini tentunya belum termasuk kepada kerugian yang diderita oleh rakyat akibat banjir – diantaranya disebebkan oleh terlampau luasnya tanaman monokultur skala besar - yang menurut buku hitam WALHI Riau, pada tahun 2003 saja sebesar Rp. 793,3 milyar. Dan di tahun 2006, menurut Riau Pos dari akibat banjir yang melanda 3 kecamatan di kabupaten Kampar; Tambang, Tapung Hilir, dan Kampar Kiri mendera 3.000 jiwa lebih dan sedikitnya 50 orang meninggal dunia. Sementara itu belum lagi tanaman rakyat yang rusak. Ini tentunya tidak termasuk data kerugian akibat banjir yang menjarahi daerah Rokan Hulu, Pekanbaru, Kuansing, Bengkalis, dan lain-lain.

Aktifitas Eksploitasi ini terus berlanjut sepanjang tahun 2006 karena di atas Hutan Alam yang tersisa sebagian besar sudah dikuasai Perusahaan besar swasta bidang Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Hasil analisis JIKALAHARI menemukan bahwa seluas 789.703 hektar dari Hutan Alam yang tersisa tahun 2004 sudah dikuasai untuk dieksplotasi oleh 2 group Perusahaan Bubur Kertas Riau yaitu APRIL (Asia Pacific Resources International Ltd.) Induk PT. RAPP (Riau Andalan Pulp and Paper) seluas 278.371 hektar dan APP (Asia Pulp And Paper) Induk PT. IKPP (Indah Kiat Pulp and Paper) seluas 511.331 hektar beserta Perusahaan mitranya, dan seluas 390.471 hektar telah dikuasai oleh Perusahaan Perkebunan. Ini belum termasuk 19 Perusahaan HPH yang sekarang masih menguasai 834.249 hektar Hutan Alam dan Aktifitas Penebangan Liar yang sudah masuk dalam Kawasan Lindung.

Pada tanggal 14 Juni 2005 Pemerintah Pusat melalui Menteri Kehutanan M.S. Ka’ban telah membuat target pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) di Indonesia hingga mencapai 5 Juta hektar HTI pada tahun 2009. Sementara hingga saat ini telah ada seluas 2,16 juta Hektar HTI yang sudah dibangun, berarti masih akan ada seluas 2,84 juta Hektar lagi HTI yang akan dibangun hingga tahun 2009. Untuk kontek Riau, Kebijakan ini patut dipertanyakan signifikansinya terhadap upaya penyelamatan Hutan Alam yang tersisa, karena keberadaan 2 Pabrik bubur Kertas (APRIL/RAPP dan APP/IKPP Group) di Riau yang mempunyai kapasitas produksi 4 Juta Ton per tahun dalam prakteknya tidak pernah serius menanam HTI untuk memenuhi kebutuhan Bahan Baku yang telah mencapai 18 juta meter kubik per tahun. Saat ini saja kedua Perusahaan Bubur Kertas dan mitranya telah mengantongi izin seluas masing-masing 1.137.028 Hektar untuk APP dan 681.778 Hektar untuk APRIL, sementara operasional kedua perusahaan ini sudah begitu lama (23 tahun IKPP dan 12 tahun RAPP) namun anehnya HTI yang berhasil mereka bangun baru mampu 30 % dari total kebutuhan kapasitas Industri terpasangnya 4 juta ton per tahun. Hal ini berarti kedua perusahaan ini bisa dikatakan gagal/tidak serius, dan hanya mau mengeksploitasi Hutan Alam untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Tidak hanya itu, kedua perusahaan ini juga kerap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kayu alam, dan terus mengajukan izin perluasan konsesi di atas Hutan Alam.

APRIL/RAPP, saat ini melakukan pembabatan Hutan Alam Gambut Dalam di Semenanjung Kampar dan PT.SRL di Pulau Rangsang, PT.LUM di Tebing Tinggi dan PT.RAPP, di Pulau Padang Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti untuk dieksploitasi Kayu Alamnya melalui SK 327 Menhut Tahun 2009 Tanggal 12 Juni meskipun keberadaanya di tentang oleh Rakyat. Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu daerah termuda di Provinsi Riau.

Di kabupaten Kepulauan Meranti, salah satu kabupaten di provinsi Riau, Indonesia, dengan ibu kotanya adalah Selatpanjang.

Kabupaten Kepulauan Meranti terdiri dari Pulau Tebingtinggi, Pulau Padang, Pulau Merbau, Pulau Ransang, Pulau Topang, Pulau Manggung, Pulau Panjang, Pulau Jadi, Pulau Setahun, Pulau Tiga, Pulau Baru, Pulau Paning, Pulau Dedap. Adapun nama Meranti diambil dari nama gabungan "Pulau Merbau, Pulau Ransang dan Pulau Tebingtinggi". Sebagai sebuah akibat dari gerak anarki modal adalah penderitaan rakyat yang berkepanjangan. Tidak jauh berbeda dengan Provinsi-provinsi lainya di NKRI ini, Para Invertor mayoritas menggunakan otoritas kekuasaan sebagai peluang untuk "mengeksploitasi" sumber daya alam hutan yang sesungguhnya menjadi hartanya rakyat. Menghalalkan segala cara Untuk mencapai, mewujudkan tujuan dengan menjadikan Dampak Lingkungan yang pada hakikatnya Akan Menjadi Bencana sebagai alat politisasi dan sebagai sarana kampanye parpol atau untuk Dikomerssialisasikan demi kepentingan Pribadi atau Kelompok.

SK IUPHHK-HTI defenitif melalui keputusan menteri kehutanan Nomor: SK.327/MENHUT-II/2009 Tanggal 12 Juni 2009, Pemberian izin konsensi lahan HTI kepada RAPP dan dikeluarkannya izin amdal tanpa melibatkan masyarakat, jelas-jelas sudah meninggalkan masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus bergerak dan berjuang sendiri mempertahankan hak-hak mereka untuk tetap bisa mengolah tanahnya sebagai sumber kehidupan.

Komite Pimpinan-Daerah Serikat Tani Riau (KPD-STR) Kabupaten Kepulauan Meranti telah beberapa kali melakukan Unjuk Rasa damai dalam menyuarakan aspirasi Rakyat prihal PENOLAKAN TERHADAP HTI dengan bebrapa Ormas dan LSM lainya dengan alasan yang Objektif dan sangat Ilmiah semenjak Di keluarkanya Surat dari SK IUPHHK-HTI defenitif melalui keputusan menteri kehutanan Nomor: SK.327/MENHUT-II/2009 Tanggal 12 Juni 2009, hingga Surat Gubernur Riau No:223/IX/2010 Tanggal 8 September 2010 tentang izin pembuatan koridor pada IUPPHK-HT, PT.RAPP Pulau Padang. Aksi-aksi massa masih tetap berlanjut sebagai wujud perlawanan tak pernah henti. Namun pemerintah tetap meruskan dan tidak merasa terketuk hati sehingga RKT 2011 PT.RAPP di terbitkan.

Namun pada kenyataannya pemanfaatan sumber daya alam selama ini lebih berorentasi pada kepentinngan ekonomi. Sumber daya alam dipandang semata-mata sebagai aset untuk mengeruk devisa sebesar-besarya dengan kurang memperdulikan kelestariannya. Negara memiliki kepentingan maha hebat terhadap sumber daya alam, termasuk menjadikan sumber daya alam sebagai “Mesin Politik” dan “Mesin Uang” bagi golongan yang berkuasa dan pemerintah biasanya selalu membawa jargon sumber daya alam untuk semua masyarakat, tetapi dalam peraktek-peraktek bisnis dan pemenfaatan sumbar daya alam selalu “lebih mementingkan” golongan dan kelompoknya sendiri. Ini terbukti hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya Pulau- Pulau Tanah Gambut yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti. Ketidakjelasan tersebut didukung dengan buramnya sistem administrasi pertanahan sehingga banyak Mafia Tanah yang mengambil KEUNTUNGAN PRIBADI di tengah-tengah keresahan kami. Bukan hanya itu, di Kabupaten tercinta kita ini Dampak Terhadap Lingkungan juga menjadi pertimbangan bagi kita. Disinilah sesungguhnya dasar-dasar ketidakadilan pemenfaatan sumber daya alam hutan berakar, dan ekonomi politik kekuasaan negaralah yang sesungguhnya telah memanipulasi semua model-model penggelolaan sumber daya alam hutan di dunia hinggalah di Kabupaten Kepulauan Meranti di Pulau Padang ini.

Sejarah baru kembali harus ditorehkan Oleh Masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti di Dalam Konsep Perjuanganya setelah Berhasil Memisahkan diri dari Kabupaten Bengkalis. Karena SK 327 MENHUT Tahun 2009 tanggal 12 juni saat ini harus di akui menjadi Landasan Kekuatan Hukum Pemilik Modal Besar tersebut untuk melakukan Pembabatan Terhadap Hutan Alam yang merupakan Sumber daya Alam(SDA) Kabupaten Ini

Penolakan terhadap Hutan Tanaman Industeri (HTI) di Kabupaten Kepualuan Meranti ini kami lakukan bukan tanpa alasan, ini dikarenakan HTI tidak terlepas dari sejarah konflik Agraria di Indonesia, khususnya di Riau. Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya Pulau- Pulau Tanah Gambut yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Selama ini masyarakat Pulau Padang yang tergabung dalam STR, tetap bersikukuh mendesak agar pemerintah meninjau ulang SK Menhut Nomor 327/Menhut-II/2009 tertanggal 12 Juni 2009. SK Menhut ini merupakan sebuah eksekusi terhadap keleluasaan masyarakat dalam mengelola hutan di Pulau Padang.

Selain mendesak meninjau ulang SK menhut tersebut, masyarkat juga mendesak agar pemerintah segera menurunkan tim terpadu dari berbagai elemen untuk melakukan Meeping. Langkah ini dilakukan sebagai upaya melakukan pemetaan ulang terhadap pengeloalan hutan alam di Pulau Padang agar ada kejelasan Tapal Batas sehingga Pihak perusahan bisa komit nantinya untuk tidak masuk dalam areal lahan masyarakat. "Dua tuntutan ini menjadi harga mati yang harus segera diakomdir oleh pemerintah. Kalau dua tuntutan ini gagal dan tidak diakomodir, maka segala bentuk operasional PT RAPP di blok Pulau Padang tidak boleh dilakukan. Jika tetap di paksakan untuk di dilakukan, konsekuensinya Pasti akan terjadi perampasan Tanah.

Tidak adanya tapal batas yang jelas antara Tanah Garapan masyarakat dengan Areal Konsesi Pihak perusahaan dan tidak di berlakukanya Pemetaan Ulang (MAPING) menjadi sbuah ketakutan Besar masyarakat akan terjadinya PERAMPASAN TANAH RAKYAT. Sebab Maraknya sengketa tanah di provinsi Riau antara masyarakat penggarap dengan pihak perusahaan tidak lagi merupakan rahasia umum. Pengosongan Paksa, Penggusuran terhadap masyarakat untuk meninggalkan Rumah dan Kebun, sawah, ladang yang menjadi Alat Peroduksi kaum tani. Bahkan tertangkap atau tertembaknya Kaum Tani sudah menjadi bagian dari kosumsi publik.

Di kabupaten Kampar, bengkalis, siak dan pelalawan serta beberapa kabupaten lainnya dan bahkan di Provinsi-provinsi lain di wilayah sumatera dalam NKRI ini Bentrok Fisik antara Masyarakat dengan pihak kepolisian sebagai pihak keamananpun Terkadang tidak bisa terhindarkan, sepert yang terjadi di Jambi dan Lampung. Memahami Pihak perusaahan mengantongi izin dari pemerintah melalui Hak Pengusaan Hutan (HPH) atau apalah namanya tentunya Pengusaha memiliki Legitimasi Hukum Yang pada akhirnya suka atau tidak suka, rela atau tidak rela berbicara HUKUM tentunya INVESTOR akan di Jamin Keamananya oleh negara sehingga sejarah mengungkap terlalu sering penyelesaian dari sebuah Konflik agraria berakhir dengan menjadikan kaum Tani sebagai Tersangkanya dengan Tuduhan Kasus Penyerobotan Lahan Pihak Perusahaan lalu kalah di persidangan.

Penolakan terhadap Hutan Tanaman Industeri (HTI) di Kabupaten Kepualuan Meranti ini kami lakukan bukan tanpa alasan, ini dikarenakan HTI tidak terlepas dari sejarah konflik Agraria di Indonesia, khususnya di Riau. Permasalahan yang bermula dari rapuhnya pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, hingga kepada pemberian tanpa batas hak pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya kepada pemilik modal atau kasarnya Negara tidak mampu menegaskan batas maksimal penguasaan lahan – tanah – yang boleh dikuasai atau dikelola. Dan hal ini sangat Jelas sudah terjadi di Kabupaten Kepulauan Meranti khususnya Pulau- Pulau Tanah Gambut yang ada di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Komite Pimpinan Derah-Serikat Tani Riau (KPD-STR)Kabupaten Kepuluan Meranti memahami Sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati merupakan unsur lingkungan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup bangsa indonesia. pentingnya Sumber daya alam secara eksplisit di sebutkan dalam pazsal 33 ayat 3 Undang-undang dasar 1945, bahwa:

"Bumi,Air dan Kekayaan Alam yang Terkandung Di Dalamnya di Pergunakan Untuk Sbesar-Besarnya Kemakmuran Rakyat"

Pasal ini mengamanatkan bahwa pemenfaatan Sumber daya alam harus di tujukan untuk kepentingan rakyat banyak. Sedangkan bagaimana Sumber daya alam itu seharusnya di kelola termaktub dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN)tahun 1973, telah di amanatkan betapa pentingnya pendayagunaan sumber daya alam tersebut. Butir 10 menyatakan bahwa:

"dalam pelaksanaan pembangunan, sumber-sumer alam indonesia harus di gunakan secara rasionil. Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus di usahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang menyeluruh dan dengan pertimbangan kebutuhan generasi yang akan datang".

Berkali-kali kami sudah menggelar aksi massa damai untuk menyuarakan aspirasi Penolakan HTI tanpa tindakan Anarkis. Tidak hanya melakukan Aksi Massa, sebagai bentuk Komitmen masyarakat dalam mencari jalan yang terbaik untuk menyikapai persoalan HTI tersebut, masyarakat Kepulauan Meranti pada tanggal 15 Desember 2010 kami telah menggelar acara Seminar Terbuka dengan Tema: “Dampak HTI Terhadap Lingkungan Dan Kehidupan Rakyat”, dimana untuk dapat di pahami acara tersebut kami gelar secara mandiri hampir menghabiskan dana sebesar 30 Juta Rupiah yang dana ini kami dapatkan dari sumbangan 20 Ribu per anggota Serikat Tani Riau. Pelaksanaan kegiatan seminar ini juga menggundang seluruh tokoh-tokoh masyarakat, seluruh Pejabat Pemerintah di tingkatan kabupaten, Bupati, DPRD, Partai-partai Politik dan juga pihak PT.RAPP dalam upaya mencari kejelasan solusi bersama untuk menjawab dari segala persoalan yang berhubungan dengan HTI, dan bahkan kami juga telah menghadiri undangan bapak Bupati Drs Irwan MSi dalam dialog multy pihak penyelesaian Konflik antara masyarakat dengan PT.RAPP, namun ketika Tim belum terbentuk, dan bahkan belum di SK kan oleh Bupati yang tentunya secara otomatis belum bekerja, tetapi 2 (Unit) Unit Excavator PT.RAPP di perbolehkan melakukan Operasionalnya.

Persoalan Pulau Padang sudah mencapai titik kritis. Selain aksi stempel darah, sehari sebelumnya ratusan masyarakat Pulau Padang menghadang dua unit escavator dan satu ponton milik RAPP dengan pengamanan lengkap dari kepolisian.

"Ini membuktikan pemerintah setempat memberikan lampu hijau kepada RAPP dan tidak memperdulikan nasib masyarakat setempat," untuk itu Serikat Tani Riau akan mengirim anggota termasuk pengurus-pengurus ke Jakarta untuk melakukan “AKSI JAHIT MULUT”,Aksi yang akan kami gelar memiliki komitment tidak akan selesai dan berhenti dan bahkan bertambah dari hari ke hari sepenajang Operasional PT.RAPP tidak di hentikan di pulau padang. Tuntutan harga mati kami masih belum berubah, PEMERINTAH HARUS MENGHENTIKAN OPERASIONAL PT.RAPP DI TANJUNG PADANG, SERTA PEMERINTAH HARUS MENINJAU ULANG/HINGGA MENCABUT SK 327 Menhut Tahun 2009 dan Mencabut Izin Operasional PT.RAPP, PT.SRL serta PT. LUM di Kabupaten Kepulauan Meranti. Saat ini 8 (Delapan) Unit Excavator PT.RAPP sedang melakukan pembuatan jalan dengan menyusun Kayu-kayu di Tanjung Padang sebagai landasan untuk menaikan 1.025 ( Seribu Dua Puluh Lima) Alat Berat milik mereka diantaranya 244 ( Dua Ratus Empat Puluh Empat) Unit Excavator untuk meluluh lantakkan Pulau ini dengan luasan Garapan 30.087 (Tiga Puluh Ribu Delapan Puluh Tujuh) Ha.

Dengan demikian bukanlah sesuatu yang sangat menakjubkan ketika pengambil kebijakan atau pemerintah di dalam sebuah Negara mendeklarasikan bahwa semua SDA yang ada di Negara tersebut di kuasai oleh Negara. Sebab Negara memiliki kepentingan maha hebat terhadap sumber daya alam tersebut, khususnya menjadikannya sebagai ‘mesin politik’ dan ‘mesin uang’ bagi golongan yang berkuasa. Golongan yang berkuasa yang memerintah biasanya selalu membawa jargon bahwa sumber daya alam (SDA) untuk semua masyarakat, tetapi dalam praktik-praktik bisnis dan pemenfaatan SDA tersebut selalu lebih menguntungkan golongan dan kelompoknya sendiri.

Di sinilah sesungguhnya dasar-dasar ketidakadilan pemenfaatan SDA berupa hutan berakar, dan ekonomi politik kekuasaan negaralah yang sesungguhnya telah memanipulasi semua model-model pengelolaan SDA hutan di dunia, Indonesia adalah bagian dari sekenario global yang mana SDA hutanya telah terekploitasi sejak zaman kolonial (penjajahan) hingga abad melinium ini. Perspektif pemikiran yang melatarbelakangi konsep dan pelaksanaan pengelolaan serta pemanfaatan hutan di Indonesia adalah perspektif Negara, dimana PEMERINTAH MENJADI PEMAIN TUNGGAL DALAM MENETAPKAN dan MENGATUR PEMANFAATAN DAN PERUNTUKAN SUMBER DAYA HUTAN, kepada siapa hutan tersebut di serahkan untuk di manfaatkan sangat di pengaruhi oleh KEPENTINGAN dan TAWAR-MENAWAR POLITIK PENGUASA dan PERAKTISI BISNIS. Kenyataan ini di perparah lagi oleh peta politik yang paling khas pada saat ini adalah terjadinya perpindahan kekuasaan politik dan pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, artinya sebagian kekuasaan dan kewenangan pemerintah pusat di serahkan kepada pemerintah otonom kabupaten dan kota. Dari sini, beragam penyimpangan pun ditengarai terjadi, hinggalah Pemerintah bersama-sama perusahaan akan memaksakan kehendaknya terhadap Rakyat.

Baru-baru ini Drs Irwan Nasir Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti melakukan konfrensi pers dengan wartawan. konfrensi pers di lakukan di ruang rapat kantor Bupati Meranti di Jalan Dorak, pada Rabu tanggal 4 Mei 2011.

Dalam konfrensi persnya dengan wartawan Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti membantah tudingan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang mengatakan Pulau Padang kosong tidak berpenghuni.

''Saya tidak pernah mengatakan Pulau Padang itu kosong dan tak berpenghuni. Di pulau Padang itu ada 50 ribu jiwa. Di pulau Padang itu ada 14 desa dan satu pemerintan kecamatan. Itu fakta dan tidak mungkin saya menafikan hal tersebut, mereka semua adalah masyarakat Meranti.

Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti mengakui beberapa waktu lalu Pemkab Meranti sempat bertemu dengan Kementerian Kehutanan di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut Dirjen Kehutanan memaparkan terjadinya aksi penolakan HTI oleh puluhan petani Pulau Padang.

Di hadapan wartawan Drs Irwan Nasir menyampaikan "Substansi persoalan yang kita sampaikan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan untuk mencabut izin HTI. Persoalan izin HTI adalah kewenangan pusat dan jangan lagi dibolak-balikan fakta menjadi tanggung jawab daerah.

Menurut kami Bantah-bantahan dan saling Tuding antara Bupati dan Menhut seperti di atas hal ini semakin memperkuat anggapan masyarakat bahwa sebenarnya Negeri ini sudah Carut Marut.

Padahal sudah sangat jelas berdasarkan surat pemanggilan Bupati yang di layangkan oleh Kementerian Kehutanan Pada tanggal 25 April 2011 tersebut dapat di pahami bahwa pertemuan akan di laksanakan tanggal 28 April 2011 pada hari Kamis, jam 2 Siang antara pihak Kementerian Kehutanan, Pihak masyarakat dengan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti untuk membahas tuntutan kami.

Sepemahaman kami, pada 28 April 2011 pada hari Kamis, dari jam 2 siang seharusnya pertemuan antara pihak Kementerian Kehutanan, Pihak masyarakat dengan Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti untuk membahas tuntutan kami sudah di mulai.
tapi kenyataanya tepat pada jam 4 sore Tujuh orang delegasi Perwakilan Masyarakat Baru di panggil, itupun setelah kami melakukan Aksi Pemblokiran Jalan.

Tujuh orang delegasi diantaranya:
1. Wiwik widyanarko Selaku Sekjend Komite Pimpinan Pusat-Serikat Tani Nasional (KPP-STN).
2. Sutarno Selaku Sekretaris Komite Pimpinan Daerah-Serikat Tani Riau (KPD-STR) Kabupaten Kepulauan Meranti.
3. Pairan Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Lukit 4. Zainal Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Mekarsari.
5. Darwis Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Pelantai.
6. Toyip Selaku Ketua Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Mengkirau.
7. Jumiran Selaku anggota Komite Pimpinan Desa-Serikat Tani Riau (KPDe-STR) Desa Meranti Bunting.

Ke 7 Orang ini dikirim untuk bertemu dengan Menteri Kehutanan dan Bupati. Pertemuan dilangsungkan di sebuah ruangan khusus di lantai 4 sebuah ruangan yang tidak terlalu besar gedung Kementerian Kehutanan para delegasi perwakilan kami disambut oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan dan jajarannya. Di pertemuan tersebut sama sekali tidak terlihat adanya Bapak Drs Irwan MSi selaku Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti di ruangan tersebut.

Ketidak hadiran Drs Irwan MSi selaku Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti di ruangan tersebut sangatlah jelas-jelas melanggar janji-janji yang ada terhadap masyarakat dalam penyelesaian persoalan Ini, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti juga tidak menghargai upaya yang sedang di lakukan masyarakat Pulau Padang selama ini. Padahal Masyarakat memegang janji Wakil bupati Bapak Masrul Kasmi yang pernah mengajak kami secara bersama-sama untuk mendatangi pusat untuk merinta SK HTI di Meranti dilakukan peninjauan ulang. Sebagaimana termuat di pemberitaan riaupos.com pada 13 Oktober 2010. ‘’Kami akan membentuk tim gabungan untuk kembali menyelesaikan permasalahan itu ke provinsi dan ke pusat. Kalau mau mari kita secara bersama untuk mendatangi pusat dan meminta untuk dilakukan peninjauan ulang,’’

Menurut kami saling bantah antara Menhut dan Bupati ini bisa saja merupakan Sekenario Politik.

Harapan Drs Irwan Nasir bahwa Pihak perusahan juga harus komit untuk tidak masuk dalam areal lahan masyarakat. serta mengharapkan pihak perusahaan mematuhi aturan Undang-Undang, bagi kami Harapan yang di sampaikan oleh Bapak Bupati itu merupakan suatu suatu sikap yang tidak mengakomodir Aspirasi Masyarakat dan meninggalkan Satu aspek yang menjadi persoalan mendasar yaitu Kerusakan Lingkungan.

Kami sangat menyayangkan dan sangat menyesalkan Sikap Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti yang mengatakan di hadapan Wartawan, bahwa pihak perusahaan di anggap sudah terlanjur melakukan aktifitas pengelolaan HTI Seperti PT.SRL di Pulau Rangsang dan PT.RAPP di Pulau Padang.

Di hadapan wartawan Drs Irwan Nasir mengatakan "Kita tidak ingin hasil hutannya diambil, lantas perusahaan pergi. Harus ada realiasi tanggung jawab moral dan sosial pada daerah. Perusahaan HTI yang sudah terlanjur melakukan operasional, harus bertanggung jawab terhadap penyelamatan pulau Padang dan Pulau Ransang. Komitmen ini akan kita tuangkan dan kita kukuhkan dalam perda. Mau tidak mau RAPP dan SRL harus ikut aturan.

Hal yang di ungkapkan Drs Irwan Nasir sangat bertentangan dengan Kenyataan yang terjadi di lapangan, Karena tau 6 (Enam) Unit Excavator PT.RAPP yang tetap di paksakan masuk ke pulau padang dengan pengawalan Pihak Keamanan tersebut untuk melakukan pembuatan jalan dengan menyusun Kayu-kayu di Tanjung Padang sebagai landasan untuk menaikan 1.025 ( Seribu Dua Puluh Lima) Alat Berat milik mereka diantaranya 244 ( Dua Ratus Empat Puluh Empat) Unit Excavator untuk meluluh lantakkan Pulau ini dengan luasan Garapan 30.087 (Tiga Puluh Ribu Delapan Puluh Tujuh) Ha. Melalui keputusan Direktur Utama PT.RAPP Nomor:SK.06/RAPP/III/2011 tentang Pengesahan Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemenfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industeri (RKTUPHHK HTI) Tahun 2011 A.N.PT.RAPP Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau. Jadi sangat jelas ini tidak terlanjur, tetapi di terlanjurkan oleh Pemerintah.

Masih teringat jelas oleh kami di saat kami melakukan unjuk rasa dari dua pulau, yakni Pulau Padang, dan Pulau Rangsang ke Kantor Bupati Kepulauan Meranti untuk menolak Perusahaan Hutan Tanaman Industri, pada Senin tanggal 11 Oktober 2010.

Wakil Bupati Kepulauan Meranti Drs Masrul Kasmy MSi dengan didampingi, Asisten I Setdakab H Fatur Rahman, Kabag Tapem Setdakab H Nuriman juga dari pihak eksekutif yakni, Wakil Ketua DPRD M Tofikurrohman SPd MSi, Dedi Putra SHi, Edy Amin SPdi, Basiran SE MM, Hafizan Abas MPd, dan sejumlah anggota dewan lainya yang menerima perwakilan Kami dari masyarakat sebanyak 10 orang untuk dilakukan diskusi terhadap tuntutan penolakan Perusahaan Hutan Tanaman Industri tersebut.

Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Masrul Kasmy MSi saat menerima kami mengatakan, bahwa pihaknya (eksekutif atau Pemkab) dengan tegas menolak aksi HTI yang dilakukan oleh beberapa perusahaan di Meranti termasuk PT.RAPP di Pulau Padang. Bapak Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Masrul Kasmy MSi juga mengatakan, Bupati Meranti Drs Irwan MSi juga telah melayangkan surat sikap Pemkab Meranti yang menolak HTI pada 3 Oktober 2010 lalu kepada pusat melalui Gubernur.

‘’Sejak Meranti di pimpin oleh penjabat (Pj) Bupati Meranti Drs Samsyuar MSi, sampai sekarang, zamannya Bupati Definitif Drs Irwan Nasir MSi, telah dua kali Pemkab Meranti melayangkan surat pernyataan ketegasan menolak HTI di Meranti’’ tegas Masrul.

Sehingga surat pernyataan ketegasan menolak HTI di Meranti di balas oleh pihak Kementrian Kehutanan Seperti Di bawah ini.
Nomor : 5.1055/VI-BPHT/2010
Lampiran :
Hal : Mohon Ditinjau Ulang Izin Operasi PT. SRL, PT. LUM dan PT. RAPP

Kepada Yth. :
Ketua DPRD Kabupaten Kepualaun Meranti
Selat Panjang

Sehubungan dengan surat saudara Nomor 661/DPRD/VII/2010/42 tanggal 30 Juli 2010 perihal tersebut diatas, bersama ini disampiakan hal-hal sebagai berikut:
1. Kami menghargai usulan saudara untuk menijau kembali IUPHHK-HTI PT. Sumatra Riang Lestari yang sebgian areal kerjanya berada di Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, tetapi perlu kami jelaskan bahwa:

1.1. PT. Lestari Unggul Makmur (PT.LUM)
1.1.1. Memperoleh rekomendasi Bupati melalui Surat No. 522.1/PUK/270 tanggal 11 Mei 2006

1.1.2. Persetujuan AMDAL Gubernur Riau No. KPS. 553.a/XI/2006 tanggal 20 November 2006

1.1.3. Memperoleh SK IUPHHK-HTI definitive seluas lebih kurang 10.390 Ha di Provinsi Riau melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 217/Menhut-II/2007 tanggal 31 Mei 2007.

1.2. PT. Sumatra Riang Lestari (PT. SRL)

1.2.1. Memperoleh rekomendasi :

a. Bupati Rokan Hilir No: 522.3/DISHUT/00.46 tanggal 15 Desember 2005;

b. Bupati Bengkalis No: 522.1/Hut/76 tanggal 7 September 2005;

c. Bupati Indra Giri Hilir No: 11/IP/XI/2004 tanggal 24 Agustus 2004

1.2.2. Persetujuan AMDAL Gubernur Riau No. KPTS.566/XII/2005 tanggal 28 Desember 2005

1.2.3. Memperoleh SK IUPHHK-HTI definitif seluas lebih kurang lebih 215.305 Ha di Provinsi Sumatera Utara dan No. SK.262/Menhut-II/2004 tanggal 21 Juli 2004 jis No. SK.99/Menhut-II/2006 tanggal 11 April 2006 dan No. SK.208/Menhut-II/2007 tanggal 25 Mei 2007.

1.3. PT. Riau Andalan Plup And Paper (PT.RAPP)

1.3.1. Memperoleh Rekomendasi :

a. Bupati Pelalawan Nomor 522.1/DISHUT/III/2005/233 tanggal 8 Maret 2005 dan Nomor 522/DISHUT/801

b. Bupati Bengkalis Nomor 522.1/HUT/820 tanggal 11 Oktober 2005

c. Bupati Siak Nomor 523.33/EK/2006/17 tanggal 24 Januari 2006

d. Gubernur Riau Nomor. 522/EKBANG/33.10 tanggal 2 Juli 2004

1.3.2. Persetujuan AMDAL Gubernur Nomor KPTS 667/XI/2004 tanggal 11 November 2004

1.3.3. Memperoleh SK IUPHHK-HTI definitif seluas lebih kurang 350.165 Ha di

Provinsi Riau melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 130/KPTS-II/1993 tanggal 27 februari 1993 jis Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 137/KPTS-II/1997 tanggal 10 Maret 1997 dan keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.356/MENHUT-II/2004 tanggal 1 Oktober 2004 dan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 327/MENHUT-II/2009 tanggal 12 Juni 2009.

2. Ketiga IUPHHK-HTI tersebut saat ini tercatat sebagai HTI yang sah dan aktif yang memiliki Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK-HTI) dan Rencana Kerja Tahun Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan kayu Pada Huatan Tanaman Industri (RKTUPHHK-HTI) tahun berjalan. Seluruh areal kerja IUPHHK-HTI harus berpedoman pada Peraturan Menteri Kehutanan No. 39/Menhut-II/2008 tanggal tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Adminstratif Terhadap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan.

3. Dalam rangka mengakomodir aspirasi masyarakat dan peningkatan kesejahtraan masyarakat asli setempat dapat dilaksanakan melalui pola kemitraan dalam pengelolaan tanaman kehidupan.

Ketika Pulau Rangsang dengan PT.SRLnya dan Pulau Padang dengan PT.RAPP Drs Irwan Nasir, Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti mengatakan Perusahaan Telah Terlanjur Namun entah kenapa sikap berbeda diperlihatkan Irwan terhadap perizinan HTI PT. LUM di Kecamatan Tebing Tinggi. Irwan dengan tegas meminta agar Kementerian Kehutanan mencabut rekomendasi izinnya. Selain perusahaan tersebut belum melakukan operasionalnya, dengan alasan Pemkab Meranti tidak ingin seluruh daerah ini disulap menjadi kawasan HTI.

Pembentukan Kabupaten Meranti merupakan pemekaran dari kabupaten Bengkalis dibentuk pada tanggal 19 Desember 2008, Dasar hukum berdirinya kabupaten Kepulauan Meranti adalah Undang-undang nomor 12 tahun 2009, tanggal 16 Januari 2009.

Tuntutan pemekaran kabupaten Kepulauan Meranti sudah diperjuangkan oleh masyarakat Meranti sejak tahun 1957. Seruan pemekaran kembali diembuskan oleh masyarakat pada tahun 1970 dan 1990-an hingga tahun 2008, yang merupakan satu-satunya kawedanan di Riau yang belum dimekarkan saat itu,dengan perjuangan gigih sejumlah tokoh masyarakat Meranti maka pada tanggal 25 Juli 2005 dibentuklah Badan Perjuangan Pembentukan Kabupaten Meranti (BP2KM) sebagai wadah aspirasi masyarakat Meranti untuk memekarkan diri dari kabupaten Bengkalis.

Carut marutnya dinamika Politik yang penuh Intervensi dari Para pemilik modal cukup mempengaruhi bangsa ini untuk tidaklagi mengerti dan memahami cita-cita Kemerdekaan. begitu juga di kabupaten kepulauan meranti yang dulunya merupakan bagian dari kabupaten bengkalis.

Karna pemekaran di gagas adalah untuk kesejahteraan rakyat untuk itu tentunya setiap kebijakan Politik Pemerintah seharusnyalah berdasarkan Persetujuan Rakyat dalam bentuk apapun dan dalam persoalan apapun.

Perjuangan kemerdekaan NKRI adalah awal dari sebuah harapan Kesejahteraan oleh Rakyat di Negeri ini. Wajar dan pantaslah pertumpahan darahpun di relakan oleh bapak bangsa selama beratus-ratus tahun yang pada akhirnya terkubur di pusara,. Mereka memilih Kebenaran dalam Penderitaan untuk merintis jalanya Kemerdekaan ini tentunya hanya dikarnakan satu alasan yaitu Bangsa ini tidak pantas hidup miskin di nergeri yang kaya akan Sumber Daya Alam ini.

Oleh karna itu cita-cita suci bapak bangsa ini haruslah kembali di rintis dan di gagas oleh orang-orang yang memiliki kesadaran politik.

Jangan tambah beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk pada masyarakat ini. Karena beban penderitaan yang bertumpuk-tumpuk yang kemudian menjadi lahan yang subur bagi munculnya ketidakpuasan, kemarahan dan kebencian kaum tani terhadap pemerintah. Itulah yang menjadi sebab mendasar kenapa massa rakyat bangkit melawan kekejaman penjajah dan penguasa kerajaan. Di sinilah nampak dengan jelas bagaimana peranan massa rakyat yang menentukan Perang.

Selengkapnya...